Lahan Gambut

Drainase Gambut Hambat Reduksi 26 Persen Emisi


Sistem drainase untuk pengeringan lahan-lahan gambut
berpotensi menghambat pencapaian target reduksi 26 persen emisi yang
dicanangkan pemerintah. Pemerintah perlu didorong menghentikan laju
pengeringan lahan gambut karena setiap penurunan satu meter air gambut
berpotensi melepas emisi 93 ton karbon dioksida per hektar per tahun.

”Reduksi emisi dengan penanaman satu miliar pohon pun tetap defisit jika
drainase lahan gambut tidak dihentikan,” kata Direktur Wetlands
International Indonesia I Nyoman N Suryadiputra, Jumat (15/1) di Jakarta.

Nyoman mengatakan, drainase lahan gambut di lokasi eksproyek lahan gambut
sejuta hektar di Kalimantan Tengah hingga sekarang berupa kanal-kanal
mencapai 4.500 kilometer. Jika hitungan luas lahan gambut sejuta hektar,
penurunan air satu meter menyebabkan potensi pelepasan emisi 93 juta ton
karbon dioksida per tahun.

Mengenai lokasi gambut lainnya yang masih dikuras airnya, menurut Nyoman,
juga terdapat di Riau. Luasnya mencapai 4,5 juta hektar dengan sistem
drainase yang diperkirakan lebih panjang dibandingkan drainase di Kalimantan
Tengah.

Indonesia diperkirakan memiliki 21 juta hektar lahan gambut. Luas lahan
gambut itu meliputi 7,2 juta hektar di Sumatera, 5,8 juta hektar di
Kalimantan, dan 8 juta hektar di Papua yang dikategorikan paling dangkal.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/18/02415174/drainase.gambut.hambat..reduksi.26.persen.emisi

Pemikiran tentang :

Indonesia Terprovokasi demi Kepentingan Dana

Tudingan Berbalik Arah Indonesia Terprovokasi Negara Emiter demi
Kepentingan Dana


Tudingan kebohongan terhadap publik dari sejumlah
lembaga swadaya masyarakat terhadap Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan
Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark, berbalik arah. Ini sekaligus menunjukkan
akses komunikasi dan akurasi data yang masih tersendat.

”Justru berbagai pernyataan lembaga swadaya masyarakat yang disampaikan
kepada pimpinan DPR itu yang mengandung kebohongan,” kata Sekretaris Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo yang mewakili Delegasi RI,
Selasa (19/1/2010) di Jakarta.

Skema utang luar negeri yang ditudingkan didapat dari konferensi Kopenhagen
dikatakan Agus, 100 persen salah. Yang benar, terdapat pendanaan
multilateral yang disebut Copenhagen Green Fund sebesar 30 miliar dollar AS.

Dana itu berasal dari negara-negara maju untuk menunjang kegiatan mitigasi
perubahan iklim di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Besarnya
dana yang bisa diperoleh Indonesia belum ditentukan, bukan 10 miliar dollar
AS seperti ditudingkan beberapa LSM.

Juga mengenai komitmen reduksi emisi 26 persen, menurut Agus, tidak bisa
dikaitkan dengan penolakan komitmen moratorium atau melindungi hutan alam
tersisa dalam perundingan Land Use Land Use Change and Forestry (LULUCF)
sebagai salah satu komponen negosiasi.

Menurut Agus, Delegasi RI menolak kebijakan moratorium hutan alam tersisa
dengan alasan untuk kepentingan pembangunan. Hal itu belum memungkinkan
diterapkan di Indonesia.

Dua hal lagi yang ditudingkan sebagai kebohongan terhadap publik yang
dilakukan Delegasi RI adalah tidak disinggungnya substansi kelautan dan
kepulauan dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada konferensi
itu. Kemudian tudingan bahwa tidak sepantasnya Delegasi RI turut
menandatangani kesepakatan minimalis Copenhagen Accord.

Agus menjelaskan, substansi kelautan tak dimasukkan ke dalam pidato Presiden
karena tidak semua aspirasi (kelautan) bisa dimasukkan ke dalam agenda
konferensi. Kemudian masalah penandatanganan Copenhagen Accord oleh 26
negara, yang disusul 3 negara lain dari 192 negara yang hadir, itu sebagai
upaya tidak digagalkannya konferensi. ”Tidak ada pembohongan publik di
sini,” kata Agus.

*Terprovokasi*

Salah satu perwakilan LSM yang menuding pembohongan publik Delegasi RI,
Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad, mengatakan, Indonesia telah
terprovokasi negara-negara industri atau maju demi kepentingan dana.

Semestinya, Indonesia bergabung dengan negara berkembang (negara selatan)
dan negara-negara pulau kecil untuk tetap memperjuangkan tuntutan
peningkatan reduksi emisi negara maju sebesar 40 persen dari level emisi
tahun 1990 pada 2020.

Sebelumnya, negara-negara maju yang tergabung dalam Annex-1 sesuai Protokol
Kyoto dikenai kewajiban menurunkan emisi sekitar 5 persen dari level 1990
pada tahun 2020. ”Surat tudingan kebohongan terhadap publik itu juga untuk
menyatakan, selama ini tidak pernah ada penyampaian esensi yang ingin
dicapai Indonesia, baik sebelum atau sesudah konferensi perubahan iklim
global kepada publik,” kata Chalid.

Komitmen reduksi emisi 26 persen, menurut Chalid, juga sama sekali tidak
diketahui latar belakang dan usaha apa saja untuk mencapainya. Menurut Agus,
saat ini ditetapkan target 26 persen emisi itu dari perkiraan emisi 2020
sebesar 2,95 gigaton karbon dioksida ekuivalen.

Sumber : http://sains.kompas.com/read/2010/01/20/07161881/Indonesia.Terprovokasi.Negara.Emiter.demi.Kepentingan.Dana

Pemikiran tentang :

2 pulau ditenggelamkan

Benarkah Dua Pulau di Riau Ditenggelamkan

Dua pulau itu, Pulau Rangsang, Kabupaten Meranti, dan Pulau Rupat,
Kabupaten Bengkali

Perusahaan industri kehutanan, PT Sumatera Riang Lestari
(SRL), membantah aktivitas pembukaan hutan rawa gambut untuk kebun akasia di
Pulau Rupat dan Pulau Rangsang akan mengakibatkan dua pulau di Provinsi Riau
itu tenggelam.

"Kami memiliki teknologi manajemen kanal yang ditangani langsung oleh
seorang direktur, sehingga aktivitas perusahaan di Pulau Rangsang dan Rupat
tidak akan membuat pulau itu tenggelam," kata Humas PT SRL, Afrijon Ponggok,
di Pekanbaru, Kamis 21 Januari 2010, seperti yang dilansir tvone.

Afrijon mengatakan, hal tersebut terkait pernyataan sebuah organisasi
lingkungan beberapa waktu lalu bahwa kegiatan penebangan hutan rawa gambut
di Pulau Rangsang, Kabupaten Meranti, dan Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis,
mengancam keberadaan dua pulau terdepan yang menghadap Selat Malaka itu. Ia
menjelaskan, manajemen kanal yang dilakukan perusahaan dapat menjamin
ketinggian air di kanal gambut akan selalu tetap.

Pembuatan kanal itu juga diyakini perusahaan dapat mencegah kebakaran di
areal lahan yang dibuka untuk kebun akasia. Ia juga mengatakan, bahwa
keberadaan perusahaan di pulau tersebut memiliki izin resmi seperti
rekomendasi dari bupati, gubernur dan izin Amdal yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang.

Selain itu, lanjutnya, perusahaan juga telah memperoleh Izin Usaha
Pemandaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dari Departemen
Kehutanan melalui SK 208/Menhut-II/ 2007. Meski begitu, perusahaan mengakui
bahwa hingga kini konflik dengan masyarakat setempat masih terus terjadi.

Areal di dalam konsesi perusahaan yang diakui masyarakat seperti yang berupa
perkampungan, persawahan, perladangan, dan kuburan tidak akan digarap oleh
perusahaan selama hal tersebut telah ada sebelum terbitnya izin perusahaan.

"Sepanjang kepemilikan masyarakat itu ada dan jelas maka perusahaan tidak
akan mengerjakan areal tersebut. Namun, perusahaan berkewajiban mengamankan
areal IUPHHK apabila terjadi perambahan kawasan hutan secara tidak sah oleh
pihak lain atau dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit," ujar Afrijon.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau,
Hariansyah Usman menyatakan, bahwa Pulau Rangsang dan Pulau Rupat terancam
tenggelam akibat alih fungsi hutan di lahan gambut menjadi kebun akasi oleh
PT SRL. Hariansyah menjelaskan, seluruh karakteristik pulau tersebut
merupakan hutan alam di rawa gambut, yang bagian bawahnya memiliki pori-pori
seperti spons.

Pembabatan tanaman di atasnya dan pembuatan kanal perusahaan akan menguras
air dan karbon yang terkandung di gambut, sehingga gambut akan menyusut.
Alih fungsi hutan di lahan gambut akan mempercepat intrusi air laut ke
daratan. Ini juga dikhawatirkan berpotensi kebakaran karena gambut mengering
mudah terbakar pada musim kemarau.

Menurut data Walhi, luas konsesi perusahaan di Pulau Rupat mencapai sekitar
29 ribu hektar (ha) dan luasan hutan yang kini dibabat sekitar 2.000 ha.
Sedangkan, untuk Pulau Rangsang, sudah sekitar 1.000 ha hutan yang dibabat
dari luas konsesi perusahaan sekitar 18.890 ha.

Sumber : http://nasional. vivanews. com/news/ read/123195- benarkan_ dua_pulau_ di_riau_ditengge lamkan

Pemikiran tentang :

Ilegal fishing Vs Anggaran

ANGGARAN PENGAWASAN KELAUTAN DIPANGKAS
2010, Illegal Fishing Berpotensi Naik 40%


Oleh Kunradus Aliandu

JAKARTA – Dipangkasnya anggaran pengawasan kelautan pada 2010 berpotensi meningkatkan illegal fishing (pencurian ikan) hingga 40% dari tahun lalu.

“Pemangkasan anggaran berdampak mengurangi semua kegiatan pengawasan kelautan, termasuk jumlah hari patroli kapal pengawas,” kata Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP) Aji Sularso kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (20/1).

Pengurangan anggaran pengawasan itu terkait dengan upaya Kementerian KP untuk menata kembali alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010. Pemangkasan anggaran ini akan berdampak negatif, karena jumlah hari pelayaran kapal pengawas yang sebelumnya 180 hari berkurang menjadi 100 hari.

“Pengawasan yang kurang itu berpotensi menyuburkan illegal fishing. Padahal, berdasarkan catatan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), potensi kerugian Indonesia akibat pencurian ikan mencapai Rp 30 triliun per tahun,” paparnya.

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI Herman Khaeron meminta agar Kementerian KP tidak terburu-buru merealokasi anggarannya dengan memangkas dana untuk pengawasan. Kementerian KP sebaiknya mencari jalan keluar dengan membahasnya bersama DPR.

“Realokasi anggaran itu sebaiknya dibicarakan lebih dulu dengan DPR. Untuk menutup kekurangan anggaran, mudah-mudahan Kementerian KP bisa memperoleh tambahan dana melalui APBN Perubahan (APBNP) 2010,” kata dia.

Menurut dia, APBNP akan diselesaikan pada April 2010 atau dipercepat dari jadwal semula September-Oktober mendatang. Oleh karena itu, kajian masalah tersebut harus segera dilakukan agar dana untuk pengawasan kelautan bisa dicukupi.

“Bila DPR menyetujui usulan penambahan anggaran Rp 485,41 miliar untuk Ditjen Pengawasan Kementerian KP lewat APBNP, target kerja pengawasan kelautan bisa tercapai. Kapal pengawas dapat kembali beroperasi selama 180 hari tahun 2010,” tuturnya.

Hibah Kapal
Aji optimistis, jika anggaran tidak dipangkas, target kerja Ditjen Pengawasan Kementerian KP tahun 2010 bisa dicapai. Target itu antara lain menangkap kapal pelaku illegal fishing (berbendera asing ataupun Indonesia) minimum 150 unit, melelang sedikitnya 50 kapal ikan asing untuk negara, serta menghibahkan sekitar 30 kapal ilegal kepada nelayan.

Pada 2009, Kementerian KP berhasil menangkap 203 kapal asing di perairan Indonesia, yang 35 di antaranya sudah ditenggelamkan. “Ada 14 kapal milik pengusaha Tiongkok yang ditangkap, yang berukuran 300 gross ton (GT). Nilainya sekitar Rp 500-600 miliar,” ucapnya.

Selain itu, Kementerian KP menangkap banyak kapal berukuran lebih kecil milik pengusaha Vietnam dan Thailand.

Batasi Kapal Eks Asing
Menurut anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudo Husodo, pencurian ikan di perairan Indonesia masih terjadi sampai saat ini. Ia pun meminta Kementerian KP agar lebih berhati-hati dalam memberikan izin tangkap, terutama kepada kapal dari Tiongkok.

“Ada banyak kapal diberi izin meski aktivitasnya patut dicurigai, karena kapal itu biasa melakukan illegal fishing. Kami secara khusus meminta Kementerian KP agar mengecek lagi kapal yang sudah diberi izin, terutama yang dibeli dari Tiongkok,” tandasnya.

Ia mendapat informasi, ekspor hasil kelautan dan perikanan RI ke Tiongkok mencapai 30 juta ton setahun. Sedangkan impor dari Negeri Tirai Bambu itu sebanyak 1 juta ton.

“Jangan-jangan, produk kelautan dan perikanan yang diimpor dari Tiongkok itu merupakan hasil tangkapan dari wilayah RI. Saya mencurigai membanjirnya produk perikanan Tiongkok ke Indonesia terkait dengan praktik illegal fishing di sini,” paparnya.

Sementara itu, Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian KP Dedy H Sutisna mengatakan, sejak 2007, pihaknya sudah tidak lagi memberikan izin kapal ikan asing untuk beroperasi di Indonesia dengan menggunakan bendera negaranya. Namun, pengusaha yang membeli kapal asing dan mengoperasikan dengan bendera Indonesia diberi izin penangkapan ikan.

“Tapi, mulai 2010, kami berencana menyetop impor semua kapal asing. Langkah ini bertujuan membantu pengontrolan praktik illegal fishing. Selama ini, banyak masalah timbul terkait dengan kapal impor, karena masih melakukan illegal fishing meski telah berbendera Indonesia,” tandasnya.

Sumber : koran Investor Daily, Kamis 21 Januari 2010

Pemikiran tentang :

becana dan peminggiran hak Rakyat


Bencana Ekologis, Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Peminggiran Terhadap Hak-Hak Rakyat


Bencana yang kerap melanda Kalimantan Selatan bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Tahun 2009 saja telah terjadi 21 kali banjir dan lebih dari 15.000 hektar sawah terendam. Tercatat 11 dari 13 kabupaten/kota menjadi daerah langganan banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Seperti Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, dan Tanah Bumbu merupakan daerah paling rawan terhadap ancaman bencana ini. Kota Banjarmasin juga tak aman karena rob/pasang laut selalu terjadi dan merendami permukiman warga. Sepanjang 2009, korban bencana alam ini mencapai 19.366 keluarga dengan taksiran kerugian Rp3 miliar lebih.

***Catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Walhi Kalimantan Selatan 2009

Pendahuluan

Kalimantan Selatan diawal tahun 2009 lalu dihiasi dengan bencana banjir yang sudah melanda sebagian besar wilayah hulu Kalimantan Selatan di akhir tahun 2008 dan berlanjut ke awal tahun 2009, banjir itu melanda Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Bumbu dan juga Kabupaten Kotabaru. Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sendiri sedikitnya mengakibatkan 10.075 KK menjadi korban . Sementara itu, korban banjir permanen yang berlangsung sejak 23 Desember 2008, di Kabupaten HSS mencapai 8.012 kepala keluarga (KK) tersebar pada lima kecamatan. Korban banjir tersebut, di Kecamatan Daha Selatan, sebanyak 16 desa dengan jumlah 4.261 KK, Kecamatan Daha Barat, meliputi tujuh desa sebanyak 665 KK, Kecamatan Daha Utara, meliputi 18 desa sebanyak 1,981 KK. Selain itu, korban banjir lainnya di Kecamatan Kelumpang meliputi enam desa dengan jumlah korban sebanyak 545 KK dan Kecamatan Kandangan, meliputi dua desa dengan jumlah korban sebanyak 560 KK. Itu baru yang terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan belum yang terjadi di Kabupaten-kabupaten lain di kalsel.

Bencana demi bencana yang setiap tahun melanda Kalimantan Selatan sepertinya bagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Di tahun 2009 saja menurut data dari Dinsos Kalsel sudah terjadi 21 kali banjir dan ada sekitar lebih dari 15.000 hektar persawahan yang terendam banjir. Tercatat 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel merupakan daerah langganan banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Daerah tersebut meliputi Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, dan Tanah Bumbu merupakan daerah paling rawan terhadap ancaman bencana ini. Untuk Kota Banjarmasin juga tidak aman karena rob atau pasang laut selalu terjadi dan merendami permukiman warga. Menurut catatan Dinas Kessos Kalsel, sepanjang 2009, korban bencana alam ini mencapai 19.366 keluarga dengan taksiran kerugian Rp3 miliar lebih.

Bencana banjir ini “hanya” lah menjadi menu pembuka awal tahun 2009, selanjutnya di sepanjang tahun 2009 Kalimantan Selatan terus-terusan “dihantam” bencana demi bencana yang silih berganti berdatangan mulai dari kekeringan, kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap. Yang parahnya bencana-bencana itu bukan hanya dipengaruhi oleh faktor alam saja. “Bencana pembangunan, terjadi sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial” . Pembangunan yang hanya menekankan kepada kepentingan ekonomi semata pada akhirnya telah mengamcam keselamatan keberlangsungan kehidupan rakyat. Dan ketika bencana telah datang, pertanyaan kita adalah siapa yang paling dirugikan akibat terjadinya bencana tersebut?, Apakah para pejabat-penguasa, para pengusaha atau rakyat? .

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM KALIMANTAN SELATAN

Kebijakan pengelolaan sumber daya alam Kalimantan selatan masih saja bertumpukan kepada industri ekstraktif dan ditambah dengan perluasan perkebunan kelapa sawit bahkan hingga ke daerah rawa. Pembangunan ekonomi yang berlangsung selama ini telah menempatkan sumber daya alam hanyalah sebagai onggokan komoditi semata. Oleh karenanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam dilakukan secara massif dan berlebihan dengan mengabaikan aspek ekologi-lingkungan, sosial dan kemungkinaan dampak bencana yang ditimbulkannya. Jikapun ada beberapa kebijakan dan pembangunan yang pro lingkungan namun tetap saja tidak mampu membendung laju kerusakan lingkungan yang terus berlangsung karena posisinya yang memang hanya dijadikan sebagai “alat pelengkap” saja agar kelihatan akomodatif dan bervisi berkelanjutan. Dan “pembangunan berkelanjutan” yang selama ini digandang-gadang oleh pemerintah ternyata pada kenyataannya masih tetap mengedepankan kepentingan ekonomi (jangka pendek) ketimbang keberlanjutan kehidupan itu sendiri.

Sektor Pertambangan

Tambang batubara masih lah menjadi primadona dan juga penggerak perekonomian Kalimantan Selatan. pengerukan batu bara di Kalimantan Selatan ini bisa diibaratkan seperti orang yang sedang ”menggali kuburannya sendiri.” Pernyataan ini bukan tanpa alasan karena kerusakan akibat kegiatan pertambangan batubara seringkali tidak terpulihkan. Pengerukan batubara banyak dilakukan dikawasan-kawasan hulu sungai, dan kawasan tangkapan air utama di Kalimantan Selatan telah meningkatkan resiko terjadinya bencana banjir, longsor hingga krisis air karena terganggunya daerah tangkapan air. Di masa depan kondisi ini akan memburuk, jika cadangan batubara dikawasan pegunungan Meratus menjadi sasaran pengerukan berikutnya. Kawasan tersebut merupakan kawasan tangkapan air yang tersisa dan secara fisik memiliki lereng-lereng curam rawan longsor. Semua ongkos sosial, ekonomi, dan kerusakan lingkungan yang mesti ditanggung akibat dari operasi pertambangan, tidaklah sebanding dengan manfaat finansial yang selalu dijadikan alasan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor ini. Eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan sudah melebihi daya dukung lingkungan yang ada dan melampaui ambang batas.

Sektor Kehutanan.

Kalimantan Selatan yang memiliki luas wilayah 3.751.687 hektar. Pola tata ruang di Kalimantan Selatan berdasarkan SK Menhut 435/2009 meliputi Hutan Lindung 526.425 hektar, hutan produksi 762.188 hektar hutan produksi terbatas 126.660 hektar, hutan produksi yang dapat di konversi 151.424 hektar, Hutan Suaka Alam dan hutan Wisata 213.285 hektar. Dari sekian luasan Kalimantan Selatan dan pola tata ruang yang sudah diatur terdapat kawasan HPH sebesar 261.966,67 hektar, ijin konsesi HTI seluas 383.683,46 hektar . Kawasan pertambangan sementara ini terdata yang sudah melakukan ekploitasi seluas 658.742,88 hektar , ini belum ditambah dari beberapa KP dan PKP2B yang sudah mengkapling daerah yang akan ditambang. Belum lagi konversi perkebunan sawit skala besar sebesar 360.833 dari realisasi rencana yang mencapai 700 ribu hektar.

Dilihat dari luas peruntukan untuk HPH, HTI, perkebunan skala besar dan Pertambangan saja luasnya mencapai 3.145.649 hektar. Luasan tersebut hampir sama dengan luas wilayah Kalimantan Selatan. Argumentasi yang logis untuk menelaah kondisi ini adalah telah terjadi tumpang tindih lahan dari tata guna hutan kesepakatan, sehinga akan sulit sekali melakukan pengelolaan yang berkelanjutan. Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang selama ini sangat susah diantisipasi. Diperlukan suatu tingkat koordinasi yang intensif antar sektor untuk pengelolaan bersama demi menjamin keamanan hutan dan SDA di Kalimantan Selatan dan wilayah lainnya.

Sedangkan untuk menyangga dan mengimbangi itu semua, Kalimantan Selatan hanya memiliki kawasan konservasi seluas 186.540 yang terdiri dari Suaka Marga satwa Pleihari seluas 6.000 hektar, Tahura Sultan Adam seluas 112.000 hektar, Cagar Alam Gunung Kentawan 245 hektar, Cagar Alam Teluk Kelumpang, Selat laut dan Selat sebuku seluas 66.650 hektar, Cagar Alam pulau Kaget seluas 85 hektar, Hutan Wisata Pulau Kembang seluas 60 hektar dan Taman Wisata Pleihari Pulau Laut seluas 1.500 hektar ditambah hutan lindung 440.720,84 yang tidak begitu jelas kondisinya. Kawasan Konservasi ini pun tidak terlepas dari ancaman pengrusakan dan tekanan-tekanan lain dari berbagai sektor industri terutama industri kayu (hutan) dan tambang.

Prediksi Kondisi Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan 2010

1. Ekploitasi “kuras habis” akan terus berlangsung, kecuali terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang dapat menjamin keberlangsungan ekosistem dan keberlanjutan ekonomi.

2. Dengan konsep PSDA yang ada sekarang yang menekankan eksploitasi SDA dan Alih Fungsi Lahan untuk meningkatan PAD, lemahnya penegakan hukum dan kecenderungan keberpihakan aparat kepada pengusaha maka kerusakan lingkungan dan konflik antara rakyat dan pengusaha akan terus berlanjut, bahkan bisa jadi terjadi konflik horizontal di tingkat rakyat.

3. Dengan RTRWP yang ada sekarang, dimana pendekatan yang dilakukan masih administrasi dan bukan kawasan, maka kerusakan lingkungan hidup akan lebih serius dan konflik antar wilayah akan terjadi, terutama daerah-daerah yang kaya akan SDA.

4. Dengan model pemerintah dan sistem perpolitikan yang ada sekarang, maka kehancuran dan pencemaran lingkungan hidup terus terjadi, baik dilakukan oleh kegiatan tambang batubara, kehutanan dan juga perkebunan.

5. Ancaman bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau akibat semakin rusaknya kawasan hutan dan rawa sebagai kawasan penyangga yang dapat melindungi dari banjir dan kekeringan.

Rekomendasi

1. Lakukan jeda (moratorium) perizinan baru terkait atas ekstraksi sumberdaya alam (tambang, migas, kehutanan, kelautan dsb) yang berskala besar, padat modal dan memiliki daya rusak ekologi tinggi, hingga adanya sebuah UU nasional yang integratif mengatur pengelolaan lingkungan hidup dan SDA Indonesia dari pusat hingga daerah yang berperspektif hak asasi manusia (HAM), penghormatan hak-hak konstitusi masyarakat adat/lokal, serta perlindungan terhadap perempuan, anak, dan komunitas rentan lainnya. Ilmuwan di berbagai belahan dunia telah membuktikan hubungan langsung antara kerusakan hutan dengan bencana banjir dan longsor, konflik dengan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, timbulnya kebakaran hutan dan juga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan iklim global. Jeda pembalakan kayu (moratorium logging) hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium menawarkan peluang pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan.

2. Hentikan kegiatan eksploitasi yang destruktif dan segera mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melukakan rehabilitasi.

3. Lakukan penertiban di sektor pertambangan dan kehutanan secara tegas dan transparan.

4. Melakukan pengkajian dan penelitian kembali secara menyeluruh terhadap potensi SDA yang ada, menghitung kemampuan dan daya dukung alam sehingga eksploitasi yang dilakukan dapat diatur untuk mencukupi kebutuhan SDA dan ekonomi Kalsel secara berkelanjutan.

5. Tolak pertambangan di kawasan lindung, pulau-pulau kecil dan lokasi-lokasi yang menjadi sumber kehidupan rakyat seperti lahan produktif petani.

6. Tegakkan hukum dibidang lingkungan dan adili para penjahat lingkungan yang ada tanpa pandang bulu.

disarikan daricatatan lingkungan hidup kalsel 2009WALHI Kalimantan Selatan
Banjarbaru, 26 Desember 2009

Sumber :

http://www.jatam.org/content/view/1081/21/

Pemikiran tentang :

Ketidak adilan proyek perubahan iklim

Proyek Carbon Offset dan
Ketidakadilan Iklim



Firdaus Cahyadi, KNOWLEDGE
SHARING OFFICER FOR SUSTAINABLE

DEVELOPMENT, ONEWORLD-INDONESIA



Pertemuan internasional soal isu perubahan iklim kembali digelar di Kopenhagen, Denmark.
Para delegasi dari berbagai negara kembali berkumpul untuk membicarakan masa
depan bumi ini. Indonesia, sebagai salah satu negara yang rentan terkena dampak
perubahan iklim, tak ketinggalan datang ke pertemuan itu.

Salah satu dampak buruk perubahan
iklim adalah meningkatnya potensi banjir di Tanah Air. Pada Januari 2009,
misalnya, parade banjir terjadi hampir di seluruh Indonesia. Pada bulan itu
banjir terjadi di Bekasi, Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, dan Nusa
Tenggara Barat. Bahkan banjir disertai tanah longsor juga terjadi di Karawang,
Jawa Barat.

Selain disebabkan oleh rusaknya
lingkungan hidup di kawasan tersebut, meningkatnya potensi bencana banjir dan
tanah longsor adalah akibat makin tingginya intensitas hujan. Hal itu merupakan
salah satu pertanda bahwa bencana ekologi global yang bernama perubahan iklim
telah terjadi di depan mata.

Banyaknya bencana itu
mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim. Pemerintah pun
memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan politik dan pendanaan kepada
masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.

Alih-alih membuat program
adaptasi, pemerintah justru lebih memilih berfokus pada kegiatan mitigasi
(pengurangan) emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Padahal,
sejatinya, sebagai negara berkembang, Indonesia belum memiliki kewajiban untuk
mengurangi GRK. Negara-negara maju sebagai penyebab perubahan iklimlah yang
seharusnya lebih bertanggung jawab menurunkan emisi GRK di dalam negerinya
masing-masing.


Dipinggirkannya kegiatan adaptasi
terhadap perubahan iklim itu tak lepas dari pergerakan modal yang lebih
berpihak kepada kegiatan mitigasi. Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Dr Ir Edi
Effendi Tedjakusuma, MA, dalam sebuah sarasehan tentang perubahan iklim di
Jakarta pada November 2009, mengatakan kegiatan mitigasi lebih banyak mendapat
dukungan dana, baik berupa hibah maupun utang, dari negara dan lembaga bisnis
bantuan internasional dibandingkan dengan kegiatan adaptasi.


Dari pernyataan Direktur Lingkungan
Hidup Bappenas itu jelas terlihat bahwa besar-kecilnya dukungan dana dari luar
negeri ikut mempengaruhi fokus kegiatan pemerintah dalam menangani isu
perubahan iklim di dalam negeri. Lantas, mengapa negara-negara maju dan lembaga
bisnis bantuan internasional lebih suka mengucurkan dananya untuk kegiatan
mitigasi ketimbang adaptasi di
Indonesia?


Hal itu ternyata terkait erat
dengan proyek carbon offset atau tukar guling emisi karbon, yang memang
diperbolehkan dalam kesepakatan internasional mengenai perubahan iklim. Carbon
offset adalah salah satu mekanisme untuk membantu negara-negara maju memenuhi
kewajibannya mengurangi GRK.



Dengan mekanisme carbon offset,
negara maju dapat mengurangi GRK di luar negaranya. Hal itu dilakukan karena biaya
untuk mengurangi GRK di negaranya dinilai jauh lebih mahal bila dibandingkan
dengan mengurangi GRK di luar negaranya.


Di Indonesia, 26,6 juta hektare
lahan pun telah direncanakan akan diperdagangkan dalam proyek carbon offset.
Uang yang beredar dalam proyek ini diperkirakan mencapai Rp 63 triliun. Melihat
banyaknya uang yang beredar dalam proyek carbon offset itu, tak mengherankan
bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin Indonesia menjadi pemimpin
dalam hal penurunan emisi GRK ini. Bahkan SBY mematok target ikut menurunkan
emisi GRK sebesar 26 persen pada 2020.

Target Indonesia dalam penurunan
emisi GRK sebesar itu pun mendapat pujian dari negara-negara maju. Pujian itu
antara lain datang dari Perdana Menteri Inggris Gordon Brown. Menurut Brown,
target yang ditetapkan pemerintah Indonesia tergolong berani, di saat negara
lain masih berwacana dan menjaga jarak. Tuluskah pujian Brown? Pujian itu
sejatinya lebih karena Indonesia membuka diri untuk proyek carbon offset guna
membantu negara-negara maju menurunkan emisi GRK.


Celakanya, pesta-pora proyek
mitigasi GRK melalui skema carbon offset itu tidak berkaitan sama sekali dengan
kehidupan masyarakat bawah yang semakin rentan terkena dampak perubahan iklim.
Bahkan proyek carbon offset, khususnya di sektor kehutanan, justru berpotensi
mengusir petani dan penduduk di sekitar hutan yang telah sekian lama
memanfaatkan hasil sumber daya hutan secara lestari.

Di Ulu Masen, Nanggroe Aceh
Darussalam, misalnya, sekitar 750 ribu hektare tanah rakyat sudah tidak boleh
ditinggali dan digarap lagi. Di Muara Jambi, para petani harus berjuang
melindungi tanah pertanian mereka seluas 101 ribu hektare tanah yang diklaim
menjadi kawasan konservasi dalam proyek carbon offset.

Maraknya proyek carbon offset dan
minimnya program adaptasi di negeri ini memang bertentangan dengan rasa
keadilan. Bagaimana tidak, masyarakat dibiarkan sendirian dalam
beradaptasi dengan perubahan iklim, bahkan sebagian di antara mereka diusir
dari tanah garapannya.

Sedangkan para petinggi di negeri
ini justru asyik berpesta dengan proyek carbon offset untuk membantu
negara-negara maju dalam menurunkan emisinya.

Bukan merupakan dosa besar jika
pemerintah Indonesia ingin membantu negara maju menurunkan emisi karbon seraya
berebut uang dalam berbagai proyek perubahan iklim. Namun, menjadi sebuah dosa
besar jika kegiatan membantu negara maju dan berebut uang tersebut membuat
pemerintah melupakan kewajibannya membantu warganya untuk beradaptasi terhadap
perubahan iklim.

Negara-negara berkembang adalah
korban perubahan iklim yang dipicu oleh keserakahan negara-negara maju dalam
mengkonsumsi energi fosil. Adalah sebuah ketidakadilan yang diperlihatkan
secara telanjang bila negara-negara berkembang dibiarkan dengan kemampuan
pendanaan terbatas untuk beradaptasi, sementara di sisi lain mereka dibujuk
dengan proyek- proyek carbon offset untuk ikut membantu negara-negara maju
menurunkan emisi karbon.

Pemikiran tentang :

Pengelolaan lingkungan

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan
CITIZEN & JURNALISM


Pola pikir yang terbentuk sebagai akibat pengalaman selama ini dengan sistem
pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik, lemahnya pengawasan,
ketidaktanggapan dalam mengubah pendekatan dan strategi pembangunan, serta
ketidak selarasan antara kebijakan dan pelaksanaan pada berbagai bidang
pembangunan dan terjadinya krisis ekonomi telah menyebabkan melemahnya
kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas secara otonom, tidak
terdesentralisasiny a kegiatan pelayanan masyarakat, ketidakmerataan
pertumbuhan ekonomi antar daerah, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam
proses perubahan sosial bagi peningkatan kesejahteraan di berbagai daerah.

Di samping itu, pembangunan sektoral yang terpusat cenderung kurang
memperhatikan keragaman kondisi sosial ekonomi daerah menyebabkan
ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, lemahnya
pertanggungjawaban kinerja pemerintah daerah kepada masyarakat, dan kurang
efektifnya pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat dalam meningkatkan
kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Di pihak lain, kondisi lingkungan hidup sudah mencapai tingkat yang
memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus menurun. Penyebab utamanya
adalah, karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian
sering diabaikan. Hal ini terjadi mengingat kelemahan kekuatan politik dari
pihak-pihak yang menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan hidup. Seperti
diketahui, pada saat ini perjuangan untuk melestarikan lingkungan hanya
didukung sekelompok kecil kelas menengah yang kurang mempunyai kekuatan
politik dalam pengambilan keputusan. Seperti kelompok - kelompok peduli
lingkungan, LSM, individu - individu yang aktif dalam pelestarian lingkungan
dan kritis terhadap kebijakan- kebijakan yang merugikan lingkungan,serta
kalangan akademisi .Pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian dan pengawasan pembangunan selama ini yang lebih menekankan
pada pendekatan sektor dan cenderung terpusat, menyebabkan pemerintah daerah
kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kapasitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat secara
optimal. Oleh karena itu,

(1) kekuatan pelestarian lingkungan perlu mendapat dukungan dari kekuatan-
kekuatan politik primer;

(2) demi keberhasilan usaha pelestarian lingkungan, masyarakat luas perlu
mempunyai keberdayaan, mampu dan aktif berperan serta secara efektif melalui
mekanisme demokrasi;

(3) pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, perlu memiliki kemampuan
ketataprajaan di bidang lingkungan hidup (good environmental governance),
agar mampu menjawab tantangan dari masyarakat yang sudah diberdayakan.

(4 Penegakkan hukum yang tegas disertai upaya - upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat.

Pemberdayaan Masyarakat

Upaya pemberdayaan masyarakat telah mendapat perhatian besar dari berbagai
pihak yang tidak terbatas pada aspek pemberdayaan ekonomi sosial, tetapi
juga menyangkut aspek pemberdayaan politik. Program - program telah banyak
diluncurkan oleh berbagai instansi yang didanai oleh APBD,APBN maupun dana
bantuan dari negara sahabat.

Pemberdayaan masyarakat terkait dengan pemberian akses bagi masyarakat,
lembaga, dan organisasi masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan hak
masyarakat bagi peningkatan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Oleh
sebab itu, pemberdayaan masyarakat amat penting untuk mengatasi ketidak
mampuan masyarakat yang disebabkan oleh keterbatasan akses, kurangnya
pengetahuan dan keterampilan, adanya kondisi kemiskinan yang dialami
sebagaian masyarakat, dan adanya keengganan untuk membagi wewenang dan
sumber daya yang berada pada pemerintah kepada masyarakat.

Potensi masyarakat untuk mengembangkan kelembagaan keswadayaan ternyata
telah meningkat akibat kemajuan sosial ekonomi masyarakat. Pada masa depan
perlu dikembangkan lebih lanjut potensi keswadayaan masyarakat, terutama
keterlibatan masyarakat pada berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan
ketahanan sosial, dan kepedulian mayarakat luas dalam memecahkan masalah
kemasyarakatan termasuk didalamnya masalah lingkungan, seperti lingkungan
tempat tinggal mereka, apakah itu di kawasan hutan, bantaran sungai, kawasan
konservasi, dan lain sebagainya.

Yang perlu ditumbuhkan dalam pemberdayaan masyarakat adalah timbulnya
kesadaran bahwa, mereka paham akan haknya atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta sanggup menjalankan kewajiban dan tanggung jawab untuk
tercapainya kualitas lingkungan hidup yang dituntutnya. Kemudian, berdaya
yaitu mampu melakukan tuntutan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
Selanjutnya, mandiri dalam kemampuan berkehendak menjalankan inisiatif lokal
untuk menghadapi masalah lingkungan di sekitarnya. Dan, secara aktif tidak
saja memperjuangkan aspirasi dan tuntutan kebutuhan lingkungan yang baik dan
sehat secara terus menerus, tetapi juga melakukan inisiatif lokal.

Pentingnya Pemerintah Mengubah Paradigma

Masalah dan tantangan dalam pengelolaan lingkungan mengharuskan pemerintah
mengubah paradigma dalam mewujudkan setiap kebijakan dengan mengutamakan
pola-pola keberpihakan pada msyarakat. Melalui perwujudan good governance,
di mana salah satu karakteristiknya adalah mendorong partisipasi dan
kemitraan dengan masyarakat, maka pembangunan harus melibatkan masyarakat.
Tanpa partisipasi masyarakat, tidak akan ada strategi yang mampu bertahan
lama. Peran masyarakat harus dipandang sebagai hal yang dinamis dan
memberikan suatu peluang bagi pemerintah yang bermaksud membangun
kredibilitas negara (goog governance) melalui potensinya dalam membangun
koalisi dan aksi kolektif.

Demikian pula halnya dalam pengelolaan lingkungan hidup, yang merupakan
faktor penting untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Keterlibatan dan peran berbagai kelompok/organisasi masyarakat dalam
penyaluran aspirasi masyarakat ke DPRD melalui mekanisme demokrasi telah
menciptakan suatu momentum menuju suatu rasa memiliki dan berkehendak serta
berkelanjutan bagi pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan
perwujudan good environmental governance.

Tujuan yang ingin dicapai :

a. Melakukan tuntutan (demand) secara aktif untuk mendapatkan lingkungan
yang baik dan sehat, dengan indikator :

pertama, peningkatan jumlah dan kualitas anggota masyarakat yang peduli dan
mampu mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan

kedua, meningkatkan keberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber
daya alam dan pemeliharaan lingkungan hidup melalui pendekatan keagamaan,
adat dan budaya.

b. Melakukan inisiatif lokal dalam menghadapi masalah lingkungan hidup di
sekitarnya, dengan indikator :

pertama, pola kemitraan yang berkembang di antara berbagai lembaga
masyarakat dan pemasyarakatan pembangunan berwawasan lingkungan,

kedua, hak-hak adat dan ulayat yang terlindungi dalam pengelolaan sumer daya
alam dan pelestarian lingkungan hidup,

ketiga, pengkajian keadaan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat adat dan
lokal, pemanfaatan kearifan lokal dalam pemeliharaan lingkungan hidup, serta
perlindungan terhadap teknologi tradisional dan ramah lingkungan, serta

keempat, peningkatan kepatuhan dunia usaha dan kesadaran masyarakat terhadap
peraturan perundang-undangan dan tata nilai masyarkat lokal yang berwawasan
lingkungan hidup.

Strategi Yang Dapat Ditempuh

Ada beberapa strategi yang dapat sditempuh untuk memberdayakan
masyarakat mengelola lingkungan hidupnya :

1. Mengembangkan komunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang mampu
menyampaikan pesan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungannya.

2. Mengembangkan kerjasama yang intensif dengan media massa dalam hal
sosialisasi dan pemberitaan mengenai peran serta kelompok masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan.

3. Memberikan apresiasi terhadap kelompok masyarakat yang berhasil mengelola
lingkungannya.

4. Pengintegrasian aliansi mitra strategis ke dalam program lingkungan
dilakukan melalui pendekatan yang melibatkan peran kelompok masyarakat
secara aktif. Hal tersebut dilaksanakan dengan cara memberikan dukungan dan
pengakuan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai potensi tawar
(barganing power) dalam hal isu lingkungan.

Tapi yang terpenting dalam pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan adalah masyarakat sadar sebagai bagian dari lingkungan dimana ia
berada, tumbuhnya kearifan lokal dalam mengelola lingkungan seperti yang
telah ditunjukkan oleh masyarakat adat antara Desa Teriak dan Desa Temia Sio
Kecamatan Teriak Kabupaten Bengkayang yang telah menetapkan Hutan Gunung
Jalo sebagai Hutan Adat. Dengan melestarikan hutan masyarakat setempat
dengan hukum adat yang melekat padanya masyarakat memiliki tanggung jawab
untuk menjaga dan melestarikan ekosistem hutan dan seluruh habitat yang ada
didalamnya. Yang tak kalah pentingnya adalah menanamkan pendidikan
lingkungan sejak dini.Perlu ditanamkan " Kesolehan Lingkungan ", bahwa
menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan bentuk ibadah dan perwujudan
syukur kepada Sang Khalik.

*) Penulis adalah staf Badan Lingkungan Hidp Kota Pontianak.

Pemikiran tentang :

Perubahan iklim yang mengancam

Ancaman Iklim Kian Nyata
Indonesia Harus Berdikari dan Lebih Aktif



*JAKARTA, KOMPAS* - Menyusul hasil Konferensi Perubahan Iklim PBB di
Kopenhagen, Denmark, berupa Persetujuan Kopenhagen yang tidak memuaskan,
ancaman perubahan iklim bagi Indonesia semakin nyata. Untuk memperkecil
dampaknya, Indonesia harus berdikari.

Selain itu, Indonesia dalam forum internasional pada masa mendatang harus
bersikap lebih aktif bersama dengan negara berkembang lainnya.

Demikian, antara lain, rangkuman wawancara yang dilakukan Kompas dengan
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia yang juga Koordinator Umum La Via
Campesina, Henry Saragih, dan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan Riza Damanik di Jakarta, Minggu (20/12).

Sementara itu, Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus
Purnomo menegaskan, Indonesia telah bertekad tidak lagi melakukan konversi
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dalam kesepakatan
sejumlah program kerja sama yang memuat prinsip pemantauan, pelaporan, dan
verifikasi (MRV), hal itu tetap dilakukan berdasarkan kesepakatan negara
bersangkutan.

Persetujuan Kopenhagen yang dihasilkan di Kopenhagen, Sabtu lalu, oleh
mereka disebut, antara lain, sebagai solusi yang menyesatkan (false
solution) bagi ancaman perubahan iklim global, juga menjadi instrumen yang
memperkuat kendali dan posisi negara-negara industri untuk memperdaya
negara-negara berkembang dan kepulauan seperti Indonesia.

Dalam Persetujuan Kopenhagen tidak termuat komitmen negara-negara industri
untuk mengurangi emisinya dalam jumlah besar, melainkan hanya ada
kesepakatan untuk menjaga agar kenaikan rata-rata suhu Bumi tidak melebihi 2
derajat celsius dibandingkan dengan era revolusi industri (sekitar 250 tahun
lalu).

Namun, di sana lahir sejumlah kesepakatan dalam Kelompok Kerja Ad Hoc Kerja
Sama Jangka Panjang (AWG-LCA) yang di antaranya merupakan aksi sukarela
negara berkembang terkait upaya mengurangi emisi gas rumah kacanya.

Di antaranya adalah skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan (REDD) dari negara-negara pemilik hutan yang tergabung dalam Forest-11
(F-11) dengan Indonesia sebagai inisiator. Selain itu, juga kebijakan
beralih ke agrofuel guna mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan
penghilangan penggunaan pestisida yang digantikan dengan rekayasa genetik
organisme (genetically modified organism/GMO).

Henry menegaskan, untuk agrofuel, misalnya, Indonesia akan memperluas
perkebunan kelapa sawit yang kini luasnya 7 juta hektar menjadi 19 juta
hektar. ”Jika ini dilakukan, justru akan memperparah pemanasan global,”
ujarnya.

Perkebunan kelapa sawit dinilai amat rakus air sehingga akan mengakibatkan
penggurunan, sementara perubahan fungsi lahan akan melepaskan emisi karbon
dalam jumlah besar.

”Tidak benar bahwa akan ada perluasan perkebunan kelapa sawit. Dengan luasan
7 juta hektar saja kebun kelapa sawit kita sudah yang terluas,” ujar Agus
Purnomo.

”Angka dari mana itu? Dalam dokumen pemerintah sejauh ini hal itu tidak ada.
Kalau ada, akan kami koreksi,” katanya.

*Berdikari*

Menurut Henry dan juga Riza, pada masa mendatang, guna mengurangi emisi
Indonesia dan untuk menolong situasi global, peran negara secara nasional
harus diperbesar dan Indonesia harus berdikari.

Di sektor pertanian, Indonesia lebih baik mengembangkan pertanian berbasis
keluarga daripada terseret pada arus dunia yang cenderung pada industri
pertanian. Menurut Henry, emisi sektor pertanian—dari seluruh prosesnya,
dari transportasi, industri pestisida, dan sebagainya— emisi gas rumah
kacanya mencapai 47-57 persen dari emisi total.

”Jika dijadikan industri, di sana sudah ada korporasi besar pertanian yang
akan memasok GMO. Ini tidak mengurangi emisi. Hasilnya juga untuk ekspor
yang berarti membutuhkan transportasi, yang berarti emisi,” katanya.

Dengan pertanian berbasis keluarga, tambahnya, industri pupuk berkurang
karena dipakai pupuk organik, sementara hasil pertanian adalah untuk pasar
lokal, bukan internasional. ”Ini jauh lebih efektif untuk mengurangi
pemanasan global,” ujarnya. Sepuluh tahun terakhir musim kemarau sudah
sekitar delapan bulan dari biasanya enam bulan.

Riza menegaskan, Indonesia ke depan harus berdikari dengan berfokus pada
pemantapan industri nasional, termasuk tata kelola sumber daya alam,
memperbesar perlindungan terhadap masyarakat rentan, seperti nelayan, dengan
menerbitkan informasi cuaca secara berkelanjutan dan terjangkau oleh
nelayan, serta menerbitkan pula asuransi (iklim) secara cuma-cuma sebagai
bentuk apresiasi dan motivasi kepada nelayan kita untuk terus melaut.

Menurut Riza, seperti diungkapkan Henry, ”Indonesia tidak bisa serta-merta
mengikuti arus perdagangan global dengan mengirim barang mentah untuk
keperluan industri di negara maju.” ”Yang harus diperkuat adalah industri
dalam negeri,” katanya.

Di sektor kelautan, tutur Riza, pemerintah harus menyadari, dampak perubahan
iklim sudah berdampak terhadap nelayan, antara lain dengan berkurangnya
jumlah nelayan dari sekitar 4 juta orang tahun 2003 tinggal sekitar 3 juta
orang pada 2008. Selain itu, abrasi dan banjir juga menjadi-jadi.

Sisi pendapatan nelayan kini turun 50 persen. Dari penelitian di Tarakan
(Kalimantan Timur), Wakatobi (Sulawesi Tengah), dan Teluk Jakarta, ”Dalam
lima tahun terakhir tangkapan ikan rata-rata turun dari 100 kilogram per dua
orang per trip turun menjadi 40-50 kilogram per dua orang per trip.
Pendapatan turun dari Rp 300.000 per dua orang per trip menjadi Rp 150.000
per dua orang per trip,” ujar Riza. Kini ikan dari perikanan tangkap
dibandingkan dengan perikanan budidaya nyaris 50:50. ”Dulu padahal 80 persen
dari perikanan tangkap,” ucapnya.

Akibat iklim ekstrem dan semakin sedikitnya sumber daya ikan akibat
pemanasan global, ”Wanita jadi harus ikut kerja menjadi pengupas kerang atau
kerja lain,” ujarnya.

Henry dan Riza sepakat, pada Pertemuan Para Pihak Ke-16 Konferensi Perubahan
Iklim PBB di Meksiko tahun depan, ”Indonesia harus menggalang koalisi dengan
negara-negara berkembang untuk menghadapi negara-negara industri dengan
lebih mengembangkan industri lokal.” (Brigitta Isworo Laksmi)

Sumber :

Pemikiran tentang :

Kadar Batu Bara di Sintang Capai 5.000 Kalori

Borneo Tribune, 8 Januari 2010


Kadar Batu Bara di Sintang Capai 5.000 Kalori

Keinginan Pemerintah Sintang dan masyarakatnya untuk memiliki pembangkit
listrik dengan bahan bakar batu bara bukan hanya mimpi. Sebab setelah
dilakukan penelitian dalam tahap eksplorasi dengan menggunakan metode
geolistrik, kadar energi batu bara yang terkandung dalam perut bumi Sintang
mencapai 5000 kalori. Demikian diungkapkan Kepala Dinas Pertambangan dan
Energi Sintang, Syamsul Hadi, kemarin.

"Kita telah bekerjasama dengan Universitas Veteran Nasional Yogyakarta untuk
melakukan penelitian tentang batu bara di Sintang. Dan hasilnya kadar energi
batu bara kita sangat baik dan sayang kalau hanya digunakan untuk bahan
bakar
pembangkit listrik. Karena bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih
besar
," paparnya.

Eksplorasi batu bara yang dilakukan bersama tim dari lab geologi Universitas
Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, tersebut menurut pria yang
akrab disapa kucu ini dilakukan di dua lokasi yang berbeda, yaitu di
Kecamatan Ketungau Hulu dan di Kecamatan Dedai.

Meskipun diakuinya bahwa pihaknya hingga saat ini belum mengetahui potensi
bahan tambang batu bara secara keseluruhan di Sintang, namun rencana
pemerintah untuk membangun pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara
bisa diwujudkan. Ia pun membenarkan bahwa pihaknya melalui Bupati Sintang,
Milton Crosby, atas nama daerah telah memberikan rekomendasi kepada PLN
pusat. Rekomendasi yang dimaksudkannya adalah guna pembangunan pembangkit
listrik yang diberi nama PLTGU.

"Saat ini perusahaan itu sedang melakukan penelitian dan menjajaki
kemungkinan kerjasama, sambil menunggu persetujuan dari PLN provinsi dan
pusat," katanya. Sayangnya Kadispertamben ini mengaku lupa nama perusahaan
yang tertarik melakukan investasi bidang kelistrikan ini. Namun menurutnya
pihak PLN sendiri, baik cabang Sintang, provinsi maupun pusat telah
melakukan suvey langsung ke lapangan. Tepatnya di Dusun Kaderas Kecamatan
Dedai. Rencananya pembangkit listrik tersebut akan dibangun di sekitar
Jerora. Pihak pemerintah sendiri telah menyediakan lahan di daerah tersebut.

"Kandungan batu bara di Kaderas itu bisa kita gunakan untuk kebutuhan
listrik selama 15-25 tahun," ujarnya.

Lebih jauh Syamsul Hadi mengatakan bahwa di dalam perut bumi Senetang ini
terkandung banyak sekali bahan tambang. Namun, hingga kini kekayaan itu
tidak bisa dieksploitasi untuk kesejahteraan masyarakatnya. Masalah sumber
daya manusia
dan biaya diakuinya sebagai kendala utama dalam melakukan
ekspoitasi. "Yang tak kalah vital lagi adalah bahwa kondisi infrastruktur
kita kurang mendukung sehingga menjadi hal utama yang mempengaruhi investor
yang ingin masuk ke Sintang," katanya.

Emas, zircon, minyak bumi, batu granit dan aneka bahan tambang lainnya
dipastikan tersimpan di perut bumi Sintang. Sayangnya, semua potensi itu
ternyata belum bisa memberikan efek bagi perkembangan dan kesejahteraan
masyarakat.

Pemerintah Sintang sendiri melalui dinas yang dipimpinnya sudah sering
melakukan expose. Baik di pusat bahkan sampai ke Malaysia. Bahkan sejumlah
leaflet yang berisi potensi Sintang khususnya pertambangan untuk mengundang
investor telah disebar. Namun, diakuinya beberapa investor yang datang
menyatakan urung berinvestasi dibidang pertambangan lantaran infrastruktur
tak mendukung.

"Satu-satunya jalan agar investor pertambangan masuk dan memberikan dampak
bagi masyarakat di daerah kita ini adalah bila pemerintah membuka pintu
gerbang perbatasan," tegasnya.

Sayangnya harapan agar pintu gerbang perbatasan di Sintang akan dibuka itu
hingga saat ini bagai menanti hujan di musim kemarau. Sebab selain menjadi
kewenangan pusat, masalah tersebut juga telah masuk ranah dunia
internasional. Sebab menyangkut hubungan G to G?

Pemikiran tentang :

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.