Perubahan iklim yang mengancam

Ancaman Iklim Kian Nyata
Indonesia Harus Berdikari dan Lebih Aktif



*JAKARTA, KOMPAS* - Menyusul hasil Konferensi Perubahan Iklim PBB di
Kopenhagen, Denmark, berupa Persetujuan Kopenhagen yang tidak memuaskan,
ancaman perubahan iklim bagi Indonesia semakin nyata. Untuk memperkecil
dampaknya, Indonesia harus berdikari.

Selain itu, Indonesia dalam forum internasional pada masa mendatang harus
bersikap lebih aktif bersama dengan negara berkembang lainnya.

Demikian, antara lain, rangkuman wawancara yang dilakukan Kompas dengan
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia yang juga Koordinator Umum La Via
Campesina, Henry Saragih, dan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan Riza Damanik di Jakarta, Minggu (20/12).

Sementara itu, Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus
Purnomo menegaskan, Indonesia telah bertekad tidak lagi melakukan konversi
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dalam kesepakatan
sejumlah program kerja sama yang memuat prinsip pemantauan, pelaporan, dan
verifikasi (MRV), hal itu tetap dilakukan berdasarkan kesepakatan negara
bersangkutan.

Persetujuan Kopenhagen yang dihasilkan di Kopenhagen, Sabtu lalu, oleh
mereka disebut, antara lain, sebagai solusi yang menyesatkan (false
solution) bagi ancaman perubahan iklim global, juga menjadi instrumen yang
memperkuat kendali dan posisi negara-negara industri untuk memperdaya
negara-negara berkembang dan kepulauan seperti Indonesia.

Dalam Persetujuan Kopenhagen tidak termuat komitmen negara-negara industri
untuk mengurangi emisinya dalam jumlah besar, melainkan hanya ada
kesepakatan untuk menjaga agar kenaikan rata-rata suhu Bumi tidak melebihi 2
derajat celsius dibandingkan dengan era revolusi industri (sekitar 250 tahun
lalu).

Namun, di sana lahir sejumlah kesepakatan dalam Kelompok Kerja Ad Hoc Kerja
Sama Jangka Panjang (AWG-LCA) yang di antaranya merupakan aksi sukarela
negara berkembang terkait upaya mengurangi emisi gas rumah kacanya.

Di antaranya adalah skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan (REDD) dari negara-negara pemilik hutan yang tergabung dalam Forest-11
(F-11) dengan Indonesia sebagai inisiator. Selain itu, juga kebijakan
beralih ke agrofuel guna mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan
penghilangan penggunaan pestisida yang digantikan dengan rekayasa genetik
organisme (genetically modified organism/GMO).

Henry menegaskan, untuk agrofuel, misalnya, Indonesia akan memperluas
perkebunan kelapa sawit yang kini luasnya 7 juta hektar menjadi 19 juta
hektar. ”Jika ini dilakukan, justru akan memperparah pemanasan global,”
ujarnya.

Perkebunan kelapa sawit dinilai amat rakus air sehingga akan mengakibatkan
penggurunan, sementara perubahan fungsi lahan akan melepaskan emisi karbon
dalam jumlah besar.

”Tidak benar bahwa akan ada perluasan perkebunan kelapa sawit. Dengan luasan
7 juta hektar saja kebun kelapa sawit kita sudah yang terluas,” ujar Agus
Purnomo.

”Angka dari mana itu? Dalam dokumen pemerintah sejauh ini hal itu tidak ada.
Kalau ada, akan kami koreksi,” katanya.

*Berdikari*

Menurut Henry dan juga Riza, pada masa mendatang, guna mengurangi emisi
Indonesia dan untuk menolong situasi global, peran negara secara nasional
harus diperbesar dan Indonesia harus berdikari.

Di sektor pertanian, Indonesia lebih baik mengembangkan pertanian berbasis
keluarga daripada terseret pada arus dunia yang cenderung pada industri
pertanian. Menurut Henry, emisi sektor pertanian—dari seluruh prosesnya,
dari transportasi, industri pestisida, dan sebagainya— emisi gas rumah
kacanya mencapai 47-57 persen dari emisi total.

”Jika dijadikan industri, di sana sudah ada korporasi besar pertanian yang
akan memasok GMO. Ini tidak mengurangi emisi. Hasilnya juga untuk ekspor
yang berarti membutuhkan transportasi, yang berarti emisi,” katanya.

Dengan pertanian berbasis keluarga, tambahnya, industri pupuk berkurang
karena dipakai pupuk organik, sementara hasil pertanian adalah untuk pasar
lokal, bukan internasional. ”Ini jauh lebih efektif untuk mengurangi
pemanasan global,” ujarnya. Sepuluh tahun terakhir musim kemarau sudah
sekitar delapan bulan dari biasanya enam bulan.

Riza menegaskan, Indonesia ke depan harus berdikari dengan berfokus pada
pemantapan industri nasional, termasuk tata kelola sumber daya alam,
memperbesar perlindungan terhadap masyarakat rentan, seperti nelayan, dengan
menerbitkan informasi cuaca secara berkelanjutan dan terjangkau oleh
nelayan, serta menerbitkan pula asuransi (iklim) secara cuma-cuma sebagai
bentuk apresiasi dan motivasi kepada nelayan kita untuk terus melaut.

Menurut Riza, seperti diungkapkan Henry, ”Indonesia tidak bisa serta-merta
mengikuti arus perdagangan global dengan mengirim barang mentah untuk
keperluan industri di negara maju.” ”Yang harus diperkuat adalah industri
dalam negeri,” katanya.

Di sektor kelautan, tutur Riza, pemerintah harus menyadari, dampak perubahan
iklim sudah berdampak terhadap nelayan, antara lain dengan berkurangnya
jumlah nelayan dari sekitar 4 juta orang tahun 2003 tinggal sekitar 3 juta
orang pada 2008. Selain itu, abrasi dan banjir juga menjadi-jadi.

Sisi pendapatan nelayan kini turun 50 persen. Dari penelitian di Tarakan
(Kalimantan Timur), Wakatobi (Sulawesi Tengah), dan Teluk Jakarta, ”Dalam
lima tahun terakhir tangkapan ikan rata-rata turun dari 100 kilogram per dua
orang per trip turun menjadi 40-50 kilogram per dua orang per trip.
Pendapatan turun dari Rp 300.000 per dua orang per trip menjadi Rp 150.000
per dua orang per trip,” ujar Riza. Kini ikan dari perikanan tangkap
dibandingkan dengan perikanan budidaya nyaris 50:50. ”Dulu padahal 80 persen
dari perikanan tangkap,” ucapnya.

Akibat iklim ekstrem dan semakin sedikitnya sumber daya ikan akibat
pemanasan global, ”Wanita jadi harus ikut kerja menjadi pengupas kerang atau
kerja lain,” ujarnya.

Henry dan Riza sepakat, pada Pertemuan Para Pihak Ke-16 Konferensi Perubahan
Iklim PBB di Meksiko tahun depan, ”Indonesia harus menggalang koalisi dengan
negara-negara berkembang untuk menghadapi negara-negara industri dengan
lebih mengembangkan industri lokal.” (Brigitta Isworo Laksmi)

Sumber :

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.