Minggu, Juni 28, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
Menguak Potensi Dasar Laut Indonesia
Memiliki wilayah yang luas-hampir sebanding dengan daratan Amerika Serikat-bagi Indonesia ada untung ruginya. Dilihat fisiknya sebenarnya hanya sepertiga wilayah negeri ini yang berada di atas permukaan laut berupa belasan ribu pulau besar kecil. Dengan begitu sangat sedikit potensi lahan bisa termanfaatkan penduduknya yang begitu padat. Karena dipisahkan laut, mobilitas mereka pun menjadi terbatas.
Namun di balik itu, di dalam perairan yang mencakup sebagian besar wilayahnya, negeri Nusantara ini memiliki potensi kelautan yang melimpah.
<>
Selama ini baru potensi perikanan yang banyak menjadi perhatian dan sasaran eksploitasi karena dekat dengan permukaan laut dan pantai. Bagaimana dengan sumber daya alam yang berada di dasar laut? Sayangnya itu masih banyak yang menjadi misteri dan tanda tanya. Salah satu pertanyaan tentang dasar laut Indonesia adalah yang berkaitan dengan rangkaian gunung api dan patahan lapisan permukaan Bumi.
Bila di wilayah daratan Indonesia ada jajaran gunung api yang berjajar melingkar dari Sumatera hingga ke Maluku dan Sulawesi Utara serta munculnya sesar-sesar yang terbentuk akibat interaksi tiga lempeng tektonik dunia, maka apakah di laut pun terjadi hal yang sama.
Lalu bila aktivitas gunung api yang memuntahkan material magma dari perut Bumi ke permukaan, yang antara lain berupa bahan mineral termasuk emas, apakah gunung api didasar laut-jika ditemukan- berperilaku sama.
Yang terpenting adalah mengetahui sumber daya alam di bawah laut itu. Dilihat dari sumber migasnya saja, Indonesia diketahui memiliki 60 cekungan minyak dan gas bumi, yang diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 miliar barrel minyak. Dari jumlah cekungan itu, 40 cekungan terdapat di lepas pantai dan 14 cekungan lagi ada di pesisir.
Meski cadangan minyak dan gas bumi Indonesia tergolong besar, seperti dikemukakan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri beberapa waktu lalu, cadangan ini tersebar pada lokasi perairan yang terpencil. Saat ini, masih ada sekitar 22 cekungan yang belum diteliti atau dieksplorasi kandungannya.
Untuk menjawab semua itu, lembaga riset di Indonesia melaksanakan serangkaian ekspedisi geologi kelautan dengan melibatkan peneliti asing. Di antaranya yang paling akhir adalah dua ekspedisi yang diberi nama Bandamin dan IASSHA. Tujuan penelitian itu, menemukan gunung-gunung api bawah laut dan dikaitkan dengan potensi mineral logam hidrotermal di dasar laut.
Ekspedisi dasar laut
Ekspedisi Bandamin pertama kali dilakukan tahun 2001 dengan menggunakan kapal riset BPPT, Baruna Jaya IV. Ekspedisi pertama yang dipimpin Dr Safri Burhanuddin dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (selaku Koordinator Peneliti Indonesia) dan Peter Harbach (Ketua Tim Peneliti Jerman) dilakukan di sekitar perairan Pulau Flores dan Wetar Nusa Tenggara Timur. Tujuannya untuk meneliti adanya sumber hidrotermal di dasar laut.
Penelitian dasar laut di wilayah Flores itu menarik minat geolog kelautan karena di daerah ini memiliki sistem pertemuan lempeng India-Australia, Pasifik dan Eurasia yang rumit. Dari penelitian diketahui adanya serangkaian gunung api di dasar laut di sekitar pulau vulkanik Komba yang terbentuk akibat interaksi antarlempeng tersebut. Ekspedisi ini menemukan dua gunung di dasar laut yang diberi nama Abang Komba dan Anak Komba.
Ekspedisi ini kemudian dilanjutkan bulan Agustus tahun ini dengan kapal riset LIPI, Baruna Jaya VIII, juga melibatkan peneliti dari Jerman. Ekspedisi Geologi Laut Bandamin II dilaksanakan oleh Tim Indonesia-Jerman di wilayah Laut Flores-Laut Banda, di sekitar Pulau Komba, Nusa Tenggara Timur.
Pemimpin ekspedisi kali ini Dr Lili Sarmili dari Puslit Geologi Kelautan. Selain diikuti peneliti dari Departemen Kelautan dan Perikanan, juga melibatkan peneliti dari ITB, Universitas Padjadjaran, UPN Veteran Yogyakarta, dan Universitas Trisakti.
Pada Ekspedisi Bandamin II selama dua minggu (14-28 Agustus 2003), mereka melakukan serangkaian penelitian yang survei batimetri, pengukuran konduktivitas, suhu dan kedalaman (CTD), pengambilan contoh batuan dari dasar laut, serta pemotretan kondisi bawah laut. Tim ekspedisi ini juga mendarat di Pulau Komba untuk mengadakan pengukuran- pengukuran geologi struktur di Gunung Komba.
Dari riset itu ditemukan lagi gunung api baru yang disebut Baruna Komba. Selain itu dari pengambilan sampel batuan didasar laut pada kedalaman 500-600 meter di bawah permukaan laut, di sekitar gunung api tersebut ditemukan batuan yang mengandung andesit, dan basalt. Batuan terbentuk akibat proses hidrotermal melalui proses silisifikasi dan kloritifikasi. Selain itu, teridentifikasi adanya mineral-mineral sulfida pirit, barit, dan markasit.
Kehadiran mineral logam ini merupakan indikator kemungkinan terbentuknya mineral- mineral logam lain yang memiliki nilai ekonomis, seperti emas dan perak. Dugaan tersebut mengacu pada temuan sebelumnya yang dilakukan peneliti dari Australia di dasar Laut Bismarck, sebelah utara Papua Niugini. Di lokasi itu ditemukannya endapan hidrotermal cerobong (chimney deposit) pada gunung-gunung api bawah laut, yang mengandung mineral, seperti emas, perak, tembaga, seng dan timbel.
Untuk lebih memastikan hal itu, para peneliti melakukan analisis lebih lanjut di laboratorium terhadap berbagai sampel batuan yang diambil itu untuk mengetahui potensi kadar mineral logam mulia tersebut. Penelitian tersebut akan dilakukan di laboratorium geokimia di milik lembaga riset terkait di Indonesia dan Jerman.
Ekspedisi IASSHA
Ekspedisi Indonesia-Australia Survey for Submarine Hydrothermal Activity (IASSHA) di sekitar Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, pada tahun 2001 telah menghasilkan temuan yang memiliki nilai ilmiah berarti. Penelitian kelautan ini dilaksanakan LIPI bekerja sama dengan BRKP-DKP dan CSIRO Australia.
Bagi para peneliti, dasar Laut Sulawesi dan Laut Banda merupakan lokasi yang memiliki daya tarik tinggi. Karena berdasarkan penelitian sebelumnya diperkirakan adanya endapan minyak dan gas dalam jumlah potensial, diperkirakan 6,6 miliar meter kubik.
Menurut dugaan Dr Yusuf Surahman, Direktur Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (TISDA) BPPT beberapa waktu lalu, kandungan mineral yang bernilai ekonomis akan ditemukan dalam jumlah potensial di perairan utara Sulawesi dan Maluku karena topografi dasar lautnya sama dengan di Papua Niugini yang telah diketahui kaya akan sumber mineral dasar laut. Sumber tambang dasar laut di Papua Niugini mengandung tembaga, seng, plumbum, emas, dan perak. Eksploitasinya mencapai 200 ton per hari.
Wilayah utara perairan Sulawesi, Maluku, dan Irian merupakan daerah subduksi antara dua lempeng benua Eurasia dan Pasifik. Interaksi ini menyebabkan terbentuknya gunung-gunung api. Sumber mineral dasar laut ditemukan di daerah hidrotermal atau
Di daerah keluarnya cairan magma dari perut Bumi terjadi mineralisasi karena tercampur dengan air laut. Mineral itu bertumpuk-tumpuk di mulut magma menghasilkan puncak gunung yang runcing dan menjulang tinggi, pada kedalaman sekitar 2.000 hingga 4.000 meter dari permukaan laut.
Dalam ekspedisi IASSHA I yang dipimpin Dr Haryadi Permana, dari Puslit Geoteknologi LIPI, berhasil ditemukan sumber-sumber emas di dasar laut Sangihe Talaud. Potensinya ditaksir berkisar 0,5 hingga 1 gram per ton batuan. Selain menemukan sumber logam mulia itu, juga diketahui adanya sumber mineral logam hidrotermal lainnya, yaitu perak, tembaga, seng dan timbal.
Ekspedisi geologi kelautan yang menggunakan kapal Baruna Jaya VIII milik LIPI itu bertujuan untuk mengetahui aktivitas hidrotermal dan endapan mineral di dasar laut, dengan melibatkan 25 ilmuwan dari Indonesia dan tujuh ilmuwan Australia.
Pengambilan sampel dalam ekspedisi IASSHA 2001, jelas Haryadi, dilakukan hanya di satu spot dan analisis dari pengukuran batimetri masih sangat kasar. Karena itu, masih diperlukan penelitian yang intensif untuk memperkirakan cadangan mineral di lokasi tersebut.
Ekspedisi lanjutan
Untuk itu bulan Agustus lalu LIPI menggelar ekspedisi IASSHA 2003 di lokasi yang sama. Pada ekspedisi yang juga dipimpin Haryadi penelitian dilakukan di areal yang lebih luas. Analisis batuan yang diambil di dasar laut sekitar Sangihe Talaud, jelas Haryadi, yang dihubungi Kompas, Selasa (18/11), belum selesai dilakukan. Analisis sampel batuan dasar laut itu dilakukan di Kanada. Namun ditambahkan dari batuan itu ada indikasi terjadinya mineralisasi.Pada Ekspedisi IASSHA 2003, yang melibatkan peneliti dari Australia, ditemukan pula gunung api bawah laut di dekat Kepulauan Kawio, Sulawesi Utara. Pulau itu diberi nama Anak Kawio.
Setahun sebelumnya dilaksanakan IASSHA 2002 di Selat Sunda pada daerah tujaman dan sobekan pada pertemuan lempeng benua di lokasi tersebut. Dari penelitian itu diketahui tidak ditemukan adanya hidrotermal aktif. Namun, tim ilmuwan menemukan adanya indikasi emas di Teluk Semangko dekat gunung api bawah laut yang sudah tidak aktif lagi. Gunung itu dekat dengan Pulau Tabuan Air disebut Gunung Tabuan Air. Kandungan emas di lokasi itu sekitar 5 part per billion atau 0,5 gram per ton.
Sumber : LIPI
Namun di balik itu, di dalam perairan yang mencakup sebagian besar wilayahnya, negeri Nusantara ini memiliki potensi kelautan yang melimpah.
<>
Selama ini baru potensi perikanan yang banyak menjadi perhatian dan sasaran eksploitasi karena dekat dengan permukaan laut dan pantai. Bagaimana dengan sumber daya alam yang berada di dasar laut? Sayangnya itu masih banyak yang menjadi misteri dan tanda tanya. Salah satu pertanyaan tentang dasar laut Indonesia adalah yang berkaitan dengan rangkaian gunung api dan patahan lapisan permukaan Bumi.
Bila di wilayah daratan Indonesia ada jajaran gunung api yang berjajar melingkar dari Sumatera hingga ke Maluku dan Sulawesi Utara serta munculnya sesar-sesar yang terbentuk akibat interaksi tiga lempeng tektonik dunia, maka apakah di laut pun terjadi hal yang sama.
Lalu bila aktivitas gunung api yang memuntahkan material magma dari perut Bumi ke permukaan, yang antara lain berupa bahan mineral termasuk emas, apakah gunung api didasar laut-jika ditemukan- berperilaku sama.
Yang terpenting adalah mengetahui sumber daya alam di bawah laut itu. Dilihat dari sumber migasnya saja, Indonesia diketahui memiliki 60 cekungan minyak dan gas bumi, yang diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 miliar barrel minyak. Dari jumlah cekungan itu, 40 cekungan terdapat di lepas pantai dan 14 cekungan lagi ada di pesisir.
Meski cadangan minyak dan gas bumi Indonesia tergolong besar, seperti dikemukakan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri beberapa waktu lalu, cadangan ini tersebar pada lokasi perairan yang terpencil. Saat ini, masih ada sekitar 22 cekungan yang belum diteliti atau dieksplorasi kandungannya.
Untuk menjawab semua itu, lembaga riset di Indonesia melaksanakan serangkaian ekspedisi geologi kelautan dengan melibatkan peneliti asing. Di antaranya yang paling akhir adalah dua ekspedisi yang diberi nama Bandamin dan IASSHA. Tujuan penelitian itu, menemukan gunung-gunung api bawah laut dan dikaitkan dengan potensi mineral logam hidrotermal di dasar laut.
Ekspedisi dasar laut
Ekspedisi Bandamin pertama kali dilakukan tahun 2001 dengan menggunakan kapal riset BPPT, Baruna Jaya IV. Ekspedisi pertama yang dipimpin Dr Safri Burhanuddin dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (selaku Koordinator Peneliti Indonesia) dan Peter Harbach (Ketua Tim Peneliti Jerman) dilakukan di sekitar perairan Pulau Flores dan Wetar Nusa Tenggara Timur. Tujuannya untuk meneliti adanya sumber hidrotermal di dasar laut.
Penelitian dasar laut di wilayah Flores itu menarik minat geolog kelautan karena di daerah ini memiliki sistem pertemuan lempeng India-Australia, Pasifik dan Eurasia yang rumit. Dari penelitian diketahui adanya serangkaian gunung api di dasar laut di sekitar pulau vulkanik Komba yang terbentuk akibat interaksi antarlempeng tersebut. Ekspedisi ini menemukan dua gunung di dasar laut yang diberi nama Abang Komba dan Anak Komba.
Ekspedisi ini kemudian dilanjutkan bulan Agustus tahun ini dengan kapal riset LIPI, Baruna Jaya VIII, juga melibatkan peneliti dari Jerman. Ekspedisi Geologi Laut Bandamin II dilaksanakan oleh Tim Indonesia-Jerman di wilayah Laut Flores-Laut Banda, di sekitar Pulau Komba, Nusa Tenggara Timur.
Pemimpin ekspedisi kali ini Dr Lili Sarmili dari Puslit Geologi Kelautan. Selain diikuti peneliti dari Departemen Kelautan dan Perikanan, juga melibatkan peneliti dari ITB, Universitas Padjadjaran, UPN Veteran Yogyakarta, dan Universitas Trisakti.
Pada Ekspedisi Bandamin II selama dua minggu (14-28 Agustus 2003), mereka melakukan serangkaian penelitian yang survei batimetri, pengukuran konduktivitas, suhu dan kedalaman (CTD), pengambilan contoh batuan dari dasar laut, serta pemotretan kondisi bawah laut. Tim ekspedisi ini juga mendarat di Pulau Komba untuk mengadakan pengukuran- pengukuran geologi struktur di Gunung Komba.
Dari riset itu ditemukan lagi gunung api baru yang disebut Baruna Komba. Selain itu dari pengambilan sampel batuan didasar laut pada kedalaman 500-600 meter di bawah permukaan laut, di sekitar gunung api tersebut ditemukan batuan yang mengandung andesit, dan basalt. Batuan terbentuk akibat proses hidrotermal melalui proses silisifikasi dan kloritifikasi. Selain itu, teridentifikasi adanya mineral-mineral sulfida pirit, barit, dan markasit.
Kehadiran mineral logam ini merupakan indikator kemungkinan terbentuknya mineral- mineral logam lain yang memiliki nilai ekonomis, seperti emas dan perak. Dugaan tersebut mengacu pada temuan sebelumnya yang dilakukan peneliti dari Australia di dasar Laut Bismarck, sebelah utara Papua Niugini. Di lokasi itu ditemukannya endapan hidrotermal cerobong (chimney deposit) pada gunung-gunung api bawah laut, yang mengandung mineral, seperti emas, perak, tembaga, seng dan timbel.
Untuk lebih memastikan hal itu, para peneliti melakukan analisis lebih lanjut di laboratorium terhadap berbagai sampel batuan yang diambil itu untuk mengetahui potensi kadar mineral logam mulia tersebut. Penelitian tersebut akan dilakukan di laboratorium geokimia di milik lembaga riset terkait di Indonesia dan Jerman.
Ekspedisi IASSHA
Ekspedisi Indonesia-Australia Survey for Submarine Hydrothermal Activity (IASSHA) di sekitar Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, pada tahun 2001 telah menghasilkan temuan yang memiliki nilai ilmiah berarti. Penelitian kelautan ini dilaksanakan LIPI bekerja sama dengan BRKP-DKP dan CSIRO Australia.
Bagi para peneliti, dasar Laut Sulawesi dan Laut Banda merupakan lokasi yang memiliki daya tarik tinggi. Karena berdasarkan penelitian sebelumnya diperkirakan adanya endapan minyak dan gas dalam jumlah potensial, diperkirakan 6,6 miliar meter kubik.
Menurut dugaan Dr Yusuf Surahman, Direktur Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (TISDA) BPPT beberapa waktu lalu, kandungan mineral yang bernilai ekonomis akan ditemukan dalam jumlah potensial di perairan utara Sulawesi dan Maluku karena topografi dasar lautnya sama dengan di Papua Niugini yang telah diketahui kaya akan sumber mineral dasar laut. Sumber tambang dasar laut di Papua Niugini mengandung tembaga, seng, plumbum, emas, dan perak. Eksploitasinya mencapai 200 ton per hari.
Wilayah utara perairan Sulawesi, Maluku, dan Irian merupakan daerah subduksi antara dua lempeng benua Eurasia dan Pasifik. Interaksi ini menyebabkan terbentuknya gunung-gunung api. Sumber mineral dasar laut ditemukan di daerah hidrotermal atau
Di daerah keluarnya cairan magma dari perut Bumi terjadi mineralisasi karena tercampur dengan air laut. Mineral itu bertumpuk-tumpuk di mulut magma menghasilkan puncak gunung yang runcing dan menjulang tinggi, pada kedalaman sekitar 2.000 hingga 4.000 meter dari permukaan laut.
Dalam ekspedisi IASSHA I yang dipimpin Dr Haryadi Permana, dari Puslit Geoteknologi LIPI, berhasil ditemukan sumber-sumber emas di dasar laut Sangihe Talaud. Potensinya ditaksir berkisar 0,5 hingga 1 gram per ton batuan. Selain menemukan sumber logam mulia itu, juga diketahui adanya sumber mineral logam hidrotermal lainnya, yaitu perak, tembaga, seng dan timbal.
Ekspedisi geologi kelautan yang menggunakan kapal Baruna Jaya VIII milik LIPI itu bertujuan untuk mengetahui aktivitas hidrotermal dan endapan mineral di dasar laut, dengan melibatkan 25 ilmuwan dari Indonesia dan tujuh ilmuwan Australia.
Pengambilan sampel dalam ekspedisi IASSHA 2001, jelas Haryadi, dilakukan hanya di satu spot dan analisis dari pengukuran batimetri masih sangat kasar. Karena itu, masih diperlukan penelitian yang intensif untuk memperkirakan cadangan mineral di lokasi tersebut.
Ekspedisi lanjutan
Untuk itu bulan Agustus lalu LIPI menggelar ekspedisi IASSHA 2003 di lokasi yang sama. Pada ekspedisi yang juga dipimpin Haryadi penelitian dilakukan di areal yang lebih luas. Analisis batuan yang diambil di dasar laut sekitar Sangihe Talaud, jelas Haryadi, yang dihubungi Kompas, Selasa (18/11), belum selesai dilakukan. Analisis sampel batuan dasar laut itu dilakukan di Kanada. Namun ditambahkan dari batuan itu ada indikasi terjadinya mineralisasi.Pada Ekspedisi IASSHA 2003, yang melibatkan peneliti dari Australia, ditemukan pula gunung api bawah laut di dekat Kepulauan Kawio, Sulawesi Utara. Pulau itu diberi nama Anak Kawio.
Setahun sebelumnya dilaksanakan IASSHA 2002 di Selat Sunda pada daerah tujaman dan sobekan pada pertemuan lempeng benua di lokasi tersebut. Dari penelitian itu diketahui tidak ditemukan adanya hidrotermal aktif. Namun, tim ilmuwan menemukan adanya indikasi emas di Teluk Semangko dekat gunung api bawah laut yang sudah tidak aktif lagi. Gunung itu dekat dengan Pulau Tabuan Air disebut Gunung Tabuan Air. Kandungan emas di lokasi itu sekitar 5 part per billion atau 0,5 gram per ton.
Sumber : LIPI
Pemikiran tentang :
Pengetahuan Umum
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar