Lumpur Lapindo dan Praktek Neoliberal, Apakah benar ?

KNOWLEDGE SHARING OFFICER FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT, ONEWORLD-INDONESIA
Ada fenomena menarik menjelang pemilihan umum presiden 2009 ini, yaitu mencuatnya isu neoliberal. Isu itu mencuat setelah calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggandeng Boediono sebagai calon wakil presidennya. Anehnya, semua calon presiden menolak disebut sebagai penganut paham ekonomi neoliberal. Bahkan, di berbagai media, calon wakil presiden Boediono pun menolak dituduh sebagai penganut paham neoliberal.Menurut peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Revrisond Baswir, ekonomi neoliberal adalah bentuk baru liberalisme yang pada dasarnya sangat memuliakan mekanisme pasar.
Dalam sistem ekonomi neoliberal, campur tangan negara, walaupun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar.Sistem neoliberal itu pada akhirnya menempatkan negara hanya sebagai pelayan korporasi besar daripada melindungi keselamatan warganya. Jika demikian halnya, maka kasus semburan lumpur Lapindo adalah contoh nyata praktek neoliberal di negeri ini. Apa hubungannya sistem neoliberal dengan lumpur Lapindo?Bila ditarik ke ranah kebijakan, munculnya semburan lumpur Lapindo tak bisa dilepaskan dari Undang-Undang Minyak dan Gas (Migas) Nomor 22 Tahun 2001. Beberapa pakar ekonomi menyatakan UU Migas ini adalah produk neoliberal, karena menempatkan negara hanya sebatas regulator dengan kewenangan terbatas.Dalam UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 disebutkan bahwa undang-undang ini mengalihkan kewenangan Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan kepada Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). BP Migas sendiri bukanlah badan usaha, melainkan berstatus badan hukum. Artinya, BP Migas hanya berperan sebatas regulator.
Untuk menjalankan kegiatan usaha migas di Indonesia, BP Migas harus menunjuk perusahaan kontraktor yang akan melaksanakannya.Lapindo adalah perusahaan yang ditunjuk BP Migas untuk melakukan eksplorasi di Blok Brantas, termasuk di kawasan padat penghuni Porong, Sidoarjo. Karena posisinya sebagai regulator, BP Migas pun tidak dapat melakukan pengawasan terhadap kegiatan operasional Lapindo secara maksimal. Termasuk mengawasi dipenuhinya prosedur penambangan Lapindo berupa pemasangan casing secara utuh pada lokasi pengeboran.Bahkan, sebagai pihak yang mewakili negara, BP Migas juga tidak berdaya saat penentuan lokasi eksplorasi sumur migas Lapindo ternyata melanggar ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai yang menyebutkan bahwa sumur pengeboran migas harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan, atau tempat-tempat lain yang berpotensi menimbulkan sumber nyala api. Sementara itu, sumur Banjar Panji-1 hanya berjarak 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana publik, dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Akibatnya, ketika muncul semburan lumpur Lapindo, ribuan orang menjadi korban.Jika sistem ekonomi neoliberal menempatkan negara hanya sebagai pelayan korporasi, dalam kasus semburan lumpur Lapindo kita benar-benar melihat hal tersebut terjadi secara nyaris sempurna.
Posisi negara sebagai pelayan korporasi itu semakin nyata ketika secara legal negara mengabaikan persoalan dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan hidup yang dialami warga akibat semburan lumpur panas. Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2001 dengan jelas mereduksi persoalan tersebut. Persoalan ganti rugi yang harusnya mencakup ganti rugi dari dampak kesehatan direduksi menjadi sekadar persoalan jual-beli aset fisik korban lumpur.Ribuan bayi di kawasan Porong, yang dilahirkan dan berpotensi menjadi generasi cacat karena menghirup udara beracun dan menggunakan air yang telah tercemar, tidak dianggap penting lagi oleh negara. Bahkan negara sebisa mungkin menutup informasi bahwa semenjak muncul semburan lumpur, kawasan Porong sebenarnya sudah tercemar polutan yang membahayakan kehidupan manusia. Celakanya lagi, proses jual-beli aset fisik korban lumpur pun berjalan terseok-seok. Beberapa kali PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) mengingkari kesepakatan yang dibuat. Namun, sekali lagi, negara tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi rakyatnya.Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa praktek neoliberal di negara ini tidak hanya telah menghancurkan sistem ekonomi secara umum, tapi telah menimbulkan kerusakan ekologi secara massif seperti yang terjadi dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Lantas, bagaimana sikap para calon presiden terhadap kasus lumpur Lapindo? Adalah mantan Ketua Umum Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif dalam sebuah tulisannya di salah satu media massa nasional yang telah mengimbau kepada para calon presiden untuk memperhatikan persoalan lumpur Lapindo yang telah berlarut-larut hingga tiga tahun ini.Namun, rupanya, seruan mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu dianggap angin lalu oleh para calon presiden kita.
Alih-alih mendatangi para korban lumpur Lapindo untuk berdialog mengenai proses penyelesaian kasus lumpur Lapindo secara lebih adil, para calon presiden kita lebih memilih berdialog dengan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.Di acara yang diselenggarakan oleh Kadin Indonesia itu, semua calon presiden mengobral janji tentang pertumbuhan ekonomi yang akan menyejahterakan rakyat Indonesia. Namun sayang, semua calon presiden tidak sedikit pun menyinggung soal rencana penyelesaian persoalan lumpur Lapindo secara lebih adil. Keengganan para calon presiden untuk bersikap terhadap persoalan lumpur Lapindo telah menunjukkan bahwa mereka semua sesungguhnya telah terjangkit virus neoliberal dengan kadar yang beragam. Bantahan bahwa mereka bebas dari neoliberal adalah upaya mengelabui rakyat untuk merebut kursi kekuasaan. Lantas, akankah kita memilih calon presiden yang telah mengelabui rakyatnya?
Sumber :Firdaus Cahyadi (Tempo News)

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.