Jumat, Juli 17, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
Paradigma Konflik Harus Ditinggalkan
16 Juli 2009 | KOMPAS
Jakarta, Kompas - Berbagai persoalan di Papua tak akan dapat dituntaskan
jika paradigma bahwa Papua adalah wilayah konflik tidak ditinggalkan.
Sikap dan cara pandang yang melihat Papua sebagai wilayah yang tidak
aman dan penuh konflik justru akan mengaburkan persoalan dasar di Papua,yaitu ketidakadilan ekonomi, sosial, dan budaya, rendahnya mutu
pelayanan publik serta kesejahteraan warga.
Demikian mengemuka pada jumpa pers, Rabu (15/7) di Kantor Kontras,
Jakarta. Hadir dalam jumpa pers itu di antaranya Koordinator Kontras
Usman Hamid, Siti Maemunah (Jaringan Tambang), serta Berry N Furqon (Walhi).
Menurut mereka, paradigma konflik separatisme yang terus dikembangkan di
Papua hanya menjadi bagian untuk memelihara ketidakadilan bagi rakyat
Papua. Stigmatisasi gerakan Organisasi Papua Merdeka atau kelompok
bersenjata nyaris dilekatkan begitu saja tanpa melalui proses hukum yang
transparan dan tuntas. Akibatnya, setiap pernyataan diri dan tuntutan
warga Papua atas berbagai persoalan ketidakadilan yang mereka alami
kerap dianggap sebagai gerakan separatis.
Padahal, banyak kasus yang akhir-akhir ini terjadi tidak seluruhnya
memiliki motif politik. Insiden penembakan Melkias Agapa di Nabire pada
akhir Juni lalu, misalnya, lebih ditengarai sebagai ketidakprofesionalan
polisi dalam penanganan kasus yang terjadi. Melkias, yang tengah
menderita malaria tropika, tewas setelah sebutir peluru polisi menembus
pahanya.
Demikian juga dengan berbagai kasus kekerasan yang terjadi di sekitar
wilayah konsesi tambang PT Freeport. Ketidakoptimalan pemerintah
mengurus kehadiran perusahaan tambang dinilai menjadi akar munculnya
kekerasan di wilayah Timika dan sekitarnya. Sebaliknya, operasi
pengamanan di sekitar tambang menjadi ”dagangan”.
Mengutip data laporan PT Freeport kepada Security Exchange Commission di
Amerika Serikat dan kemudian dirilis oleh International Network for
Economic, Social & Cultural Rights, Consultation on Human Rights and The
Extractive Industry, di Geneva, November 2005, Usman Hamid menyebutkan,
pada tahun 2001 perusahaan itu mengucurkan dana bagi TNI sebesar 4-6
juta dollar AS. Jumlahnya naik menjadi 5,9 juta dollar AS pada tahun 2002.
Agustus 2004 pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan
Keppres Nomor 63 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Dalam keppres
itu tugas pengamanan obyek vital nasional diserahkan kepada polisi dan
pengamanan internal obyek bersangkutan, kecuali obyek yang termasuk
dalam bagian organik atau termasuk dalam lingkungan TNI.
Berry N Furqon mengatakan, konsekuensi dari besarnya arus modal di
Papua, terutama dalam akses pada sumber daya alam, menggerakkan banyak
kelompok untuk memperkuat posisi masing-masing yang salah satu dampaknya
adalah ketidakadilan ekonomi dan sosial warga. (JOS)
link : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/16/03354889/paradigma.konflik.harus.ditinggalkan
Pemikiran tentang :
isu politik
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar