Pencemaran MIGAS



Migas Pencemar Terbesar

PALEMBANG* - Dari 324 perusahaan di Sumsel mulai dari perkebunan, industri,
pertanian, pertambangan dan Migas, ternyata sektor Migaslah menyumbang
terbesar pencemaran

lingkungan. Tingginya angka kebocoran akibat pipa yang tua, tidak hanya
memberikan dampak negatif pada lingkungan, tetapi bisa memberi pengaruh
kesehatan manusia.

Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumsel, Ahmad Najib, Kamis (18/2)
mengatakan, dari beberapa sektor yang menyebabkan terjadinya polusi, sektor
migas paling mendominasi pencemaran. Pipa Migas sudah tua sehingga rentan
kebocoran. Kebocoran yang terjadi memberi

pengaruh kesehatan warga jika langsung terhirup gas karena sebagian besar
pipa berada di pelintasan pemukiman warga.

Mengacu PP No 27/99, setiap sektor usaha harus melaporkan hasil kegiatannya
per triwulan. Sebuah fakta yang tidak terbantahkan, keberadaan pipa Migas
itu dipasang sejak 1938 sehingga dengan jangka waktu yang lama itu, maka
secara tidak langsung membuat kondisi daya tahan dan

daya dukung pipa melemah dan mudah bocor. Selain itu, kebocoran lainnya juga
dikarenakan tangan jahil masyarakat seperti pencurian gas, pipa dan lainnya.
Oleh sebab itu, BLH meminta kepada pihak BP Migas untuk secepat mungkin
mengganti pipa yang sudah tua.

Kita sudah memberikan sanksi dan teguran. Jika masih saja tidak digubris
kita cabut izin Amdal mereka,” kata Najib.

Mantan Kepala Dinas Perhubungan Sumsel ini juga menambahkan, dengan
terjadinya berbagai kebocoran dan sanksi yang djatuhkan, berikut teguran
yang dilayangkan, BP Migas telah melakukan pergantian pipa. Misalnya
pergantian pipa sepanjang 24 KM di Musi Banyuasin (Muba).

Dan di 2010 ini, BP Migas juga akan melakukan pergantian pipa sepanjang 25
KM sepanjang Palembang-Prabumulih-Muaraenim, sebagai upaya mencegah
kebocoran.

Untuk melakukan pemantauan, kita akan bekerjasama dengan berbagai pihak
seperti Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Sumsel untuk melakukan evaluasi.
Permasalahan lingkungan ini akan tetap dilakukan pengawasan secara ketat,”
ungkapnya.

Dikatakan Najib, yang paling penting adalah perlu adanya komitmen dari
berbagai perusahaan seperti perusahaan perkebunan, industri, pertanian,
pertambangan, Migas dan lainnya untuk berupaya melakukan perbaikan. Sebab,
dari hasil yang ada tersebut harus terdapat perubahan jika

tidak ingin izin Amdal dicabut karena tidak peduli terhadap lingkungan
sehinga pencemaran berdampak pemanasan global.

Bicara soal Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) di Sumsel, lantas bagaimana
dengan Amdal Jakabaring yang konon akan menjadi pusat pemerintahan dan
olahraga terlengkap di Indonesia dengan standar internasional?

Sementara saat ini, akibat tingginya permukaan air sungai dan hujan yang
terus mengguyur Palembang, maka kawasan ini sebagian tergenang/banjir hingga
ke jalan utama. Sehingga muncul pertanyaan, apakah kawasan Jakabaring layak
dibangun?

Menjawab pertanyaan ini, Ahmad Najib mengatakan, rencana pembangunan kawasan
Jakabaring sudah memiliki kajian Amdal sejak zamannya H Rosihan Arsyad saat
menjabat gubernur. Dari 9.913 hektare, sudah dipatok untuk kawasan serapan
air (retensi), drainase dan kawasan hijau lainnya.

Kalau pun ada genangan air dan banjir di kawasan itu, mungkin akibat
pembangunan di sekitarnya. Terutama di luar kawasan Jakabaring,” katanya.

Sejauh ini, lanjut Ahmad Najib, rencana pembangunan di kawasan Jakabaring
tetap mengacu pada Amdal yang berwawasan lingkungan. sripo
Sumber :
http://www.sripoku.com/view/27577/migas_pencemar_terbesar_*

Pemikiran tentang :

HUtan Indonesia dijarah>>>>

Jutaan Hektare Hutan di Indonesia Dijarah

LUAS hutan di Indonesia yang dijarah dan rusak mencapai 26 juta hektare atau
21% dari total hutan di negeri ini. Hal itu diungkapkan Menteri Kehutanan
Zulkifli Hasan setelah mengikuti rapat di Kantor Menko Perekonomian,
Jakarta, kemarin.

Lebih lanjut Zulkifli mengatakan jumlah hutan di Nusantara hanya 70% dari
kawasan lahan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektare. Dari seluruh
wilayah hutan itu, 23% atau 43 juta hektare di antaranya masih berbentuk
hutan primer yang masih bagus kondisinya. Kemudian 25% atau 48 juta hektare
dalam kondisi separuh bagus separuh rusak karena bekas area hak pengusahaan
hutan.

Mengenai hutan primer itu, kata Zulkifli, keberadaannya tidak bisa digunakan
untuk tujuan lain karena di dalamnya termasuk hutan konservasi dan lindung.
"Konservasi itu penting buat monyet, harimau, dan hewan langka. Hutan
lindung juga penting untuk kawasan serapan air," ujarnya.

Terkait dengan tata ruang, Menteri Kehutanan mengusulkan agar hanya hutan
yang sudah rusak atau tidak ada pohon sama sekali yang dijadikan lahan
perkebunan dan pertanian. Namun, untuk menjadikan suatu lahan menjadi lahan
perkebunan juga harus disertai dengan analisis mengenai dampak lingkungan.

Mengenai angka 43 juta hektare hutan yang masih bagus itu ternyata berbeda
dengan data yang dimiliki Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut
Kepala Departemen Internal Walhi Ali Akbar, luas hutan yang masih memiliki
kondisi bagus kurang dari 30 juta hektare. "Tidak sampai 30 juta hektare
yang masih punya kondisi bagus," kata Ali.

Menurut dia, perbedaan angka itu di antaranya karena soal definisi hutan.
"Ada yang menganggap, kalau ada tegakan minimal 100 hektare, sudah dikatakan
hutan.
Ada juga yang bilang perkebunan termasuk hutan," jelasnya.

Masih mengenai persoalan hutan itu, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan
Skala Besar Walhi Dedy Ratih menyatakan moratorium pemberian izin alih
fungsi hutan harus diaudit secara menyeluruh. "Ini merupakan solusi jangka
pendek dari kerusakan hutan," katanya. (RR/*/X-5) Kirimkan tanggapan Anda
atas berita ini melalui mediaindonesia. com

Sumber :
http://anax1a. pressmart. net/mediaindones ia/MI/MI/ 2010/02/17/ ArticleHtmls/ 17_02_2010_ 001_005.shtml? Mode=0

Pemikiran tentang :

kill forests

Plantation inclusion will ‘kill forests’

Adianto P. Simamora



Environmental activists have condemned the government’s plan to classify oil
palm plantations as forests, calling it a ploy to legalize forest
conversions.

Activists from Forest Watch Indonesia (FWI), Telapak Indonesia and the
Indonesian Forum for the
Environment (Walhi) called on the Forestry Ministry to rescind the plan if
the government was serious in efforts to safeguard the country’s already
threatened forests.

FWI executive director Wirendro Sumargo said the plan would increase the
threat to forests because it would allow local authorities to easily
reallocate forest use to increase their budgets.

“It would not be surprising that under the new decree, natural forests can
be easily converted for business uses,” Wirendro told The Jakarta Post on
Tuesday
.

“It also seems the plan is aimed at legalizing illegal oil palm plantations
currently operating in forests.”

He insisted the ministry take legal action against illegal oil palm
companies operating in forests not allocated for business use.

With the decree, the Forestry Ministry is aping several countries such as
Malaysia. Coincidentally, Indonesia and Malaysia are the world’s largest
producers of palm oil.

The ministry claims the decree would not lead to massive forest conversions.

The program coordinator at Bogor-based Telapak Indonesia, Hap-soro, accused
the ministry of not committing to protect forests.

“The concept of calling an oil palm plantation a forest has no basis in
fact. It is merely a cover to allow investors to convert forests,” he told
the Post.

“Even without the decree, the government has failed to control the growth of
illegal oil palm plantations.”

Currently, oil palm plantations cover 7 million hectares of land, with 3
million hectares belonging to individuals, another 3 million to private
companies and 1 million to state-owned plantation company PTPN.

Environmentalists claim some plantations were developed in forests not
designated for agriculture.

National Forestry Council member Hariadi Kartodiharjo said development of
the palm oil industry should be focused on idle forest land.

“I don’t believe the decree will be used to convert natural forests,” he
said.

He said that in the past, Indonesia had rejected proposals by the Food and
Agriculture Organization
(FAO) to link oil palm plantations to forests.
These proposals were eventually implemented in Malaysia.
“Oil palm plantations would seriously threaten biodiversity,” he said.

Walhi climate campaigner Teguh Surya said the decree would not only
accelerate forest damage, but would legalize deforestation across the
archipelago.

“Don’t expect the next generation to still have forests in the future. The
decree will also kill the nation’s character,” he said.

He said President Susilo Bambang Yudhoyono should intervene or else the
government would never meet its pledged emission target cut of 26 percent by
2020.

Sumber :
http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/17/plantation-inclusion-will-%E2%80%98kill-forests%E2%80%99.html

Pemikiran tentang :

Green law testing project ?

Kalimantan Seen as Perfect Test Case for New Green Law


It’s the all too familiar good news-bad news story for the country’s
environment. The good news is the law to take down those involved in the
destruction of the environment is in place and ready for action. The bad
news is that the government does not seem particularly eager to use it.

“We don’t want the law to turn into another paper tiger,” said Asep Warlan
Yusuf, an environmental law expert at Bandung’s Parahyangan University.
“It’s high time the government took some real action against environment
offenders.”

The State Ministry for the Environment, Asep said, “lacks the courage to
fight the good fight by taking environmental cases to court.”

The Environmental Protection and Management Law became effective on Oct. 3,
2009.

Siti Maimunah, national coordinator of the Mining Advocacy Network (Jatam),
said the government should immediately begin putting the law to work in
Kalimantan, where the environment is in full retreat in the face of massive
mining operations and the spread of palm oil plantations.

“You want this law to work, you start with Kalimantan,” she said. “This
would be a real test because the Kalimantan case is very urgent.”

Siti said Kalimantan for years had been the scene of unchecked exploitation,
as large companies dug up its coal and minerals, cut down its forests and
created massive palm oil plantations.

Siti said local administrations in Kalimantan had tried to contain the
destruction with spatial planning, which she described as little more than a
“suicide plan.”

“Kalimantan is staring at its own destruction because the development
planning
[of the various government departments] is a mess that concentrates
on exploitation,” she said.

Kalimantan, she said, seems to have implemented “mismanagement planning.”

“Look at Samarinda [the capital of East Kalimantan],” she said. “The local
government has been forced to spend billions of rupiah to build a canal to
prevent massive floods caused by the coal industries surrounding the city.”

East Kalimantan is home to 1,212 coal mining operations, permits for which
were issued by local administrations as authorized under the Regional
Autonomy Law
. There are an additional 32 permits issued by the central
government. In neighboring South Kalimantan, there are around 400 mining
operations.

Many of these permits, however, are allegedly being misused due to a lack of
control and kickbacks, which has allowed miners to open sites in
conservation areas or nature reserves. Reclamation or rehabilitation of the
exploited sites is almost nonexistent.

On Monday, Forestry Minister Zulkifli Hasan threatened to revoke the permits
of mining companies operating in Kalimantan conservation areas.

“[We] will check those mining operations this week and if there are any
violations, we will not hesitate to review their permits and urge them to
rehabilitate the areas,” Zulkifli said. The minister was responding to a
report in a national newspaper that around 200 mining concessionaires are
operating in conservation areas in South Kalimantan.

Environmental law expert Mas Achmad Santosa lauded the new law, but said the
government needed to make immediate use of it to go after companies damaging
the environment.

“This law should help resolve the longstanding problem of departmental
egoism,” Santosa said. “Although this law is perceived to be solely the
province of the State Ministry for the Environment, in fact, it can be used
by other [government departments], such as the mining and forestry
[ministries].”

“[The other ministries] don’t need further education or information on the
law, they should be able to jump right in. However, the State Ministry for
the Environment should be the one to make the breakthrough.”

Santosa said the new law no longer dealt only with “brown issues,” that is
only toxic chemical pollution, but had been expanded to deal with “green
issues” linked to forestry and other sectors.

“Compared to other laws this is a strong one, especially for Kalimantan
because it defines corporate crimes, introduces a more integrated monitoring
system through clauses in the operation permits and even has a back-up
control from the district to the central level [of the government],” he
said.

Asked to comment on demands by activists that the law be deployed
immediately, State Minister for the Environment Gusti Muhammad Hatta said he
had already instructed his staff to carry out an inventory of the mining
activities in Kalimantan and to compose a government regulation to accompany
the new law.

“[The mining operators] will be punished according to their level of
non-compliance, and not all of the cases will be settled in court,” he said
on Wednesday.

In another development, a number of green groups, including Jatam and the
Indonesian Forum for the Environment (Walhi), have filed a suit against the
State Ministry for the Environment at the Jakarta Administrative Court
concerning the ministry’s environmental assessment of two major mining
companies in Sulawesi, PT Meares Soputan Mining and PT Tambang Tondano
Nusajaya.

Sumber :

Pemikiran tentang :

Taman Nasional Rusak ???

Kerusakan Taman Nasional Meluas

Alih fungsi hutan di beberapa kawasan terindikasi kuat untuk mendanai
kegiatan politik
pihak tertentu. Kegiatan mulai pemilu hingga pilkada. Dinny Mutiah

KERUSAKAN taman nasional akibat penjarahan tidak hanya di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tetapi juga di sejumlah
taman nasional lain. Hal itu terjadi karena kurangnya pengawasan dari
Kementerian Kehutanan.

Manajer Regional Sumatra Walhi Mukri Friatna menjelaskan perusakan yang
terjadi di hutan dan kawasan taman nasional biasanya disebabkan oleh tiga
hal, yakni pertambangan, perkebunan, dan illegal logging. "Jika di tahun
1990-an tren perusakan karena illegal logging, sejak adanya Peraturan
Pemerintah No 2 Tahun 2008 kerusakan hutan sering disebabkan oleh aktivitas
pertambangan, " kata Mukri Friatna kepada Media Indonesia di Jakarta,
kemarin.

PP No 2 Tahun 2008, yang mengatur penerimaan negara bukan pajak yang berasal
dari
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan, seolah-olah mengizinkan aksi perusakan alam di dalamnya. "Izin
yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan biasanya tanpa disertai pengawasan
yang kuat di lapangan," ungkapnya.

Mukri memberi contoh kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Natarang Mining
yang dilakukan di sebagian besar kawasan Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan, Lampung. "Kalau kami tidak mengadukannya kepada pemerintah,
pemerintah tidak akan tahu," tambah mantan Direktur Walhi Provinsi Lampung
ini.

Ia mengungkapkan lagu lama Kementerian Kehutanan yang selalu beralasan
kurangnya petugas di lapangan yang mengawasi lokasi-lokasi. Padahal, menurut
Mukri, dengan teknologi sekarang, seperti

Mukri Friatna Manajer Regional Sumatra Walhi Google Earth, pemerintah dapat
mengawasi keadaan hutan tanpa turun ke lapangan. Sehubungan dengan perusakan
yang terjadi di TNGHS, Mukri tidak menyangkal dugaan keterlibatan mafia
tanah.

Terkait penjarahan hutan lindung Oelbesak, Desa Silu, Kecamatan Fatuleu,
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, polisi mengirim surat permintaan izin
kepada Presiden untuk memeriksa Bupati Kupang, Ayup Titu Eki, sebagai saksi.
Ayup diduga terlibat dalam kasus pembalakan liar di hutan lindung itu.

Permintaan izin dilayangkan setelah polisi menahan enam tersangka dalam
kasus tersebut. Tersangka yang sudah ditahan adalah pegawai Dinas Pertanian,
Perkebunan, dan Kehutanan Djenny T Paratuan dan Carolina Lay.

Dana politik Di sisi lain, alih fungsi hutan yang terjadi di beberapa
kawasan terindikasi kuat untuk mendanai kegiatan politik pihak tertentu.
Indikasinya adalah peningkatan pemberian konsesi kepada investor yang
bersedia membayar tinggi atas lahan untuk usaha perkebunan ataupun
pertambangan.

Hal itu disampaikan Direktur Sawit Watch Abet Nego Tarigan kepada wartawan
di Jakarta, kemarin. "Jelang pemilu pada tahun 1998-1999 merupakan
pertumbuhan konversi lahan sawit tercepat, sebanyak 800 ribu hektare.
Setelah itu lewat, turun lagi, padahal harga lagi baik. Adapun pemberian
izin tahun 98, harga sedang rendah," katanya.

Indikasi itu berlanjut seusai pemilu pertama dalam masa demokrasi, terutama
pada masa pilkada. Ia menyatakan, setahun sebelum pilkada itu digelar,
pemberian izin untuk konversi lahan hutan kembali meningkat. (VPO/X-4)
dinny@mediaindonesi a.com

Sumber :

Pemikiran tentang :

Ilegal logging brand new

Ilegal Logging dan Wajah Lingkungan Kita


Salam Sriwijaya PRAKTIK ilegal logging di Provinsi Sumsel terungkap
kembali. Ratusan kubik kayu pinus di Kabupaten Muaraenim yang dicuri dari
hutan PT Musi Hutan Persada (MHP) berhasil diamankan kepolisian Muaraenim.
Setidaknya 10 truk yang memuat kayu gelondongan sepanjang 4 meter serta 23
orang yang diduga pelaku, berhasil diamankan di Polres Muaraenim.

Ada dugaan bahwa kayu-kayu itu akan dibawa ke Provinsi Lampung bila melihat
nomor polisi dari truk pengangkut, yakni BE. Sebanyak lima orang yang
kesemuanya pekerja dari satu perusahaan menjadi calon tersangka. Menurut
Kapolres Muaraenim AKBP Drs H Yohanes Suharmanto melalui Wakapolres
Muaraenim Kompol Barliansyah, SH, meski para pelaku mengantongi dokumen
usaha yang lengkap tetapi tidak mengantongi izin menebang dilokasi.

Yang lebih menyedihkan dari kejadian itu, kayu-kayu pinus yang ditebang
berasal dari hutan reboisasi (hutan penghijauan) . Orang sudah mengerti apa
itu reboisasi dan tujuannya. Terlebih lagi ketika saat ini banjir melanda
sebagian besar kabupaten/kota di Sumsel, orang tentunya ingat salah satu
penyebab banjir adalah hutan yang sudah gundul.

Data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Sumsel) melalui Manajer
PSDO-nya, Hadi Jatmiko menyebut, setiap tahun 100 ribu hektare hutan di
Sumsel hilang. Hutan yang luasnya 3,7 juta hektare saat ini diperkirakan
tinggal 1 juta hektare saja. Walhi Sumsel menduga pembalakan liar yang marak
dibekingi oleh aparat.

Walhi memperkirakan hutan yang hilang karena dikonversi menjadi perkebunan
atau hutan tanaman industri. Pembalakan liar pun turut andil dalam
memperburuk wajah hutan di Sumsel.

Praktik ilegal logging sudah berlangsung lama. Cerita penangkapan dan
pengungkapan praktik banyak terekspose. Tetapi kelanjutan cerita bagaimana
penegakan hukum terhadap pelaku tidak pernah jelas. Paling yang menjadi
tersangka, terdakwa atau terpidana adalah pekerja-pekerja dilapangan.
Otaknnya tidak pernah diadili secara serius.

Dampak dari praktik yang hanya menguntungkan sebagian orang ini, terasa
pahit ketika banjir menerjang desa, merendam jalan lintas, memutuskan
jembatan penghubung, menelan korban jiwa dan sebagainya. Belum lagi masalah
yang skalanya lebih luas, yakni pemanasan global yang menyebabkan perubahan
iklim.
Kita berharap bahwa penegak hukum di negeri ini, paling tidak di provinsi
ini, tak main-main untuk urusan ilegal logging. Wajah penegakan hukum kita
bisa tercermin dari wajah lingkungan hidup kita

Sumber :

Pemikiran tentang :

Marunda akan Hilang ????

Pantai Marunda Akan Hilang


Jakarta, Kompas - Kekhawatiran warga Marunda akan hilangnya pantai publik di
Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, agaknya terbukti. Pantai publik Marunda
yang kini dihuni 300 jiwa ini rencananya akan diubah penggunaannya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto secara implisit mengatakan, Jakarta
memerlukan pantai yang luas dan panjang untuk kepentingan pembangunan
ekonomi. ”Seperti di Jepang, pelabuhan di sana panjang sekali. Isinya cuma
dermaga, kapal, dan gudang,” kata Prijanto memberikan ilustrasi di kantor
Wali Kota Jakarta Utara, Kamis (11/2).

Menurut Prijanto, kawasan Marunda akan dibangun perluasan Kawasan Berikat
Nusantara menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). ”Tetapi, undang- undang yang
mengatur KEK masih belum selesai digodok,” katanya.

Pembangunan KEK itu akan dilakukan beriringan dengan memikirkan kelangsungan
hidup masyarakat sekitar. Hal itu, misalnya, dengan melibatkan masyarakat
sekitar sebagai pekerja di pelabuhan. Pemerintah berharap KEK berpotensi
memberikan masyarakat penghidupan lebih layak ketimbang hanya menjadi
nelayan. ”Nelayan yang hidup susah karena penghasilannya tak tetap bisa
lebih baik kalau punya pekerjaan dengan penghasilan tetap,” ujar Prijanto.

Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono menambahkan, pengkajian desain KEK
di Pantai Marunda melibatkan ahli-ahli dari Institut Teknologi Bandung dan
Universitas Indonesia. ”Saat ini, mereka sedang mengkaji tata ruangnya,”
ujar Bambang.

Pantai publik di Marunda yang panjangnya sekitar 1,5 kilometer itu
satu-satunya pantai yang bisa diakses warga DKI Jakarta dan sekitarnya
secara gratis. Pantai ini juga menjadi tempat nelayan mencari penghasilan.

Menurut Aslyik (45), Ketua Nelayan Tradisional Marunda, sedikitnya ada 210
nelayan yang mengandalkan pesisir pantai tersebut sebagai mata
pencahariannya. Jika nanti pesisir tersebut dijadikan pelabuhan KEK, sudah
pasti nelayan akan kehilangan pekerjaannya. ”Sebagian besar nelayan di sini
berprofesi sebagai nelayan ternak, nelayan tambak, dan nelayan tangkap.
Pekerjaan ini sudah dilakukan secara turun- temurun. Kalau digusur, hilang
semua mata pencahariannya,” kata Aslyik.

”Jika benar di gusur, banyak usaha kecil warga yang tergusur,” kata Usman
salah satu warga setempat. (ARN)

sumber :

Pemikiran tentang :

Pantura Vs mangrove semakin kritis

Pantura Jawa Paling Kritis
Jepang Bantu Rehabilitasi Mangrove 700 Hektar


Jakarta, Kompas - Pantai utara Jawa merupakan daerah paling kritis terkena
dampak kenaikan paras muka laut akibat perubahan iklim. Daerah kritis ini
terbentang dari Pantai Dadap di Tangerang, Kali Baru di Jakarta Utara,
Kabupaten Subang dan Indramayu di Jawa Barat, hingga Pekalongan, Semarang,
dan Demak di Jawa Tengah.

Daerah-daerah tersebut sangat rawan terendam air laut yang permukaannya naik
akibat perubahan iklim. Jika permukaan air laut naik, berdampak luas pada
permukiman penduduk, ekosistem, serta infrastruktur, seperti pelabuhan dan
jembatan.

”Kenaikan muka laut juga berdampak pada jasa pelayanan dan dampak sosial
ekonomi lainnya,” kata Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan
Perikanan Subandono Diposaptono dalam diskusi terbatas ”Mengoptimalkan
Potensi Kelautan” di Redaksi Kompas, Kamis (11/2).

Hadir pula pada kesempatan tersebut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel
Muhammad, serta Kepala Riset dan Kebijakan Ekonomi pada Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana.

Untuk menentukan kerentanan pantai dan potensi bahaya suatu wilayah, lanjut
Subandono, antara lain, dihitung dari geomorfologi, erosi garis pantai,
kemiringan pantai, dan perubahan elevasi muka air relatif. Selain itu,
dihitung pula tinggi rata-rata gelombang dan rata-rata kisaran pasang surut.

Laju kenaikan paras muka laut berdasarkan pengukuran di sejumlah wilayah
pantura Jawa, menurut Subandono, mencapai 5-10 mm per tahun. ”Geomorfologi
di pantura Jawa sebagian besar landai sehingga meningkatkan kerentanan pada
kenaikan paras muka laut,” ujarnya.

Hingga 2,85 kilometer
Subandono memaparkan simulasi Kota Pekalongan, Jawa Tengah, yang terdampak
kenaikan paras muka laut setiap 20 tahun hingga 100 tahun ke depan.

”Jangkauan pada 100 tahun ke depan, laut akan menggenangi Kota Pekalongan
hingga 2,85 kilometer dari garis pantai sekarang,” kata Subandono.

Dari simulasi itu, dinyatakan luas Kota Pekalongan akan hilang 19.564
hektar. Sebanyak 265.725 rumah dan 1.062.900 orang penduduk akan terkena
dampaknya.

Lebih lanjut, hasil simulasi di Kota Pekalongan menunjukkan, 4.731,7 hektar
tambak akan lenyap. Sawah irigasi 4.993,1 hektar dan sawah tegalan seluas
3.115,1 hektar bakal musnah.

Upaya mitigasi secara sistematis untuk mengantisipasi kerentanan wilayah,
seperti Kota Pekalongan, menjadi hal yang penting. Subandono mengatakan,
salah satu program Kementerian Kelautan dan Perikanan, yaitu merehabilitasi
mangrove di pantura Jawa. Menurut dia, Jepang akan membantu rehabilitasi
mangrove di pantura Jawa seluas 700 hektar.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik,
selaku moderator diskusi, menanggapi upaya mitigasi pantura Jawa, terutama
terkait penanaman mangrove yang dikerjakan di muara Sungai Porong, Sidoarjo,
Jawa Timur. ”Penanaman mangrove di muara sungai tempat penyaluran lumpur
Lapindo itu ingin mengesankan pencemaran sudah teratasi. Padahal, lumpur
Lapindo tetap saja mencemari sungai dan laut,” ujarnya. (NAW)

Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/12/04061079/pantura.jawa.paling.kritis

Pemikiran tentang :

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.