Lingkungan Salah kelola

LINGKUNGAN HIDUP
Keanekaragaman Hayati Salah Kelola



Indonesia memiliki jumlah tumbuhan dengan spesies palem terbanyak di dunia,
mencapai 477 spesies, diikuti tumbuhan kayu bernilai komersial 350
spesies, dan tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat 1.300 spesies, hingga pada akhirnya Indonesia dijuluki sebagai megadiversity country.
Akan tetapi, ironisnya, di berbagai forum internasional, keanekaragaman
hayati Indonesia justru dituding salah kelola ketika muncul tabiat orang senang menghancurkannya karena dikonversi, atau akibat ketidakmampuan
mencegah kebakaran-kebakaran hutan perawan.
”Indonesia tidak pula
pintar menjaga kearifan lokal dan mengomunikasikan tradisi-tradisi
melestarikan keanekaragaman hayati,” kata peneliti senior biologi Dedi
Darnaedi, yang juga mantan Kepala Pusat Penelitian Biologi pada Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Jumat (21/5) di Jakarta.
Lebih
runyam lagi, menurut Wakil Kepala LIPI Lukman Hakim, akhir-akhir ini
akibat pola otonomi daerah bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati
sungguh memprihatinkan. ”Izin industri tambang merupakan ancaman paling
serius bagi kelangsungan keanekaragaman hayati kita,” kata Lukman.
Konservasi keanekaragaman hayati yang terbaik adalah di lokasi ekosistem aslinya.
Tetapi, sekarang hal itu hampir tidak memungkinkan karena perusakan
sangat dahsyat. Pihak LIPI mendesak pemerintah pusat ataupun daerah
untuk membuat kebun-kebun raya minimal 45 kebun raya di seluruh
Indonesia. Keberadaan saat ini baru 17 kebun raya.
Tudingan-tudingan ketidakmampuan Indonesia menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati dialami Dedi, tatkala mengikuti berbagai forum internasional. ”Kita
tidak pintar mengomunikasikan tradisi dan kearifan lokal, seperti
dilakukan masyarakat Mentawai, Baduy, Maluku, dan Lamalera, dalam
menjaga keseimbangan alam,” kata Dedi.
Dia menguraikan, kearifan
lokal di Baduy dengan menanam padi itu hanya satu kali dalam satu tahun. Maka, tidak terjadi eksploitasi kesuburan tanah berlebih. Begitu pula
menanam pohon aren tidak lebih dari delapan pohon untuk tetap menjaga
keseimbangan alam.
Di Mentawai, masyarakat lokal sungguh piawai
menentukan kera atau monyet yang sudah tidak lagi produktif boleh diburu untuk dikonsumsi. Begitu pula di Lamalera yang dikenal karena perburuan ikan paus pada musim-musim tertentu. Perburuan itu dibatasi sebagai
ritual untuk kelangsungan hidup dan interaksi komunitas masyarakat
pesisir dan masyarakat yang tinggal di dataran tinggi.
Di Maluku,
dulunya subur dengan tradisi sasi atau pantangan untuk mengeksploitasi
sumber daya alam pada waktu-waktu tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan alam. ”Contoh sederhana lain, pada sebagian
masyarakat yang pekarangannya yang dipenuhi keanekaragaman hayati untuk
dikonsumsi. Tradisi itu tak pernah dijaga dan dikomunikasikan dengan
baik,” kata Dedi.
Isi pekarangan dimulai dari pagar dengan tanaman singkong atau jarak yang bermanfaat untuk pangan dan energi. Kemudian
ada pisang, pepaya, kelapa. Air sumur yang digunakan ditampung kembali
untuk kolam ikan. Pekarangan seperti ini turut menjaga keanekaragaman
hayati, tetapi sekarang luntur.
Pemetaan
Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI Jan Sopaheluwakan mengatakan, hal terpenting
lainnya di bidang keanekaragaman hayati terletak pada kemampuan pemetaan genetik. Pemetaan genetik berfungsi untuk mengetahui genetika yang bisa menunjang arah penelitian dan pengembangan yang bermanfaat di kemudian
hari.
”Seperti pernah dibantu Jepang, LIPI memetakan genetika
sampai pada 2 juta tumbuhan dan mikroba. Persoalannya, lebih lanjut pada ketidakmampuan memanfaatkan potensi dari hasil pemetaan itu,” kata Jan.
Dedi Darnaedi menambahkan, ketergantungan impor terhadap sayur dan
buah-buahan ataupun tanaman pangan lainnya saat ini adalah akibat
lemahnya pemetaan genetik dan pemanfaatannya untuk riset dan
pengembangan. ”Prospek dari pemetaan genetika jadi perhatian dunia saat
ini,” kata Dedi.
Penguasaan pemetaan genetika memudahkan riset dan pengembangan untuk suatu produk tanaman pangan, misalnya. Menurut Dedi, pemetaan genetik kita masih sangat kurang. Akibatnya, kita kurang
memahami keunggulan setiap tumbuhan dan terjebak menjadi pembeli produk
negara lain yang mengembangkan inovasi produk berdasarkan rekayasa
genetika dari hasil kegiatan pemetaan genetik.
Potensi terpendam
dari hasil pemetaan genetik juga terkait dengan upaya menjaga populasi
dari kepunahannya. Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai negara yang
kini terancam memiliki jumlah tumbuhan terancam kepunahan paling banyak. Yaitu, setelah Ekuador, Malaysia, dan China, berdasarkan kriteria The
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Kini LIPI melalui Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya
Bogor dalam peringatan ulang tahun ke-193 tahun baru-baru ini
meluncurkan 100 spesies tumbuhan prioritas untuk dikonservasi. Menurut
Mustaid Siregar, yang mengepalai satuan unit LIPI itu, penetapan
prioritas spesies mengandung dilematis.
”Penetapan 100 spesies
prioritas bisa berdampak naiknya harga di pasaran ilegal karena
legitimasi kelangkaannya sehingga meningkatkan perburuan dan perdagangan liar,” kata Mustaid.
Tentu, ungkapan Mustaid itu cukup beralasan
dan berlatar pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan. Kalau
memang demikian, pantaslah kalau kita dituding tidak pintar menjaga
kekayaan keanekaragaman hayati atau mempertahankan diri sebagai negara
dengan kekayaan keragaman hayati tertinggi di dunia.

Sumber :

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.