becana dan peminggiran hak Rakyat


Bencana Ekologis, Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Peminggiran Terhadap Hak-Hak Rakyat


Bencana yang kerap melanda Kalimantan Selatan bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Tahun 2009 saja telah terjadi 21 kali banjir dan lebih dari 15.000 hektar sawah terendam. Tercatat 11 dari 13 kabupaten/kota menjadi daerah langganan banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Seperti Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, dan Tanah Bumbu merupakan daerah paling rawan terhadap ancaman bencana ini. Kota Banjarmasin juga tak aman karena rob/pasang laut selalu terjadi dan merendami permukiman warga. Sepanjang 2009, korban bencana alam ini mencapai 19.366 keluarga dengan taksiran kerugian Rp3 miliar lebih.

***Catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Walhi Kalimantan Selatan 2009

Pendahuluan

Kalimantan Selatan diawal tahun 2009 lalu dihiasi dengan bencana banjir yang sudah melanda sebagian besar wilayah hulu Kalimantan Selatan di akhir tahun 2008 dan berlanjut ke awal tahun 2009, banjir itu melanda Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Bumbu dan juga Kabupaten Kotabaru. Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sendiri sedikitnya mengakibatkan 10.075 KK menjadi korban . Sementara itu, korban banjir permanen yang berlangsung sejak 23 Desember 2008, di Kabupaten HSS mencapai 8.012 kepala keluarga (KK) tersebar pada lima kecamatan. Korban banjir tersebut, di Kecamatan Daha Selatan, sebanyak 16 desa dengan jumlah 4.261 KK, Kecamatan Daha Barat, meliputi tujuh desa sebanyak 665 KK, Kecamatan Daha Utara, meliputi 18 desa sebanyak 1,981 KK. Selain itu, korban banjir lainnya di Kecamatan Kelumpang meliputi enam desa dengan jumlah korban sebanyak 545 KK dan Kecamatan Kandangan, meliputi dua desa dengan jumlah korban sebanyak 560 KK. Itu baru yang terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan belum yang terjadi di Kabupaten-kabupaten lain di kalsel.

Bencana demi bencana yang setiap tahun melanda Kalimantan Selatan sepertinya bagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Di tahun 2009 saja menurut data dari Dinsos Kalsel sudah terjadi 21 kali banjir dan ada sekitar lebih dari 15.000 hektar persawahan yang terendam banjir. Tercatat 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel merupakan daerah langganan banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Daerah tersebut meliputi Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, dan Tanah Bumbu merupakan daerah paling rawan terhadap ancaman bencana ini. Untuk Kota Banjarmasin juga tidak aman karena rob atau pasang laut selalu terjadi dan merendami permukiman warga. Menurut catatan Dinas Kessos Kalsel, sepanjang 2009, korban bencana alam ini mencapai 19.366 keluarga dengan taksiran kerugian Rp3 miliar lebih.

Bencana banjir ini “hanya” lah menjadi menu pembuka awal tahun 2009, selanjutnya di sepanjang tahun 2009 Kalimantan Selatan terus-terusan “dihantam” bencana demi bencana yang silih berganti berdatangan mulai dari kekeringan, kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap. Yang parahnya bencana-bencana itu bukan hanya dipengaruhi oleh faktor alam saja. “Bencana pembangunan, terjadi sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial” . Pembangunan yang hanya menekankan kepada kepentingan ekonomi semata pada akhirnya telah mengamcam keselamatan keberlangsungan kehidupan rakyat. Dan ketika bencana telah datang, pertanyaan kita adalah siapa yang paling dirugikan akibat terjadinya bencana tersebut?, Apakah para pejabat-penguasa, para pengusaha atau rakyat? .

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM KALIMANTAN SELATAN

Kebijakan pengelolaan sumber daya alam Kalimantan selatan masih saja bertumpukan kepada industri ekstraktif dan ditambah dengan perluasan perkebunan kelapa sawit bahkan hingga ke daerah rawa. Pembangunan ekonomi yang berlangsung selama ini telah menempatkan sumber daya alam hanyalah sebagai onggokan komoditi semata. Oleh karenanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam dilakukan secara massif dan berlebihan dengan mengabaikan aspek ekologi-lingkungan, sosial dan kemungkinaan dampak bencana yang ditimbulkannya. Jikapun ada beberapa kebijakan dan pembangunan yang pro lingkungan namun tetap saja tidak mampu membendung laju kerusakan lingkungan yang terus berlangsung karena posisinya yang memang hanya dijadikan sebagai “alat pelengkap” saja agar kelihatan akomodatif dan bervisi berkelanjutan. Dan “pembangunan berkelanjutan” yang selama ini digandang-gadang oleh pemerintah ternyata pada kenyataannya masih tetap mengedepankan kepentingan ekonomi (jangka pendek) ketimbang keberlanjutan kehidupan itu sendiri.

Sektor Pertambangan

Tambang batubara masih lah menjadi primadona dan juga penggerak perekonomian Kalimantan Selatan. pengerukan batu bara di Kalimantan Selatan ini bisa diibaratkan seperti orang yang sedang ”menggali kuburannya sendiri.” Pernyataan ini bukan tanpa alasan karena kerusakan akibat kegiatan pertambangan batubara seringkali tidak terpulihkan. Pengerukan batubara banyak dilakukan dikawasan-kawasan hulu sungai, dan kawasan tangkapan air utama di Kalimantan Selatan telah meningkatkan resiko terjadinya bencana banjir, longsor hingga krisis air karena terganggunya daerah tangkapan air. Di masa depan kondisi ini akan memburuk, jika cadangan batubara dikawasan pegunungan Meratus menjadi sasaran pengerukan berikutnya. Kawasan tersebut merupakan kawasan tangkapan air yang tersisa dan secara fisik memiliki lereng-lereng curam rawan longsor. Semua ongkos sosial, ekonomi, dan kerusakan lingkungan yang mesti ditanggung akibat dari operasi pertambangan, tidaklah sebanding dengan manfaat finansial yang selalu dijadikan alasan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor ini. Eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan sudah melebihi daya dukung lingkungan yang ada dan melampaui ambang batas.

Sektor Kehutanan.

Kalimantan Selatan yang memiliki luas wilayah 3.751.687 hektar. Pola tata ruang di Kalimantan Selatan berdasarkan SK Menhut 435/2009 meliputi Hutan Lindung 526.425 hektar, hutan produksi 762.188 hektar hutan produksi terbatas 126.660 hektar, hutan produksi yang dapat di konversi 151.424 hektar, Hutan Suaka Alam dan hutan Wisata 213.285 hektar. Dari sekian luasan Kalimantan Selatan dan pola tata ruang yang sudah diatur terdapat kawasan HPH sebesar 261.966,67 hektar, ijin konsesi HTI seluas 383.683,46 hektar . Kawasan pertambangan sementara ini terdata yang sudah melakukan ekploitasi seluas 658.742,88 hektar , ini belum ditambah dari beberapa KP dan PKP2B yang sudah mengkapling daerah yang akan ditambang. Belum lagi konversi perkebunan sawit skala besar sebesar 360.833 dari realisasi rencana yang mencapai 700 ribu hektar.

Dilihat dari luas peruntukan untuk HPH, HTI, perkebunan skala besar dan Pertambangan saja luasnya mencapai 3.145.649 hektar. Luasan tersebut hampir sama dengan luas wilayah Kalimantan Selatan. Argumentasi yang logis untuk menelaah kondisi ini adalah telah terjadi tumpang tindih lahan dari tata guna hutan kesepakatan, sehinga akan sulit sekali melakukan pengelolaan yang berkelanjutan. Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang selama ini sangat susah diantisipasi. Diperlukan suatu tingkat koordinasi yang intensif antar sektor untuk pengelolaan bersama demi menjamin keamanan hutan dan SDA di Kalimantan Selatan dan wilayah lainnya.

Sedangkan untuk menyangga dan mengimbangi itu semua, Kalimantan Selatan hanya memiliki kawasan konservasi seluas 186.540 yang terdiri dari Suaka Marga satwa Pleihari seluas 6.000 hektar, Tahura Sultan Adam seluas 112.000 hektar, Cagar Alam Gunung Kentawan 245 hektar, Cagar Alam Teluk Kelumpang, Selat laut dan Selat sebuku seluas 66.650 hektar, Cagar Alam pulau Kaget seluas 85 hektar, Hutan Wisata Pulau Kembang seluas 60 hektar dan Taman Wisata Pleihari Pulau Laut seluas 1.500 hektar ditambah hutan lindung 440.720,84 yang tidak begitu jelas kondisinya. Kawasan Konservasi ini pun tidak terlepas dari ancaman pengrusakan dan tekanan-tekanan lain dari berbagai sektor industri terutama industri kayu (hutan) dan tambang.

Prediksi Kondisi Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan 2010

1. Ekploitasi “kuras habis” akan terus berlangsung, kecuali terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang dapat menjamin keberlangsungan ekosistem dan keberlanjutan ekonomi.

2. Dengan konsep PSDA yang ada sekarang yang menekankan eksploitasi SDA dan Alih Fungsi Lahan untuk meningkatan PAD, lemahnya penegakan hukum dan kecenderungan keberpihakan aparat kepada pengusaha maka kerusakan lingkungan dan konflik antara rakyat dan pengusaha akan terus berlanjut, bahkan bisa jadi terjadi konflik horizontal di tingkat rakyat.

3. Dengan RTRWP yang ada sekarang, dimana pendekatan yang dilakukan masih administrasi dan bukan kawasan, maka kerusakan lingkungan hidup akan lebih serius dan konflik antar wilayah akan terjadi, terutama daerah-daerah yang kaya akan SDA.

4. Dengan model pemerintah dan sistem perpolitikan yang ada sekarang, maka kehancuran dan pencemaran lingkungan hidup terus terjadi, baik dilakukan oleh kegiatan tambang batubara, kehutanan dan juga perkebunan.

5. Ancaman bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau akibat semakin rusaknya kawasan hutan dan rawa sebagai kawasan penyangga yang dapat melindungi dari banjir dan kekeringan.

Rekomendasi

1. Lakukan jeda (moratorium) perizinan baru terkait atas ekstraksi sumberdaya alam (tambang, migas, kehutanan, kelautan dsb) yang berskala besar, padat modal dan memiliki daya rusak ekologi tinggi, hingga adanya sebuah UU nasional yang integratif mengatur pengelolaan lingkungan hidup dan SDA Indonesia dari pusat hingga daerah yang berperspektif hak asasi manusia (HAM), penghormatan hak-hak konstitusi masyarakat adat/lokal, serta perlindungan terhadap perempuan, anak, dan komunitas rentan lainnya. Ilmuwan di berbagai belahan dunia telah membuktikan hubungan langsung antara kerusakan hutan dengan bencana banjir dan longsor, konflik dengan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, timbulnya kebakaran hutan dan juga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan iklim global. Jeda pembalakan kayu (moratorium logging) hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium menawarkan peluang pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan.

2. Hentikan kegiatan eksploitasi yang destruktif dan segera mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melukakan rehabilitasi.

3. Lakukan penertiban di sektor pertambangan dan kehutanan secara tegas dan transparan.

4. Melakukan pengkajian dan penelitian kembali secara menyeluruh terhadap potensi SDA yang ada, menghitung kemampuan dan daya dukung alam sehingga eksploitasi yang dilakukan dapat diatur untuk mencukupi kebutuhan SDA dan ekonomi Kalsel secara berkelanjutan.

5. Tolak pertambangan di kawasan lindung, pulau-pulau kecil dan lokasi-lokasi yang menjadi sumber kehidupan rakyat seperti lahan produktif petani.

6. Tegakkan hukum dibidang lingkungan dan adili para penjahat lingkungan yang ada tanpa pandang bulu.

disarikan daricatatan lingkungan hidup kalsel 2009WALHI Kalimantan Selatan
Banjarbaru, 26 Desember 2009

Sumber :

http://www.jatam.org/content/view/1081/21/

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.