Jika kekuasaan yang berbicara......; HAM...??? kelaut aja kali

Lempar Handuk di Lapindo Kepolisian menghentikan penyidikan kasus semburan
lumpur Lapindo. Harapan kini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

BENDERA putih akhirnya dikibarkan Kepolisian Daerah Jawa Timur. Lapindo
rupanya ”lawan” yang berat bagi polisi. Rabu dua pekan lalu, Direktur
Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur Komisaris Besar Edi Supriyadi meneken
surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur yang
menenggelamkan 12 desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, itu. ”Semburan
terjadi karena fenomena alam,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda
Jawa Timur Komisaris Besar Pudji Astuti. Dengan ”putusan” ini, sirnalah
harapan meminta pertanggungjawaban biang bencana itu di depan meja hijau.

Awalnya adalah semburan lumpur yang muncrat sekitar 200 meter di barat daya
sumur eksplorasi minyak Sumur Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas di
Desa Renokenongo, Porong, 29 Mei tiga tahun lalu. Luapan lumpur kemudian
meluber ke mana-mana hingga kini seluas 640 kali lapangan sepak bola.

Empat hari setelah lumpur muncrat, polisi memulai penyidikan. Polisi menduga
ada kelalaian, yakni tidak dipasangnya pipa selubung (casing) pada tahapan
pengeboran. Penyidik kemudian menyita sejumlah dokumen pengeboran dan
memeriksa 60 saksi dan ahli. Mereka terdiri dari korban lumpur, pelaksana
pengeboran, ahli geologi, ahli teknik perminyakan, dan ahli pengeboran.

Ada 13 tersangka yang kemudian ditetapkan sebagai biang bencana ini. Di
antaranya General Manager PT Lapindo Brantas Imam P. Agustino. Polisi
menjerat mereka dengan Pasal 187 dan 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang kejahatan yang membahayakan orang lain serta Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancaman hukuman kejahatan ini lima tahun
penjara.

Rampung di tingkat kepolisian, berkas penyidikan itu dilimpahkan ke
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk dilanjutkan ke pengadilan. Di sini mulai
muncul persoalan. Berkas itu empat kali dikembalikan jaksa. Alasannya, belum
ada kesamaan pandangan dari para ahli bahwa semburan itu terjadi karena
kesalahan pengeboran, bukan bencana alam.

Tak hanya polisi yang memperkarakan kasus ini. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia
dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia juga menggugat masalah
lumpur Lapindo itu dari sisi perdata. Dua lembaga ini menggugat pemerintah
dan PT Lapindo supaya bertanggung jawab terhadap para korban dan
menanggulangi luberan lumpur. Namun gugatan mereka mentok di Mahkamah Agung.
Dalam putusan kasasinya pada awal April lalu, Mahkamah menyatakan peristiwa
luberan lumpur itu merupakan bencana alam.

Bolak-baliknya perkara—dan ditolaknya gugatan perdata itu—bisa jadi membuat
polisi kehilangan ”gairah” mengusut kasus ini. Salah satu alasan yang paling
kerap dilontarkan: mereka tidak menemukan saksi mata yang bisa menjelaskan
fakta dan hubungan semburan lumpur dengan aktivitas pengeboran. Karena
itulah, ujar Pudji, penyidikan dihentikan. Tujuannya: demi kepastian hukum.
”Penyidikan sudah berjalan lebih dari tiga tahun, padahal standarnya 120
hari,” kata Pudji.

Dengan dihentikannya penyidikan, otomatis status 13 tersangka itu kini
menjadi manusia bebas kembali. Vice President Public Relations PT Lapindo
Brantas
Yuniwati Teryana menyatakan pihaknya memang mengharapkan kepastian
hukum dalam kasus ini. ”Kami menyikapi dengan baik,” ujar Yuniwati.

Yang terkejut dengan SP3 ini tentu saja para aktivis lingkungan, yang sejak
mula percaya penyebab bencana ini adalah kelalaian Lapindo. ”Kami mendesak
surat penghentian penyi-dikan itu dicabut,” kata Direktur Walhi Jawa Timur
Catur Bambang Nusantara. Catur menduga penyidikan dihentikan tak lain agar
beban ganti rugi dari Lapindo ditagih ke pemerintah.

Polisi rupanya sudah bersiap menghadapi serangan atas munculnya SP3 itu.
Menurut Pudji, kendati SP3 sudah keluar, tetap tak tertutup kemungkinan
penyidikan dibuka kembali. ”Asal ada bukti baru,” kata dia. Walhi menyambut
”tantangan” itu. Catur mengatakan lembaganya siap memberikan bukti baru
bahwa semburan itu murni kesalahan pengeboran yang dilakukan Lapindo. Bukti
itu, di antaranya, berupa audit tim independen yang menyatakan ada korelasi
semburan lumpur dengan pengeboran yang dilakukan Lapindo.

Praktisi hukum pidana Bambang Widjojanto melihat alasan penghentian
penyidikan oleh polisi itu sangat lemah. Belum adanya kesamaan pandangan
dari para ahli itu, menurut dia, bukan alasan kasus ini lalu dihentikan.
Perbedaan pandangan ahli itu, menurut Bambang, dapat dikesampingkan demi
kepentingan publik. ”Biar hakim yang menilai pendapat ahli yang mana yang
benar,” katanya. Polisi, ujarnya, juga tidak bisa menghentikan penyidikan
dengan mengacu pada gugatan perdata yang ditolak pengadilan. ”Karena
mestinya yang diungkap pidananya terlebih dahulu,” katanya.

Menurut Bambang, jika polisi tidak mampu melengkapi bukti yang diminta,
mestinya jaksa dapat mengambil alih penyidikan dengan melengkapi bukti atau
keterangan saksi untuk menguatkan dakwaannya. ”Masalahnya, jaksanya mau atau
tidak,” ujarnya. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur memilih tutup mulut terhadap
munculnya SP3 ini. ”Kami belum menerima surat resmi tentang penghentian
penyidikan itu,” asisten pidana umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Edi
Rakamto, memberi alasan.

Setelah kasus perdata dan pidana terempas, kini yang ditunggu memang hasil
kerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Anggota Komnas HAM, Kabul
Supriyadhie, mengatakan tim investigasi Komisi menyimpulkan terdapat
indikasi pelanggaran hak asasi dalam kasus lumpur Lapindo. Kini, menurut
Kabul, tim ad hoc penyelidikan dugaan pelanggaran berat hak asasi kasus
lumpur Lapindo tengah menyelidiki kasus tersebut. ”Kami sedang menyusun
kerangka kerja,” kata Kabul, yang ditunjuk menjadi ketua tim ad hoc
tersebut. Apabila nanti ditemukan dugaan pelanggaran hak asasi, kata dia,
hasil penyelidikan akan diteruskan ke kejaksaan dan bermuara pada Pengadilan
Hak Asasi Manusia.

Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/08/17/HK/mbm.20090817.HK131129.id.htmlMajalah

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.