Hubungan Kebebasan Dan ketakutan.....

oleh : Yudi Latif

Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia
(PSIK-Indonesia)



Kebebasan dan Ketakutan



Fenomena paling sublim, yang paling digandrungi zaman modern, adalah
kebebasan. Masalahnya, seperti kata Terry Eagleton, ”kebebasan itu sendiri
menyerupai Dionysus dengan penampakan ganda: malaikat dan iblis, kecantikan
dan teror.”



Dalam mitologi Yunani, Dionysus adalah dewa anggur, susu, dan madu,
sekaligus juga dewa darah. Seperti ekses alkohol, ia menghangatkan darah
dengan efek yang mengerikan. Apa yang bisa membawa spontanitas dan
kegembiraan bisa juga menimbulkan kehilangakalan dan kebrutalan.
Demikianlah, jika ada yang ”suci” dari kebebasan, hal itu bukan semata-mata
karena ia berharga, melainkan juga karena kemampuannya untuk menciptakan
sekaligus menghancurkan.



Jika kebebasan itu dikaitkan dengan kesucian (sacred), kewajahgandaannya
saling melengkapi, karena kata sacre itu sendiri bisa berarti karunia atau
kutukan, suci atau cercaan. Dalam peradaban purba memang terdapat afinitas
yang kuat antara teror dan kesucian karena fungsi gandanya: kreatif dan
destruktif, pemberi kehidupan dan kematian.



Afinitas antara teror dan kesucian tampaknya merupakan sesuatu yang irelevan
dalam konteks terorisme hari ini. Di mana letak sucinya suatu tindakan
biadab yang mengorbankan orang-orang tak berdosa? Akan tetapi, kita tidak
akan bisa memahami terorisme sepenuhnya tanpa mengaitkannya dengan
kewajahgandaan tadi. Bahwa teror bermula sebagai ide keagamaan; adapun agama
tidak lain dan tidak bukan menyangkut kekuatan yang ambivalen: menakjubkan
(enrapture) dan menghancurkan (annihilate).



Sebagai ide politik, kebebasan dan terorisme modern muncul menguat bersamaan
dengan Revolusi Perancis. Pada masa ini, bukan saja liberty didengungkan,
tetapi juga terorisme mengemuka pada era Danton dan Robespierre sebagai
terorisme negara. Dengan kata lain, terorisme dan negara demokratis
dilahirkan secara kembar.



Pada zaman Revolusi Perancis, kebebasan demokratis dan terorisme itu hadir
dalam suatu zeitgeist yang menistakan agama. Pada masa kini, khususnya di
Tanah Air, kebebasan dan terorisme itu muncul dalam suatu era revivalisme
keagamaan. Dalam semangat zaman ini, ancaman bagi Indonesia sebagai negara
demokratis ke depan adalah persenyawaan antara sisi destruktif kebebasan,
kesucian dan keagamaan yang mewujud dalam bentuk terorisme (negara dan
partikelir).



Itulah sebabnya, kebebasan dan kesucian keagamaan perlu dijaga. Kebebasan
perlu dijaga dengan tanggung jawab pada yang lain melalui kesetiaan pada
konsensus aturan permainan. Hendaklah disadari, demokrasi adalah proses
penyempurnaan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara secara taat
konstitusi, taat hukum, dan taat hak asasi, yang diselenggarakan menurut
prinsip keadilan, kesetaraan, kemasukakalan, keterbukaan, dan
pertanggungjawaban.



Untuk mencegah penggunaan kebebasan untuk tujuan destruktif, warga negara
tidak boleh membiarkan dan melupakan setiap pelanggaran dan pemanipulasian
prinsip demokrasi. Setiap pembiaran atas pelanggaran akan memberi peluang
bagi penyalahgunaan yang lebih besar. Setiap asupan yang salah ke dalam
proses berdemokrasi akan melahirkan keluaran yang kisruh dalam kehidupan
bernegara. Suatu demokrasi yang memberi ruang bagi kecurangan akan menjelma
menjadi tirani dan anarki.



Dalam watak tiranik dan anarkik, yang ditimbulkan oleh hilangnya kepercayaan
pada konsensus bersama, orang akan mencari jangkar kepercayaan baru dengan
menasbihkan jalan eksklusivisme—yang sesungguhnya profan—sebagai sesuatu
yang suci. Inilah awal klaim kesucian untuk mengemban tugas penghancuran
sebagai cara memulihkan tertib sosial.



Suatu klaim atas kesucian memerlukan legitimasi keagamaan. Politisasi agama
dilakukan dengan mengeksploitasi sisi eksklusif dan destruktifnya. Nama
Tuhan diseru sebagai tanda kebencian dan kebengisan.



Dalam pada itu, perjuangan agamawan tercerahkan untuk mengimbanginya dengan
menampilkan sisi konstruktif kesucian kurang ampuh karena wajah Tuhan yang
Pengasih dan Penyayang sulit menemukan ruang penampakan diri dalam dunia
politik yang dipenuhi krisis, kecurangan, dan ketidakadilan. Seperti kata
Dieter Senghaas, perubahan sosial dan demokrasi dalam pendalaman krisis dan
ketidakadilan bukanlah prakondisi yang menunjang bagi apresiasi terhadap
nilai-nilai toleransi dan kemajemukan.



Bom terorisme kembali mengguncang sekarang dan di sini. Namun, akar
tunjangnya tertanam jauh di kesilaman. Ia adalah anak kandung represi,
ketidakadilan, dan kecurangan politik yang giat kita kembangkan dalam
sejarah negeri dan dunia.



Oleh karena itu, betapapun amarah dan kutukan sepantasnya kita lontarkan
kepada para teroris, sedikit pun tak boleh meredupkan semangat kita untuk
mengkritik, mengoreksi, dan melawan berbagai bentuk kecurangan dan
ketidakadilan dalam berdemokrasi. Apalagi jika terdapat indikasi kembalinya
terorisme negara untuk memberangus kritisisme.



Kemenangan belum bisa dirayakan sebelum pelanggaran dibereskan. Hanya di
atas jalur yang benar, kemenangan kontestasi menjadi kemenangan demokrasi
dan kebanggaan negeri. Hanya dengan memuliakan kebenaran, kebebasan,
kesucian, dan keagamaan bisa membawa kebahagiaan bagi kehidupan bersama.







Sumber:
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/21/02583042/kebebasan.dan.ketakutan

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Arsip Blog

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.