Selasa, Agustus 04, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
PERUBAHAN IKLIM
"Geoengineering" sebagai Solusi
Oleh : YULVIANUS HARJONO
"Geoengineering" sebagai Solusi
Oleh : YULVIANUS HARJONO
Dalam Simposium Nobel Laureate di London akhir Mei lalu, Menteri Energi
Amerika Serikat Prof Steven Chu melontarkan ide kontroversial, yaitu
mengusulkan atap-atap rumah dan jalanan dicat putih dalam upaya mengurangi
dampak pemanasan global.
Apa betul mengecat putih atap rumah bisa melawan kecenderungan pemanasan
global? ”Dengan mencerahkan warna seluruh atap dan jalan, ini setara dengan
menghilangkan seluruh kendaraan di dunia dari jalanan selama 11 tahun,” ujar
peraih Nobel Fisika tahun 1997 ini kepada The Times.
Permukaan atap atau jalanan yang berwarna lebih cerah akan meningkatkan
kemampuan albedo, yaitu kemampuan Bumi memantulkan kembali radiasi sinar
Matahari ke luar angkasa. Menurut Chu, atap berwarna pucat atau putih
memiliki tingkat albedo hingga 0,8 (80 persen). Ini juga membuat rumah lebih
dingin sehingga mengurangi pemakaian energi listrik, khususnya pendingin
udara.
Bandingkan dengan permukaan atap biasa yang albedonya hanya 0,2. Semakin
rendah albedo, semakin tinggi pula Bumi menyerap radiasi sinar Matahari.
Suhu di Bumi pun semakin panas. Materi yang memiliki kemampuan tinggi
merefleksi radiasi sinar matahari adalah es, sementara yang terendah diantaranya lautan dan hutan lebat.
Berdasarkan data rekaman Clouds and Earth Radiant Energy System
(CERES)—salah satu instrumen satelit milik NASA—rata-rata tingkat albedo
Bumi saat ini adalah 0,3. Penurunan 0,001 point saja bakal berdampak besar
bagi iklim di Bumi.
Penurunan ini nyatanya betul-betul tengah terjadi. Seperti dilaporkan di
dalam American Journal of Science, tingkat albedo Bumi terus melemah. Dalam
kurun waktu empat tahun saja (2000-2004), CERES mencatat albedo Bumi turun
0,0027 poin. Ini setara dengan peningkatan energi tertahan di Bumi sebesar
0,9 watt per meter persegi. Suhu rata-rata di Bumi pun semakin meninggi.
Rekayasa kebumian
Ide Chu yang sederhana tetapi mengena tentang gerakan mengecat putih atap
dan jalanan adalah bagian dari upaya yang kini tengah populer diperdebatkan,
yaitu geoengineering (rekayasa kebumian).
Ini adalah suatu paradigma baru melawan gejala pemanasan global dengan
menggunakan bantuan rekayasa teknik dan geologi guna membalikkan efek
pemanasan.
Memanipulasi iklim Bumi, baik melalui unsur fisik, kimia, maupun biologis,
khususnya komposisi atmosfer di Bumi secara drastis, demi membalikkan efek
pemanasan global adalah tujuan dari paradigma ini.
Mereka yang pro paradigma ini berpandangan, penguasaan iptek mengizinkan
manusia untuk bertindak, berbuat sesuatu, demi kelangsungan hidup mereka.
Termasuk di antaranya adalah memanipulasi iklim.
American Meterorological Society telah memasukkan geoengineering sebagai
salah satu dari tiga strategi proaktif untuk mengurangi risiko kehidupan
akibat dampak pemanasan global. Geoengineering menjadi opsi yang terbilang
paling ekstrem untuk mengatasi efek pemanasan global dibandingkan dengan dua
strategi lainnya, yaitu mitigasi (mengurangi emisi gas CO) dan adaptasi.
Tiga kategori
Usulan geoengineering meliputi tiga kategori penting. Pertama, mengurangi
level efek rumah kaca di atmosfer lewat manipulasi dalam skala global,
misalnya, melalui penumbuhan spesies fitoplankton nonhabitat asli secara
besar-besaran atau menabur bijih besi di lautan untuk meningkatkan skala
penyerapan gas CO di udara.
Kedua, mendinginkan Bumi dengan cara memperbesar albedo Bumi melalui
pembuatan kaca-kaca pemantul radiasi sinar matahari atau menginjeksikan
sulfur dioksida (SO) ke dalam lapisan stratosfer ataupun ke permukaan laut.
Lalu, ketiga, manipulasi skala besar lainnya, misalnya, berupa pembuatan
megaproyek pipa vertikal di lautan lepas yang didesain meningkatkan proses
transfer absorb panas dari permukaan laut ke tanah.
Persoalannya, sebesar dampak perubahannya menurunkan efek pemanasan global,
opsi-opsi geoengineering ini juga berisiko besar menghasilkan perubahan,
ketidakseimbangan ekologis, ataupun ekosistem di Bumi. Injeksi sulfur
dioksida (SO) ke lapisan stratosfer, misalnya, berisiko besar menciptakan
fenomena hujan asam.
Alan Robock, Direktur Meteorologi di Pusat Prediksi Lingkungan Rutgers
University, New Jersey, AS, mengatakan, setidaknya ada 20 alasan bahwa
geoengineering bisa menjadi ancaman global baru.
Mulai dari kemungkinan mengubah iklim lokal, pengasaman air laut, penipisan
ozon, pengerdilan tanaman, berkurangnya bahan baku energi alternatif surya,
hingga kekhawatiran terhadap faktor human error di dalam melaksanakan proses
rekayasa itu.
Pulihkan diri sendiri
Terlepas dari mendesaknya penanganan akan pemanasan global mengingat laju
peningkatan konsentrat CO di udara terus meningkat, hingga melampaui 80 ppm
dari konsentrasi ideal, Alan menyarankan perlunya alternatif lain.
Menurut dia, upaya pengurangan dampak pemanasan global lebih berat pada
nuansa politisnya ketimbang nuansa teknisnya. Misalnya, dengan mendorong
masyarakat lebih menggunakan energi putih (energi alternatif). Serta, secara
bersamaan membiarkan Bumi untuk memulihkan dirinya sendiri. Namun, pandangan
ini ditentang mereka yang pro dengan paradigma geoengineering.
”Jika kita tidak melakukan apa pun, secara alamiah Bumi memang bisa
memulihkan dirinya sendiri. Tetapi, itu membutuhkan waktu ratusan hingga
ribuan tahun dari sekarang, seperti terjadi 55 juta tahun lalu.
Persoalannya, apakah kita bisa bertahan selama itu?” tutur James Lovelock,
ilmuwan sekaligus pemerhati lingkungan yang bekerja untuk NASA.
Pengemuka Hipotesis Gaia ini berpendapat, upaya pemulihan diri Bumi terhadap
pemanasan global harus dibantu percepatannya melalui tangan manusia. Ia
pesimistis, tanpa suatu upaya revolusioner, pemanasan global ke depan akan
kian parah.
”Saat itu kita akan melampaui suatu titik di mana efek (pemanasan global)
tidak bisa lagi dibalikkan,” ujarnya kepada Livescience.
Di tengah segala pro-kontra yang terjadi mengenai geoengineering, Chu
mencoba mengambil titik tengah. Menurut dia, usulan gerakan memutihkan atap
dan jalan termasuk ke dalam geoengineering lunak. Karena, langkah itu
relatif tidak menghasilkan risiko perubahan ekologi atau ekosistem Bumi.
Memutihkan atap dan jalanan adalah satu-satunya usulan geoengineering yang
akan disikapi secara serius oleh Pemerintah AS saat ini. Jika diterapkan di
100 kota besar di dunia, dampak gerakan ini setara dengan menghilangkan 44
miliar ton CO di udara.
Kebijakan ini telah diimplementasikan secara bertahap di Negara Bagian
California, AS. Usulan yang terdengar sederhana, tetapi tampaknya bakal
sulit diterapkan jika tidak diikuti kesadaran tinggi dari manusia untuk
sedikit berkorban demi masa depan Bumi.
referensi :
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/04/03225412/geoengineering.sebagai.solusi
Pemikiran tentang :
Pengetahuan Umum
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar