JUMLAH pembalakan liar di seluruh dunia menunjukkan tren menurun sampai
25% sejak 2002.
Lembaga kajian Chatham House di London memperkirakan penurunan illegal
logging disebabkan tekanan konsumen, atensi media massa, dan hukum yang
diberlakukan AS dan negara-negara Uni Eropa sebagai importir kayu.
Laporan itu juga menyebutkan pembalakan liar di hutan-hutan di Brasil,
Kamerun, dan Indonesia juga memperlihatkan penurunan yang besar. Dalam
sepuluh tahun terakhir, pembalakan liar di Indonesia turun paling banyak,
yaitu mencapai 75%. Selain Indonesia, Brasil dan Kamerun juga mengalami
penurunan pembalakan liar lebih dari 50%.
Ketua tim peneliti Chatham House yang menulis laporan itu, Sam Lawson,
menegaskan penurunan itu bukan berarti perjuangan melawan pembalakan liar
selesai.
“Saya tahu (penurunan 75%) terdengar besar, tetapi harus diingat bahwa
penebangan kayu liar sebelumnya merupakan masalah yang sangat besar di
negara-negara itu.
Jadi walaupun jumlahnya sudah berkurang secara signifi kan, pem
Cuma statistik Pada Seminar Illegal Logging dan Perdagangan Terkait yang
digelar di The Royal Society, Chatham House, London, pekan lalu, mantan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menyatakan Indonesia
berhasil menurunkan kasus pembalakan liar sampai 75% dalam dekade ter akhir
sebagai bukti dari komitmen pemerintahan untuk ikut mengatasi tantangan
perubahan iklim, serta mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan.
Klaim itu dikritik keras sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada
bidang lingkungan. “Greenomics telah mengkritik keras data itu, dan pihak
Kementerian Kehutanan mengakui datanya itu bersumber pada kasuskasus yang
tercatat saja,” kata Koordinator Nasional Greenomics Indonesia Vanda Mutia
Dewi, di Jakarta, pekan lalu.
Pernyataan itu, menurut Vanda,
bisa menyesatkan publik internasional karena fakta di lapangan menunjukkan
praktik pembalakan liar terus berjalan seperti biasa mulai dari Aceh hingga
Papua.
Menurut dia, kegiatan pembalakan liar masih terjadi di hutan-hutan di
Indonesia termasuk di taman nasional maupun hutan lindung.
“Rachmat harus menjelaskan, selama periode berapa terjadi penurunan itu, dan
seberapa besar penurunan kubikasi dari praktik illegal logging itu,” kata
Vanda.
Adapun Walhi berpendapat penurunan kasus pembalakan liar di Indonesia yang
dinyatakan berhasil hingga mencapai 75% hanya berdasarkan data statistik di
atas kertas. “Pemerintah tidak bisa hanya melihat situasi dari data
statistik, sementara pembalakan liar yang merupakan praktik penghancuran
hutan terus terjadi,” kata Kepala Departemen Kampanye Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) Teguh Surya di Jakarta.
Berdasarkan data Greenpeace Indonesia, kontribusi deforestasi lebih besar
berasal dari industri kertas, ekspansi industri kelapa sawit, dan sektor
pertambangan.
Semuanya dilakukan justru seizin
pemerintah. Saat ini, total kecepatan deforestasi sekitar 1,1 juta hektare
per tahun pada Maret 2010.
Bahkan, usulan rencana deforestasi yang ditargetkan Kementerian Kehutanan
seluas 14 juta hektare selama 2011-2020 dikhawatirkan bisa jadi manipulasi
karena menggunakan data prediksi.
“Greenomics menilai, usulan rencana deforestasi selama 20112020 dengan
menggunakan basis data prediksi bisa menjadi sumber manipulasi penurunan
deforestasi,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfi an Effendi,
di Jakarta, Senin (19/7).
Rencana deforestasi yang akan diusulkan Kementerian Kehutanan ke Bappenas
mencapai 14 juta hektare selama 2011-2020, atau rata-rata seluas 1,4 juta
hektare per tahun. Usulan itu akan disampaikan kepada Bappenas untuk
selanjutnya dibahas sebelum dimasukkan ke rencana aksi nasional untuk
penurunan emisi.
Emisi yang akan dikeluarkan dari usulan rencana deforestasi tersebut ialah
sebesar 705,6 juta ton per tahun, secara akumulatif mencapai 7,06 miliar ton
hingga 2020.*Powered by pressmart Media Ltd*
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/07/20/ArticleHtmls/20_07_2010_008_001.shtml?Mode=0
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar