Hak Veto impian yang tertunda...

Hak Veto Lingkungan Mendesak Diwujudkan


9 Juli 2009 | KOMPAS

JAKARTA, Kompas - Di tengah laju kehancuran lingkungan berikut ancaman
rentetan bencana, muncul gagasan semacam hak veto lingkungan. Gagasan
tersebut mensyaratkan cara pandang baru pemerintah dalam merespons
keterbatasan daya dukung lingkungan.

Tanpa hak veto, yang memungkinkan pengambil kebijakan menghentikan
rencana sementara atau selamanya setelah analisis lebih dalam, daya
dukung lingkungan akan terus tergerus tanpa batas. ”Bila hak veto
diwujudkan, sebagian dari masalah lingkungan hidup dapat ditangani lebih
baik,” kata Chalid Muhamad dari Institut Hijau Indonesia (IHI) di
Jakarta, Rabu (8/7).

Hak veto menjadi semacam sinyal tanda bahaya yang muncul akibat
penerapan kebijakan yang bermasalah. Alarm itu bisa datang dari
komunitas masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah
daerah, akademisi, atau lembaga legislatif.

”Begitu ada laporan, kebijakan patut segera dikoreksi. Kalau secara
obyektif memang harus diperbaiki atau dibatalkan, kenapa tidak?” kata dia.

Saat ini, dari beberapa daerah di Indonesia dilaporkan, sejumlah
kegiatan pertambangan mengancam daya dukung lingkungan. Di Sulawesi
Tenggara, misalnya, ada upaya menurunkan status konservasi menjadi hutan
produksi di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW).
Masyarakat menolak.

Penurunan status akan diikuti penambangan batu bara di kawasan
perbukitan, yang dikhawatirkan mematikan sumber air bersih warga Kendari
dan irigasi sawah-sawah lumbung pangan.

”Jika bukit ditambang, air rawa akan kering,” kata Ketua Kelompok Kerja
Perencanaan dan Evaluasi TNRAW Budi Prasetyo.

Di Nusa Tenggara Barat, pemerintah provinsi berhenti menerbitkan izin
baru dan tidak memperpanjang kuasa pertambangan lama. Alasannya,
menunggu ketentuan baru dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Gagasan penerapan hak veto lingkungan dikumandangkan oleh mantan Menteri
Negara Lingkungan Hidup sekaligus pemerhati lingkungan, Emil Salim.

Utamakan lingkungan

Melanjutkan model pembangunan yang mengutamakan kepentingan ekonomi di
atas kepentingan lain seperti sekarang, lanjut Emil, terbukti mengancam
keberlanjutan kehidupan yang layak. ”Rencana kebijakan yang mengancam
keberlanjutan lingkungan semestinya bisa dibatalkan,” kata dia. Itulah
yang dimaksud dengan hak veto lingkungan.

Menurut Chalid, tanpa hak veto lingkungan, Indonesia akan terjebak dalam
model penanganan responsif. Sementara itu, ancaman kehancuran terus
bergerak cepat.

*Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) *di bawah kepemimpinannya,
bersama sejumlah LSM, pernah mendesak pemerintah memberlakukan
moratorium (penghentian) sementara penebangan hutan.

Faktanya, dalam serangkaian kampanye dan debat calon presiden lalu,
sejumlah kandidat masih saja melihat sumber daya alam sebagai komoditas
yang layak dijual.

Peran kuat eksekutif

Pengarusutamaan daya dukung lingkungan sebagai unsur utama pengambilan
keputusan, dinilai berada di tangan eksekutif. Peran legislatif penting,
tetapi berkaca pada pengalaman selama ini, hal itu tidak mutlak.

”Belum pernah ada usulan eksekutif yang ditolak legislatif. Penolakan
akhirnya bermuara pada kompromi, bukan penolakan total,” kata Chalid.

Untuk menambah pengetahuan legislatif, Institut Hijau Indonesia
berencana menggelar lokakarya berbagi pengalaman. Mayoritas anggota DPR
yang benar- benar baru membutuhkan pembekalan, termasuk dalam persoalan
daya dukung lingkungan.

Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, dalam
kuliah umum yang digelar Sarekat Hijau Indonesia, menyatakan, saat ini
merupakan waktunya lingkungan menjadi pertimbangan penting dalam
kebijakan. ”Jangan lagi soal ekonomi jadi panglima dengan polkam dan
kesra tinggal pendukung. Pada zaman demokrasi itu tidak akan efektif,”
kata penulis buku Green Constitution tersebut.

Data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral per 30 Juni 2009
menyatakan, luas total izin konsesi tambang mineral dan batu bara di
Indonesia adalah 2,2 juta hektar atau lebih besar dari luas Pulau Bali
(1,8 juta hektar). Yang dieksploitasi aktif 278.000 hektar.

Sementara itu, laju deforestasi mencapai 1,2 juta hektar per tahun.
(GSA/NAW/RUL/ANG)

Sumber :

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/09/04212421/hak.veto.lingkungan.mendesak.diwujudkan


Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Arsip Blog

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.