Reference :
Baru-baru ini, ratusan orang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli
Pegunungan Kendeng (JMPPK) Kabupaten Pati, berunjuk rasa didepan Kantor DPR Kab
Pati. Mereka memprotes rancangan Peraturan Daeah (Raperda) tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Tengah 2008-2027 karena disinyalir akan menggerus
tanah mereka. Di Jakarta, berbagai reaksi keras menolak Raperda RTRW DKI 2010 –
2030 terjadi karena Raperda tersebut dianggap tidak memihak masyarakat miskin.
Kedua peristiwa tersebut memperlihatkan kurangnya pelibatan pemangku kepentingan
yang terkait dengan penyusunan sebuah Kebijakan, Rencana atau Program (KRP).
Apabila prinsip partisipatif sebagai salah satu prinsip Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS) diterapkan dalam proses penyusunan kedua RTRW tersebut, maka
peristiwa penolakan masyarakat tidak perlu terjadi. Atau justru pemerintah akan
memberikan ruang legalisasi RTRW atau KRP lain yang bermasalah sebelum
ditetapkannya Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan KLHS yang saat ini tengah
digodok Kementerian Negara Lingkungan Hidup?
Peta Perundangan dan KRP yang Tengah Disusun
Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Llingkungan Hidup (UU PPLH No. 32/2009) pada bulan September 2009,
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) telah menjadi salah satu instrumen
wajib untuk pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam UU PPLH tersebut
dinyatakan tiga jenis Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) yang wajib KLHS
adalah (1) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, (2)
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) nasional, propinsi dan kabupaten/kota dan (3) Kebijakan, Rencana
dan/atau Program (KRP) yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau resiko
lingkungan hidup.
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan bahwa RTRW Propinsi harus
disusun sesuai dengan UU tersebut dalam jangka waktu dua tahun sejak
diundangkan. Jika hingga akhir 2010 belum juga diselesaikan, maka pemerintahan
daerah akan terkena sanksi administratif. Sebanyak 22 propinsi hingga kini belum
menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan, setiap
pemerintahan daerah harus menyiapkan RPJM paling lambat tiga bulan setelah
pelantikan Gubernur dan/atau Bupati/Walikota dan RPJM tersebut harus disetujui
DPRD dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) enam bulan sesudahnya. Dalam tahun
2010 terdapat tujuh propinsi dan 241 kota/kabupaten yang akan melakukan
pemilihan kepala daerah, sehingga akan ada 248 RPJM yang harus disiapkan pada
tahun 2010 dan 2011.
Di sisi lain, Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaan KLHS untuk
ketiga jenis KRP, diantaranya RTRW, tengah disusun oleh Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Tanpa adanya PP tentang KLHS ini, RTRW dan RPJM akan terus
disusun dan di-“Perda”-kan. KRP yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
resiko lingkungan hidup juga terus disusun dan ditetapkan.
Mereka-reka PP KLHS
Selama ini upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui AMDAL dipandang belum
dapat menyelesaikan berbagai permasalahan lingkungan hidup yang ada di
Indonesia, yang ditengarai tidak hanya berada pada kegiatan atau proyek, namun
justru pada tingkat Kebijakan, Rencana dan Program (KRP). Oleh karena itu
harapan digantungkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang berupaya
memastikan terintegrasikannya prinsip pembangunan berkelanjutan pada KRP di
Indonesia.
Idealnya, 22 RTRW Propinsi (dan juga berbagai RTRW kota/kabupaten), 248 RPJMD
dan KRP lain yang tengah disusun melaksanakan KLHS sesuai ketentuan UU PPLH No.
32/2009 tentang KLHS. Namun belum adanya peraturan pelaksanaannya membuat
pemerintah daerah dapat mengelak dari kewajiban tersebut. Kemungkinan
terburuknya adalah sebagian besar RTRW, RPJMD dan KRP lain pada akhirnya akan
ditetapkan tanpa melalui KLHS di tahun 2010 ini. Apabila KRP yang telah
ditetapkan tanpa KLHS tersebut ternyata berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
resiko lingkungan hidup, bagaimana Pemerintah akan menyikapinya?
Sampai saat ini rancangan Peraturan Pemerintah tentang KLHS belum pernah
dipublikasikan dan didiskusikan, sehingga kita hanya bisa mereka-reka apa yang
ada dalam benak para penyusunnya dalam menerjemahkan UU PPLH No. 32/2009 tentang
KLHS ini, termasuk penyusunan aturan peralihannya.
Pasal 17 UU PPLH No. 32/2009 telah mengatur keadaan transisi di atas dengan
cukup gamblang, bahwa bila hasil KLHS yang menjadi dasar bagi KRP suatu wilayah
melampaui daya dukung dan daya tampung, maka KRP wajib diperbaiki sesuai hasil
KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sangat tidak realistik untuk menghentikan suatu
kegiatan atau usaha yang tengah berjalan apabila hasil KLHS menemukan bahwa daya
dukung dan daya tampung telah terlampaui. Di sisi lain KLHS harus dilihat
sebagai upaya untuk memicu peningkatan pengawasan dan penegakan hukum dalam
perlindungan lingkungan hidup.
Apabila pemerintah bersungguh-sungguh menggunakan KLHS sebagai instrumen untuk
mengelola dan melindungi lingkungan hidup, meskipun tidak bisa dengan serta
merta menghentikan kegiatan atau usaha yang tengah berjalan, maka dapat
ditetapkan bahwa KLHS dapat merekomendasikan agar aktivitas yang bermasalah
segera mematuhi dan mengikuti aturan yang tertera dalam perijinan mereka maupun
dengan peraturan lingkungan hidup lain yang berlaku.
Apabila pemerintah ingin memberikan “ruang kosong” legalisasi RTRW, RPJMD dan
KRP yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup, maka
dengan dalih keramahan terhadap investasi dan ketidakmungkinan untuk
menghentikan kegiatan atau usaha yang tengah berjalan, pemerintah dapat
mengijinkan berlangsungnya kegiatan atau usaha yang nyata-nyata merusak
lingkungan tersebut, meski telah melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup hingga ijinnya berakhir.
Tentu saja kita tidak akan membiarkan adanya “ruang kosong” legalisasi di atas.
Kita telah mengetahui bagaimana kreativitas bangsa Indonesia dalam memanfaatkan
ruang kosong semacam ini dalam bidang hukum. Beberapa pihak akan memanfaatkan
ruang kosong ini dengan menetapkan RTRW, RPJMD dan KRP lainnya secepat mungkin
sebelum ditetapkannya PP KLHS. Pihak lain mungkin akan melakukan upaya
“penyelamatan diri” dengan melakukan KLHS “asal-asalan” karena belum ada
Peraturan Pemerintah dan Petunjuk Umum pelaksanaannya. Alhasil, apabila kegiatan
dan usaha yang dilakukan berdasarkan RTRW, RPJMD dan KRP lainnya tersebut
benar-benar menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, kita sulit menghentikannya,
kecuali menunggu ijin berakhir, atau 5 tahun kemudian (untuk RPJMD) atau 20
tahun kemudian (untuk RTRW).
Imbauan kita kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Negara Lingkungan
Hidup, sudah jelas dan pasti: publikasikan rancangan PP KLHS secepatnya dan
jangan biarkan “ruang kosong” ini ada dalam peraturan pemerintah, yang akan
membiarkan KLHS digunakan sebagai instrumen legalisasi perusakan lingkungan
hidup di Indonesia.
Kamis, Agustus 19, 2010 |
0
Tanggapan Teman ?
KLHS: Mencegah atau Melegalkan Perusakan Lingkungan Hidup?
Pemikiran tentang :
Lingkungan hidup
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar