Minggu, Agustus 02, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
Politik Emisi Karbon Telan Biaya Besar
Ditulis oleh Mohammad Djauhari
Pekan Baru dan Palangkaraya, Kota Jelaga Asap
Pekan Baru dan Palangkaraya, Kota Jelaga Asap
Proses politik (pelaksanaan berbagai perundingan para pihak) tentang
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tingkat dunia cukup menelan
biaya tidak sedikit. COP 13-UNFCCC Bali yang diselenggarakan pada adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tingkat dunia cukup menelan
2007, Indonesia yang menjadi sekretariat pelaksana membelanjakan
sekitar 3 juta USD yang diambil dari APBN tahun 2007. COP14-UNFCCC
Poznan, Polandia, biaya penyelenggaraan untuk sekretariat pelaksana
sebesar 2 juta USD dan total pelaksanaannya mencapai 35 juta USD.
Dari dua pelaksanaan perundingan tentang perubahan iklim menjelang
berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012 oleh para pihak tersebut, hasil
yang dicapai tidak signifikan. Negara-negara maju yang diharapkan
segera mengurangi penggunaan energi fosilnya, seperti Amerika, Canada,
Australia, Jerman, Norwegia, dan negara annex I (negara emitor karbon
dioksida) lainnya belum bersepakat tentang besaran dan skema
kompensasi pengurangan emisi bagi negara-negara yang wilayahnya
berpotensi menyerap karbon (carbon sink). Walau beberapa negara maju
seperti Amerika dan Jerman, jauh sebelum gunjang-ganjingnya
pembicaraan dunia tentang perubahan iklim, sudah melakukan "debt
swap" (pengalihan hutang) untuk penyelamatan keaneragaman hayati dan
hutan tropis semisal hubungan bilateral Amerika-Indonesia, Jerman-
Indonesia, Amerika- Filipina dan lain-lain.
UN-REDD, proyek adaptasi dan mitigasi untuk 8 negara berkembang
termasuk Indonesia melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan
yang mendapatkan bantuan dari badan hibah pemerintah Norwegia secara
sukarela, untuk Indonesia sebesar 5 juta Euro (kurang lebih 75 milliar
rupiah). Proyek UN-REDD di Indonesia hanya akan fokus pada satu
pilihan wilayah (pilot proyek). Dengan harapan, Indonesia sudah siap
menjual skema REDD dalam perundingan- perundingan dunia antara negara
berkembang dan negara maju tentang perubahan iklim.
Biaya-biaya dari proses politik (diplomasi dan negosiasi) tentang
pengurangan emisi karbon atau perubahan iklim tidak hanya saat
pelaksanaan UNFCCC, proses-proses politik menjelang pelaksanaan UNFCCC
semisal pada saat menjelang COP15 di Compenhagen, Denmark, juga
menelan biaya tinggi. Di Indonesia dalam setahun sudah melebihi dari
dana APBN yang diperuntukkan mengurusi sektor kehutanan yaitu melebihi
12% nilai APBN Kehutanan tahun 2009.
Sementara itu, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim skema voluntary
market (jalur perdagangan karbon) yang dikembangkan lembaga-lembaga
internasional FFI, TNC, dan lain-lain belum terdengar berhasil
mengurangi pelepasan emisi karbon dari kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Dalam rentang tiga bulan terakhir hingga Juli 2009, wilayah-
wilayah yang menjadi uji coba adaptasi dan mitigasi dari penurunan
deforestasi dan degradasi hutan, semisal Aceh, Riau, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Barat, justru mengalami tingkat kebakaran hutan
dan lahan lebih masif. Wilayah udara Riau dan sekitarnya hampir
sebulan diasapi kebakaran rawa gambut, di Kalimantan Tengah hingga
seminggu lalu kebakaran hutan dan lahan tidak bisa cepat dibendung,
yang menyebabkan Kota Pekan Baru dan Palangkaraya layak disebut Kota
Jelaga Asap.
sekitar 3 juta USD yang diambil dari APBN tahun 2007. COP14-UNFCCC
Poznan, Polandia, biaya penyelenggaraan untuk sekretariat pelaksana
sebesar 2 juta USD dan total pelaksanaannya mencapai 35 juta USD.
Dari dua pelaksanaan perundingan tentang perubahan iklim menjelang
berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012 oleh para pihak tersebut, hasil
yang dicapai tidak signifikan. Negara-negara maju yang diharapkan
segera mengurangi penggunaan energi fosilnya, seperti Amerika, Canada,
Australia, Jerman, Norwegia, dan negara annex I (negara emitor karbon
dioksida) lainnya belum bersepakat tentang besaran dan skema
kompensasi pengurangan emisi bagi negara-negara yang wilayahnya
berpotensi menyerap karbon (carbon sink). Walau beberapa negara maju
seperti Amerika dan Jerman, jauh sebelum gunjang-ganjingnya
pembicaraan dunia tentang perubahan iklim, sudah melakukan "debt
swap" (pengalihan hutang) untuk penyelamatan keaneragaman hayati dan
hutan tropis semisal hubungan bilateral Amerika-Indonesia, Jerman-
Indonesia, Amerika- Filipina dan lain-lain.
UN-REDD, proyek adaptasi dan mitigasi untuk 8 negara berkembang
termasuk Indonesia melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan
yang mendapatkan bantuan dari badan hibah pemerintah Norwegia secara
sukarela, untuk Indonesia sebesar 5 juta Euro (kurang lebih 75 milliar
rupiah). Proyek UN-REDD di Indonesia hanya akan fokus pada satu
pilihan wilayah (pilot proyek). Dengan harapan, Indonesia sudah siap
menjual skema REDD dalam perundingan- perundingan dunia antara negara
berkembang dan negara maju tentang perubahan iklim.
Biaya-biaya dari proses politik (diplomasi dan negosiasi) tentang
pengurangan emisi karbon atau perubahan iklim tidak hanya saat
pelaksanaan UNFCCC, proses-proses politik menjelang pelaksanaan UNFCCC
semisal pada saat menjelang COP15 di Compenhagen, Denmark, juga
menelan biaya tinggi. Di Indonesia dalam setahun sudah melebihi dari
dana APBN yang diperuntukkan mengurusi sektor kehutanan yaitu melebihi
12% nilai APBN Kehutanan tahun 2009.
Sementara itu, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim skema voluntary
market (jalur perdagangan karbon) yang dikembangkan lembaga-lembaga
internasional FFI, TNC, dan lain-lain belum terdengar berhasil
mengurangi pelepasan emisi karbon dari kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Dalam rentang tiga bulan terakhir hingga Juli 2009, wilayah-
wilayah yang menjadi uji coba adaptasi dan mitigasi dari penurunan
deforestasi dan degradasi hutan, semisal Aceh, Riau, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Barat, justru mengalami tingkat kebakaran hutan
dan lahan lebih masif. Wilayah udara Riau dan sekitarnya hampir
sebulan diasapi kebakaran rawa gambut, di Kalimantan Tengah hingga
seminggu lalu kebakaran hutan dan lahan tidak bisa cepat dibendung,
yang menyebabkan Kota Pekan Baru dan Palangkaraya layak disebut Kota
Jelaga Asap.
Pemikiran tentang :
isu politik
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar