Sabtu, Agustus 29, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
ARUNG SEJARAH BAHARI
Menjadi Bangsa yang Ingkar
Menjadi Bangsa yang Ingkar
Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 31
Mei 1945, Muhammad Yamin mengingatkan bahwa calon negara yang tengah merekapersiapkan—yang sudah disepakati bernama Indonesia—terutama berupa daerah
lautan. Oleh karena itu, kata Yamin, ”Membicarakan daerah negara Indonesia
dengan menumpahkan perhatian pada pulau dan daratan sesungguhnya berlawanan
dengan keadaan sebenarnya.”
Sejak awal pendirian republik ini, Yamin sudah menyadari kenyataan bahwa
laut Nusantara adalah sumber kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Maka,
yang pertama-tama perlu mendapat perhatian seharusnya adalah bagaimana
memanfaatkan laut dengan segala potensinya itu untuk kesejahteraan rakyat
serta keadilan dan perdamaian.
Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, laut ibarat mata-telinga sekaligus
sumber pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Kesadaran ini pula yang
ingin diteguhkan Yamin. Dengan konsep ”Tanah Air”-nya, ia mengawali
pemahaman baru tentang ruang kehidupan bagi bangsa yang baru bertumbuh:
Indonesia!
Laut diyakini akan jadi tumpuan masa depan umat manusia, lebih-lebih bagi
Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berupa laut. Di dalamnya begitu
banyak sumber daya alam yang belum tergarap dan dapat dimanfaatkan bagi
kesejahteraan umat manusia.
Sumber daya perikanan melimpah. Begitu banyak jenis yang tersedia di laut,
kita bisa langsung ”memanen” tanpa terlebih dahulu harus ”menanam” benihnya.
Hanya perlu modal serta teknologi penangkapan dan pengelolaannya.
Belum lagi sumber minyak dan gas. Dari sekitar 60 cekungan yang ada saat
ini, 40 cekungan berada di lepas pantai dan 14 cekungan di kawasan pesisir.
Jumlah cekungan yang menyimpan kandungan minyak dan gas bumi tersebut boleh
jadi baru sebagian kecil dari potensi sebenarnya yang masih tersimpan di
dasar laut Nusantara.
”Jangan lupa, laut berikut selat-selat yang ada berfungsi bagi pelayaran
untuk mengangkut barang dan orang dalam skala besar. Dengan kata lain,
selain untuk kesejahteraan, laut juga berperan untuk mewujudkan keadilan dan
perdamaian,” kata Susanto Zuhdi, sejarawan maritim dari Universitas
Indonesia.
Negara kepulauan
Sangat boleh jadi, terkandung harapan yang besar semacam itu pula ketika
pemerintah—melalui Kabinet Djoeanda—pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan
Indonesia sebagai negara kepulauan (archipilagic state).
Lewat deklarasi yang bersifat unilateral tersebut, Indonesia menyatakan,
demi keamanan dan kesatuan, laut Indonesia adalah yang berada di sekitar, di
antara, dan dalam kepulauan negara RI. Diklaim juga bahwa batas laut
teritorial Indonesia diperlebar dari semula hanya 3 mil (4,82 km) menjadi 12
mil (19,3 km) diukur dari garis pantai terluar pada saat air laut surut.
Terlepas dari kenyataan baru 35 tahun kemudian klaim Indonesia ini diterima
PBB dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982, semua itu memperlihatkan adanya
upaya untuk meneguhkan kembali kesadaran sebagai bangsa dan negara maritim.
Bukankah sejatinya konsepsi dari sebuah negara kepulauan adalah menempatkan
laut sebagai yang utama?
Konsepsi ini sejalan dengan pemahaman tentang ”daerah inti” (heartland)
dalam suatu negara kepulauan, sebagaimana diusung Adrian B Lapian. Nakhoda
pertama sejarawan maritim Asia Tenggara ini mengingatkan, bagi sebuah negara
kepulauan seperti Indonesia, apa yang disebut sebagai daerah inti bukanlah
suatu pulau atau daratan. ”Wilayah maritimlah yang memegang peran sentral,”
ujarnya.
Peran itu bahkan sudah diakui kebenarannya dalam sejarah peradaban bangsa
ini sejak tahun-tahun awal abad pertama Masehi. Wilayah Indonesia masa
lampau, dengan laut, selat, dan teluk yang menaunginya, menjadi jalur utama
perniagaan yang menghubungkan kawasan timur (daratan Tiongkok) dan barat
(India, Persia, Eropa).
Peran ini berlangsung selama berabad-abad, dengan ”tuan” dan ”nakhoda” yang
datang silih berganti. Sekali masa Portugis mengendalikan perdagangan di
kawasan ini. Inggris pun sempat menikmati penguasaan Selat Melaka dan jalur
pelayaran di pantai barat Sumatera sebelum diambil alih sepenuhnya oleh
pedagang-pedagang Belanda.
Begitulah bila perspektif sejarah digunakan untuk melihat peran sentral laut
Nusantara, sekaligus menengok jalinan interaksi sosial-kultural—juga
ekonomi-politik—antarpengguna kawasan ini.
Ironisnya, ketika laut jadi incaran banyak orang, ketika dunia makin percaya
bahwa masa depan umat manusia berada di laut, kita sebagai bangsa yang lebih
dari dua pertiga wilayahnya berupa laut justru masih saja berpaling ke
darat. Laut diposisikan sebagai halaman belakang, sekadar tempat
leyeh-leyeh, sembari menikmati senja saat matahari terbenam.
Deklarasi Djoeanda yang menegasikan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam
kenyataannya tak diikuti kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pada
pembangunan bermatra kelautan. Juga tidak dalam bentuk memperkuat
peningkatan kapasitas angkatan laut yang memadai untuk merealisasikan klaim
sebagai negara kepulauan tersebut.
”Perkembangan politik setelah kemerdekaan, terutama dengan menguatnya peran
angkatan darat sebagai kekuatan politik, semakin menegaskan posisi Indonesia
yang berorientasi ke darat daripada ke laut,” kata Riwanto Tirtosudarmo dari
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, dalam diskusi di Departemen Pertahanan, akhir Mei lalu.
Sebuah fenomena menarik dari bangsa Indonesia tengah dipertontonkan, yang
membuat sejarawan Ong Hok Ham (alm) sampai geleng-geleng kepala. Ia pun
berucap, ”Apakah orang Indonesia hanya (bisa) hidup terpencil dikelilingi
gunung berapi dan hidup dari usaha pertanian untuk kemudian dikolonisasi
oleh penguasa yang menguasai lautan Indonesia?”(KEN)
Sumber:
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/28/04182650/menjadi.bangsa.yang.ingkar
Pemikiran tentang :
Pengetahuan Umum
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar