Minggu, Agustus 09, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
Saatnya Ubah Paradigma Pembangunan, Utamakan Kearifan
Lokal
Lokal
Perubahan iklim merupakan bukti nyata kegagalan utama perencanaan
pembangunan selama ini. Masyarakat adat menilai sekarang ini saatnya untukmerubah pengaturan global dalam pembangunan.
“Dalam 100 tahun terakhir ini tidak ada lain selain pengaturan kembali.
Yaitu merubah paradigma pembangunan yang hanya memenuhi kebutuhan negara
industri menjadi lebih mengutamakan kearifan lokal,” jelas Abdon Nababan
sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (Aman) saat konferensi
pers bersama wartawan di Jakarta (10/6) terkait dengan berlangsungnya
perundingan iklim di Bonn yang saat ini sedang berlangsung.
Menurutnya, penelitian membuktikan bahwa solusi dari perubahan itu ada di
masyarakat adat bersama kearifan lokal yang hidup dengan emisi rendah,
berdaulat ekonomi dan politik, serta berdaya dalam budaya tanpa hutang.
Untuk mewujudkan adanya perubahan pengaturan global dalam pembangunan yang
lebih mengutamakan kearifan masyarakat adat tersebut, Aman bersama Forum
Permanen PBB tentang Masalah Masyarakat Adat terus melakukan perundingan
termasuk di Bonn saat ini. Sehingga bagaimana instrumen itu dapat digunakan
oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mencapai kemandirian
dengan mengikutsertakan masyarakat adat dalam setiap pembahasan iklim dan
sebagainya.
Lebih lanjut dikatakannya, ketika ada kesempatan merubah, jangan malah
menambah penjajahan dengan hutang. Perubahan iklim harus menjadi awal
negara-negara di dunia mempunyai posisi setara. Tidak menyebutkan tentang
investment tetapi negosiasi investasi.
Saat ini sudah terjadi banyak dampak perubahan iklim. Berkaitan dengan
sejarah hutang emisi dari negara-negara industri maju sejak ratusan tahun
lalu, Pemerintah Indonesia harus meminta negara penyebab emisi tersebut
untuk meminta maaf.
“Mereka tidak hanya membayar ke masyarakat adat tapi masih mengeluarkan
emisi yang tinggi. Yang terpenting bagi masyarakat adat adalah pengakuan dan
pemenuhan haknya, tidak boleh hanya perdagangan saja,” kata Nababan.
Pemerintah Indonesia seharusnya menjadi bagian dari masyarakat adat untuk
membuat kerangka hukum perundingan iklim di Bonn saat ini (1-12 Juni) dan di
Kopenhagen Desember nanti. Namun dari pengamatan Nababan, kenyataannya
Pemerintah Indonesia tidak ada usaha untuk memenuhi itu, meski sudah
menandatangani Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat di PBB.
Pemerintah justru menunjukkan inkonsistensi terkait konservasi dan konversi
menurut Abetnego Tarigan sebagai Direktur Eksekutif Sawit Watch. Seperti
Permentan tentang lahan gambut yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa
sawit.
Memang kelapa sawit bisa menyerap emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan
global dan perubahan iklim menurutnya. Namun ternyata juga mengeluarkan
emisi yang besar. Perkebunan kelapa sawit hanya menyerap CO2 sebanyak 5,2
ton per hektar per tahun, namun melepaskan CO2 lebih besar sebanyak 18 ton
per hektar per tahun. “Belum lagi emisi dari pestisida dan
transportasinya,” jelas Tarigan.
Selama ini disebutkan bahwa kelapa sawit dapat menjadi biofuel sebagai
sumber energi yang ramah lingkungan tapi kenyataannya hanya untuk
kepentingan ekonomi saja. Untuk itu Tarigan bersama Masyarakat Sipil
Indonesia untuk Keadilan Iklim (Civil Society Forum for Climate Justice)
meminta Pemerintah Indonesia menghentikan alih fungsi hutan dan lahan gambut
untuk perkebunan sawit dan lainnya selain melindungi dan memenuhi hak-hak
masyarakat adat.
Kurangi Emisi
Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim juga mendesak kelompok
negara Annex I untuk memenuhi komitmen memotong emisinya. Dalam perundingan
iklim di Bonn saat ini, negara-negara maju itu seharusnya memastikan
pemenuhan komitmennya dalam Protokol Kyoto, bukan menyodorkan proposal baru
untuk mengamandemen Protokol Kyoto.
Giorgio Budi Indarto sebagai Koordinator Nasional Masyarakat Sipil Indonesia
mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia seharusnya berperan dalam mengarahkan
perundingan iklim saat ini untuk menurunkan emisi secara nyata yang
merupakan tujuan awal Konvensi Perubahan Iklim PBB.
Perundingan iklim di Bonn saat ini akan menjadi bahan pembahasan dalam
Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen nanti yang merupakan kesempatan
terakhir dunia untuk mewujudkan perubahan iklim, sehingga delegasi yang
hadir dalam perundingan iklim di Bonn harus benar-benar mengambil tindakan
yang dapat menyelamatkan dunia.
Kurang Arah Jelas
Namun dalam isu utama yang harus diperhatikan dalam setiap perundingan iklim
seperti hutan, laut dan masyarakat adat, Pemerintah Indonesia masih kurang
memiliki arah yang jelas menghadapi perubahan iklim.
Saat ini di Bonn, Pemerintah menyampaikan kesiapannya di sektor laut dan
hutan dalam menghadapi perubahan iklim. Namun kenyataannya masih banyak
masalah di dalamnya yang belum diselesaikan seperti konflik lahan, konversi
hutan dan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah Indonesia hanya semata-mata
melihat peluang perdagangan.
Sekarang Pemerintah menurut Giorgio, hanya membahas tentang REDD menjadi
REDD plus (plus CDM, *carbon trade*), menjaga hutan yang diperluas, dan
mempromosikan hasil-hasil Konferensi Kelautan Dunia di Manado lalu. Namun
apa yang mereka sampaikan menurutnya, masih jauh dari partisipasi masyarakat
adat.
Menurut Riza Damanik sebagai Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (Kiara), Pemerintah Indonesia juga harus melakukan
komunikasi bilateral dengan negara-negara yang berbatasan langsung dengan
Indonesia baik laut maupun darat untuk mencegah konflik dalam memperebutkan
kawasan perbatasan dan daerah penangkapan nelayan tradisional. Namun saat
ini belum ada langkah diplomatis ke arah itu
Perubahan iklim akan mengakibatkan 3000 pulau di Indonesia tenggelam dan
Indonesia biasanya menangkap ikan di kawasan perbatasan dengan alat tangkap
tradisional. Bila perbatasan berubah, maka konflik terkait batas penangkapan
akan meningkat.
Dalam hukum laut internasional menurut Damanik, kawasan itu diakui sebagai
kawasan tangkap tradisional yang harus dilindungi pemerintah. Tanpa upayatradisional. Bila perbatasan berubah, maka konflik terkait batas penangkapan
akan meningkat.
Dalam hukum laut internasional menurut Damanik, kawasan itu diakui sebagai
strategis pemerintah dalam mengupayakan perlindungan itu maka hak-hak
masyarakat adat (tradisional) dan kedaulatan negara akan terancam.
masyarakat adat (tradisional) dan kedaulatan negara akan terancam.
Sumber: *http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0165&ikey=1*
Pemikiran tentang :
Lingkungan hidup
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar