Jumat, Juli 03, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
SUMBER DAYA ALAM
Bentang Persoalan Lingkungan
Bentang Persoalan Lingkungan
Para calon presiden tampil mengesankan dalam debat putaran kedua bertema pengentasan kemiskinan dan pengangguran, Kamis (25/6) malam. Namun, Komunitas Ornop menilai, mereka miskin pemahaman soal kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam yang eksesif dan konflik agraria, terkait dengan tema debat.
Komunitas yang mewadahi 43 organisasi nonpemerintah itu mencatat, ketiga capres meyakini pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan pembangunan infrastruktur adalah jawaban paling tepat. Tak ada sinyal perubahan paradigma ekonomi. Salah seorang capres bahkan memahami sumber daya alam sebatas sebagai alat ekonomi.
Tampaknya rakyat akan terus dininabobokan dengan janji kesejahteraan secara instan lewat substitusi layanan publik, seperti bantuan langsung tunai, beras miskin, yang dananya didapat dari utang dan harus ditanggung seluruh warga negara.
Kerusakan berkelanjutan
Berlawanan dengan jargon ”pembangunan berkelanjutan”, praktik pembangunan justru menegaskan terjadinya kerusakan lingkungan berkelanjutan.
Peneliti Hendro Sangkoyo mengatakan, pengambil kebijakan yang menciptakan rezim deforestasi terpimpin sejak tahun 1967 menganggap hutan hanyalah sepetak tanah yang hendak diambil rente ekonominya. Seluruh konteks sejarah sosial ekologis keberadaan hutan tropik dan kedudukan hutan dalam konteks fenotipikal pulau diabaikan.
Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, serta UU Nomor 11 tentang Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi I dan II telah mengantarkan Indonesia memasuki fase ”tiga J”, ’jual murah’, ’jual cepat’, ’jual habis’ sumber daya alam dalam penyelenggaraan negara, sebagai kompensasi utang pada lembaga-lembaga keuangan multilateral. Begitu diingatkan aktivis Chalid Muhammad.
Ujung akhir kekuasaan Soeharto ditandai dengan letter of intent dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memuluskan sistem ekonomi neoliberal secara penuh.
Hendro menengarai, lewat rencana tata ruang yang dilekati kekuatan hukum dan politik (di antaranya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang), ruang kehidupan yang merupakan bagian dari kesatuan-kesatuan sosial-ekologis menyejarah diperlakukan sebatas sebagai ruang ekonomik. Akibat-akibatnya akan sulit sekali dikoreksi dan berjangkauan sangat dalam ke depan.
Semua itu didukung oleh, antara lain, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Perpres No 36/2006 jo Perpres No 65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur, UU No 19/2004 tentang Pertambangan di Kawasan Lindung.
Tak heran kalau jumlah perizinan dan konsesi di negeri kepulauan ini makin tak terbilang. Dewan Perubahan Nasional mencatat, hingga tahun 2006 terdapat 322 izin hak pengusahaan hutan dengan luas lebih dari 28 juta hektar. Sampai tahun 2007 terdapat 266 izin hutan tanaman industri dengan luas sekitar 10 juta hektar. Dua hal itu merupakan penyumbang utama kerusakan lingkungan dan penyingkiran masyarakat.
Perkebunan skala besar tak kalah merusak, khususnya sawit. Sampai tahun 2008, total lahan perkebunan kelapa sawit mencapai sekitar 7,8 juta hektar, dan direncanakan mencapai 20 juta hektar 10 tahun ke depan. Konflik mencapai 576 kasus antara warga masyarakat dan perusahaan, belum termasuk tumpang tindih dengan kawasan yang telah memiliki izin pertambangan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sekitar 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1..194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara. Konflik antarsektor tak terhindari karena tiap departemen terkesan berlomba menerbitkan perizinan.
Bencana berkelanjutan
Semua karut-marut ini kian sempurna dengan PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan (termasuk pertambangan, infrastruktur telekomunikasi, jalan raya) dengan membayar Rp 120 sampai Rp 130 per meter persegi per tahun. PP itu diterbitkan tanpa proses konsultasi publik.
PP yang berpotensi menghancurkan 11,4 juta hektar hutan lindung yang tersisa itu lahir hanya dua bulan setelah Konferensi Para Pihak Ke-13 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim di Bali. Di situ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Indonesia akan mengambil peran dalam menahan laju pemanasan global.
Rezim keruk jual murah sumber daya alam Indonesia itu kini dilindungi hukum melalui pengesahan UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) tanggal 16 Desember 2008. UU itu tak mengakui hak rakyat menolak untuk investasi yang berpotensi merusak sumber- sumber kehidupan mereka.
Para pengambil kebijakan tampaknya tak paham hubungan antara bencana ekologis dan berbagai kebijakan yang dihasilkan. Chalid mencatat, antara 2006 dan 2007 terjadi 840 peristiwa bencana (banjir, longsor, gagal panen, gagal tanam, kebakaran hutan, dan lain-lain), dengan 7.303 korban jiwa, 1.140 orang dinyatakan hilang dan sedikitnya 3 juta orang menjadi pengungsi, dan sekitar 750.000 rumah rusak. Ini belum termasuk korban akibat semburan lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo.
Tersingkirnya warga masyarakat dari ruang hidupnya—disertai berbagai bentuk kekerasan—terjadi hampir di seluruh wilayah operasi pertambangan, industri kehutanan, dan perkebunan skala besar. Situasi kemiskinan dan pemiskinan kian parah. Hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya warga masyarakat terus terinjak.
Pengingkaran hak dasar
Dampak yang berhubungan langsung dengan hak dasar warga adalah hancurnya wilayah tangkapan dan sumber pemasok air bersih. Data Dewan Perubahan Nasional menyebutkan, dari 318 daerah aliran sungai (DAS) yang luas arealnya 3 juta hektar, sekitar 2,7 juta hektar berada dalam kondisi sangat kritis, 60 DAS di antaranya rusak parah.
Kehancuran di kawasan pesisir mengancam lebih dari lima juta jiwa. Walhi merekam, konversi kawasan hutan bakau untuk pertambakan skala besar merusak 71 persen hutan bakau di Indonesia. Hanya sekitar 6 persen dari terumbu karang seluas 60.000 kilometer persegi (12-15 persen total terumbu karang di dunia) bisa dikategorikan baik. Bencana abrasi terjadi di 60 lokasi pantai dan muara di 17 provinsi.
Kehancuran lingkungan dengan segala dampaknya adalah gambaran muram Indonesia. Kalau tidak dihentikan, kita segera tiba di tubir jurang negara gagal….
Penulis : Maria Hartaningsih dan Agnes Aristiarini
Sumber : www. Kompas.com
Pemikiran tentang :
isu politik
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar