Ketidak adilan proyek perubahan iklim

Proyek Carbon Offset dan
Ketidakadilan Iklim



Firdaus Cahyadi, KNOWLEDGE
SHARING OFFICER FOR SUSTAINABLE

DEVELOPMENT, ONEWORLD-INDONESIA



Pertemuan internasional soal isu perubahan iklim kembali digelar di Kopenhagen, Denmark.
Para delegasi dari berbagai negara kembali berkumpul untuk membicarakan masa
depan bumi ini. Indonesia, sebagai salah satu negara yang rentan terkena dampak
perubahan iklim, tak ketinggalan datang ke pertemuan itu.

Salah satu dampak buruk perubahan
iklim adalah meningkatnya potensi banjir di Tanah Air. Pada Januari 2009,
misalnya, parade banjir terjadi hampir di seluruh Indonesia. Pada bulan itu
banjir terjadi di Bekasi, Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, dan Nusa
Tenggara Barat. Bahkan banjir disertai tanah longsor juga terjadi di Karawang,
Jawa Barat.

Selain disebabkan oleh rusaknya
lingkungan hidup di kawasan tersebut, meningkatnya potensi bencana banjir dan
tanah longsor adalah akibat makin tingginya intensitas hujan. Hal itu merupakan
salah satu pertanda bahwa bencana ekologi global yang bernama perubahan iklim
telah terjadi di depan mata.

Banyaknya bencana itu
mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim. Pemerintah pun
memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan politik dan pendanaan kepada
masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.

Alih-alih membuat program
adaptasi, pemerintah justru lebih memilih berfokus pada kegiatan mitigasi
(pengurangan) emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Padahal,
sejatinya, sebagai negara berkembang, Indonesia belum memiliki kewajiban untuk
mengurangi GRK. Negara-negara maju sebagai penyebab perubahan iklimlah yang
seharusnya lebih bertanggung jawab menurunkan emisi GRK di dalam negerinya
masing-masing.


Dipinggirkannya kegiatan adaptasi
terhadap perubahan iklim itu tak lepas dari pergerakan modal yang lebih
berpihak kepada kegiatan mitigasi. Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Dr Ir Edi
Effendi Tedjakusuma, MA, dalam sebuah sarasehan tentang perubahan iklim di
Jakarta pada November 2009, mengatakan kegiatan mitigasi lebih banyak mendapat
dukungan dana, baik berupa hibah maupun utang, dari negara dan lembaga bisnis
bantuan internasional dibandingkan dengan kegiatan adaptasi.


Dari pernyataan Direktur Lingkungan
Hidup Bappenas itu jelas terlihat bahwa besar-kecilnya dukungan dana dari luar
negeri ikut mempengaruhi fokus kegiatan pemerintah dalam menangani isu
perubahan iklim di dalam negeri. Lantas, mengapa negara-negara maju dan lembaga
bisnis bantuan internasional lebih suka mengucurkan dananya untuk kegiatan
mitigasi ketimbang adaptasi di
Indonesia?


Hal itu ternyata terkait erat
dengan proyek carbon offset atau tukar guling emisi karbon, yang memang
diperbolehkan dalam kesepakatan internasional mengenai perubahan iklim. Carbon
offset adalah salah satu mekanisme untuk membantu negara-negara maju memenuhi
kewajibannya mengurangi GRK.



Dengan mekanisme carbon offset,
negara maju dapat mengurangi GRK di luar negaranya. Hal itu dilakukan karena biaya
untuk mengurangi GRK di negaranya dinilai jauh lebih mahal bila dibandingkan
dengan mengurangi GRK di luar negaranya.


Di Indonesia, 26,6 juta hektare
lahan pun telah direncanakan akan diperdagangkan dalam proyek carbon offset.
Uang yang beredar dalam proyek ini diperkirakan mencapai Rp 63 triliun. Melihat
banyaknya uang yang beredar dalam proyek carbon offset itu, tak mengherankan
bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin Indonesia menjadi pemimpin
dalam hal penurunan emisi GRK ini. Bahkan SBY mematok target ikut menurunkan
emisi GRK sebesar 26 persen pada 2020.

Target Indonesia dalam penurunan
emisi GRK sebesar itu pun mendapat pujian dari negara-negara maju. Pujian itu
antara lain datang dari Perdana Menteri Inggris Gordon Brown. Menurut Brown,
target yang ditetapkan pemerintah Indonesia tergolong berani, di saat negara
lain masih berwacana dan menjaga jarak. Tuluskah pujian Brown? Pujian itu
sejatinya lebih karena Indonesia membuka diri untuk proyek carbon offset guna
membantu negara-negara maju menurunkan emisi GRK.


Celakanya, pesta-pora proyek
mitigasi GRK melalui skema carbon offset itu tidak berkaitan sama sekali dengan
kehidupan masyarakat bawah yang semakin rentan terkena dampak perubahan iklim.
Bahkan proyek carbon offset, khususnya di sektor kehutanan, justru berpotensi
mengusir petani dan penduduk di sekitar hutan yang telah sekian lama
memanfaatkan hasil sumber daya hutan secara lestari.

Di Ulu Masen, Nanggroe Aceh
Darussalam, misalnya, sekitar 750 ribu hektare tanah rakyat sudah tidak boleh
ditinggali dan digarap lagi. Di Muara Jambi, para petani harus berjuang
melindungi tanah pertanian mereka seluas 101 ribu hektare tanah yang diklaim
menjadi kawasan konservasi dalam proyek carbon offset.

Maraknya proyek carbon offset dan
minimnya program adaptasi di negeri ini memang bertentangan dengan rasa
keadilan. Bagaimana tidak, masyarakat dibiarkan sendirian dalam
beradaptasi dengan perubahan iklim, bahkan sebagian di antara mereka diusir
dari tanah garapannya.

Sedangkan para petinggi di negeri
ini justru asyik berpesta dengan proyek carbon offset untuk membantu
negara-negara maju dalam menurunkan emisinya.

Bukan merupakan dosa besar jika
pemerintah Indonesia ingin membantu negara maju menurunkan emisi karbon seraya
berebut uang dalam berbagai proyek perubahan iklim. Namun, menjadi sebuah dosa
besar jika kegiatan membantu negara maju dan berebut uang tersebut membuat
pemerintah melupakan kewajibannya membantu warganya untuk beradaptasi terhadap
perubahan iklim.

Negara-negara berkembang adalah
korban perubahan iklim yang dipicu oleh keserakahan negara-negara maju dalam
mengkonsumsi energi fosil. Adalah sebuah ketidakadilan yang diperlihatkan
secara telanjang bila negara-negara berkembang dibiarkan dengan kemampuan
pendanaan terbatas untuk beradaptasi, sementara di sisi lain mereka dibujuk
dengan proyek- proyek carbon offset untuk ikut membantu negara-negara maju
menurunkan emisi karbon.

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.