Lahan Gambut

LINGKUNGAN HIDUP
Rehabilitasi Gambut Prioritas REDD-Plus

.

Jakarta, Kompas - Rehabilitasi lahan gambut menjadi prioritas implementasi
bantuan pendanaan negara maju untuk program pengurangan emisi dari sektor
kehutanan di Indonesia. Norwegia adalah salah satu negara maju yang ingin
merealisasikan bantuan ke Indonesia melalui program Reducing Emission from
Deforestation and Forest Degradation.

”Norwegia akan membantu Indonesia untuk pendanaan REDD-Plus sebesar 1 miliar
dollar AS. REDD-Plus ini diatur di dalam Copenhagen Accord,” kata Menteri
Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta dalam konferensi pers, Senin
(24/5) di Jakarta.

Gusti mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Mei 2010 akan
menandatangani letter of intent (LoI) untuk proses bantuan itu di Oslo,
Norwegia. Perolehan dana REDD-Plus merupakan insentif dari negara maju untuk
negara berkembang agar menjaga kelangsungan hutan tersisa.

”Implementasi REDD-Plus itu nanti jangan sampai melibatkan peran ’broker’
pedagang karbon,” kata Gusti.

Dia menambahkan, sebaiknya implementasi dana REDD-Plus diatur sebesar 60
persen untuk masyarakat yang hidup di wilayah kehutanan. Selebihnya untuk
kepentingan operasional pemerintahan.

*Sebanyak 41 persen*

Staf Ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja
sama Internasional Liana Bratasida mengatakan, penerimaan dana bantuan
internasional seperti melalui REDD-Plus membawa konsekuensi Indonesia harus
meningkatkan target reduksi emisi 26 persen menjadi 41 persen tahun 2020.
”Target penurunan emisi karbon pada 2020 akan meningkat 0,422 gigaton,” kata
Liana.

Program pencapaian target 41 persen tersebut, menurut Liana, belum diatur.
Sebelumnya, ditargetkan 26 persen reduksi emisi karbon (0,767 gigaton).

Mengenai REDD-Plus, seperti ditulis Liana dalam bukunya, Perspektif dan
Analisis Copenhagen Accord, memang disebutkan di dalam Copenhagen Accord
tersebut. Pada urutan keenam, REDD-Plus disebutkan sebagai mekanisme
insentif dengan sumber pendanaan dari negara maju.

Copenhagen Accord sendiri disebutkan memiliki persoalan status hukum karena
ditetapkan di luar mekanisme Kerangka Kerja PBB atas Konvensi mengenai
Perubahan Iklim (UNFCCC). Hanya 26 negara terlibat dalam penyusunannya
ditambah 3 negara lain yang bergabung menyetujui Copenhagen Accord ini.

Sebanyak 29 negara mengasosiasikan diri ke Copenhagen Accord. Jumlah ini
masih jauh di bawah jumlah negara anggota UNFCCC yang mencapai 194 negara.
(NAW)

Sumber :

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.