Minggu, Oktober 10, 2010 |
0
Tanggapan Teman ?
BENAHI TATAT RUANG JAKARTA
JAKARTA (Pos Kota) – Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus segera dibenahi.
Hal ini dinilai mendesak mengingat di Jakarta saat ini hanya terdapat 5.755 ha
atau 8,93 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari total luas wilayah ibukota
seluas 66.152 ha. Tidak heran jika bencana akan terus mengancam Jakarta lantaran
minimnya ketersediaan daerah resapan.
Padahal sesuai dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, diperlukan RTH
sebanyak 30 persen dari luas wilayah yang ada untuk menyelamatkan lingkungan
Jakarta. Ironisnya hal tersebut tidak menjadi perhatian serius dari pemerintah
daerah yang dinilai tidak serius menangani masalah ini. hal ini menilik dari
hasil kajian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI terhadap
Peraturan Daerah (Perda) No.6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Jakarta 2010 yang hanya memberikan jatah lahan untuk RTH sebesar 13,94
persen atau sekitar 9.545 ha.
Angka ini menurut Ketua Walhi DKI, Ubaidillah ternyata jauh dari kategori kota
sehat. Terus menyempitnya RTH di Jakarta dikatakan, Ubaidillah terjadi akibat
Pemprov DKI terlalu longgar dalam mengeluarkan izin peruntukkan lahan. Bahkan
menurut catatan Walhi, telah terjadi penyimpangan hingga 70 persen atas RTRW DKI
Jakarta Tahun 2010.
Ubaidillah menuturkan penyimpangan ini didasari dari rekam jejak perjalanan RTRW
yang dimiliki Jakarta. Dalam master plan DKI Jakarta 1965-1985, di jaman
kepemimpinan Gubernur DKI, Ali Sadikin, RTH ditargetkan 37,2, persen lebih dari
20 ribu Ha.
Tingginya target ini didasari dari tujuan pemerintahan saat itu yakni menjadi
Jakarta sebagai paru-paru ibukota. Namun belum habis masa periode RTRW tersebut
kenyataannya diungkapkan Ubaidillah pada 1984 RTH di Jakarta telah berkurang
menjadi 28,8 persen.
Sedangkan pada master plan DKI Jakarta 1985-2005 kemudian mempersempit lagi
menjadi 26,1 persen. Bahkan pada periode ini RTH kembali menciut dengan adanya
konversi besar-besaran di kawasan Senayan pada 1996 yang berdampak menyusutnya
RTH sebesar 2,1 persen. Walhi menilai pada perubahan master plan 1985-2005 ke
master plan 2000-2010, telah terjadi rekayasa pemutihan area yang seharusnya
menjadi lahan hijau menjadi area industri maupun perumahan.
Dan yang terburuk terjadi pada master plan tahun 2000-2010 yang menghabisi
peruntukan RTH menjadi 13,94 persen. “Dimasa ini juga terindikasi penyimpangan
dan kami memperkirakan pada 2003 RTH di Jakarta tinggal 9,12 persen lantaran
adanya konversi reklamasi pantai utara dan pembangunan kantor walikota jakarat
Selatan,” ungkap Ubaidillah saat dihubungi Pos Kota, Kamis (23/9).
Perubahan itu, kata Ubaidillah, terjadi setelah keluar Instruksi Menteri Dalam
Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah
Perkotaan. Adanya peraturan itu mewajibkan Pemprov mengembalikan fungsi
perumahan yang berdiri di lahan resapan, menjadi area terbuka ”Namun, bukannya
kebijakan itu dituruti pemprov, namun justru memutihkan dengan mengerluarkan
membuat master plan 2000-2010 itu, padahal seharusnya master paln dibuat sebelum
tahun 2005 berakhir,” ujarnya.
Setidaknya dijabarkan Ubaidillah pada periode 20 tahun sejak tahun 1988 hingga
2008, sedikitnya 44 bangunan berupa hotel, wisma, villa, perumahan mewah, pusat
perbelanjaan, lapangan golf berdiri di area terbuka hijau. Diantaranya seperti
Senayan City, Ratu Plaza, Sudirman Place, Depdiknas, Wisma Fajar, Hotel Mulia,
Hotel Sultan, Simprug Golf serta Senayan Resident Apartement.
Sementara itu Iwan Kurniawan, Kasie Perencanaan dan Pengawasan Pengembangan
Ruang Kota Dinas Tata Ruang DKI, menyatakan kerap terjadi salah kepahaman di
masyarakat terkait keberadaan RTH di Jakarta. Iwan menyatakan banyak dari
masyarakat yan berpikir bahwa lahan yang masih kosong saat ini merupakan ruang
terbuka. Padahal tidak demikian. “Ada terdapat lahan kosong yang memang
peruntukannya untuk dibangun gedung namun masih kosong lantaran pemiliknya
kemungkinan belum memiliki modal,” ujar Iwan sekaligus menjawab adanya tudingan
penyalahan peruntukan pada RTRW yang berlaku saat ini.
Lebih lanjut Iwan menyatakan salah satu yangpaling dominan dalam terkikisnya RTH
ialah padatnya jumlah penduduk. Dimana banyak dari warga yang tengah membutuhkan
tempat tinggal akhirnya menyerobot ruang terbuka yang ada.
Dari catatan Dinas Tata Ruang dari hasil pendataan terkahir pada 2007 saat ini
jumlah pemukiman di DKI telah mencapai 47,18 persen dari luas wilayah Jakarta
atau sekitar 30.339 ha. sedangkan sisanya terbagi pada lahan fasos fasum sebesar
4,30 persen atau 2.772,91 ha, kantor pemerintahan 2,43 persen atau 1.568,17 ha,
perkantoran perdagangan dan jasa 4,84 persen atau 3.117,99 ha, industri
pergudangan 6,37 persen atau 4.104,46 ha, rumah toko atau rumah kantor 2,07
persen atau 1.332,72 ha, lahan kosong 12,23 persen atau 7.888,35 ha, RTH 8,93
persen atau 5.775,32 ha, saluran waduk/situ 3,31 persen atau 2.135,15 ha, dan
jalan 9,70 persen atau 6.253,07 ha.
Sementara mengenai adanya tuntutan openghentian pembangunan gedung untuk
menyelamatkan Jakarta, Iwan mengatakan ini tidaklah mungkin dapat dilakukan.
Pasalnya menurutnya pembangunan harsu terus dilakukan seiring dengan terusnya
peningkatan jumlah penduduk. “Jika tidak membangun industri atau perkantoran
bagaimana bisa menyediakan sarana lapangan pekerjaan. Disatu sisi perkembangan
jumlah penduduk menuntut juga tersedianya kebutuhan hidup,” timpalnya.Sebelumnya
GUbernur DKI, Fauzi Bowo, beberapa kali menyatakan sangatlah tidak mudah bagi
pemprov untuk menambah satu persen bagi ruang terbuka. Dikatakan, penambahan
satu persen RTH berarti sama luasnya sama dengan enam kali luas monas. ”Kalau
kita diminta menambah hingga 30 persen berarti kita masih kekurangan 20 persen
atau sama dengan 120 kali Monas, bagaimana caranya,” kilah Fauzi
Pemikiran tentang :
Pengetahuan Umum
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar