Cara Pandang ekologis

Bencana Air, Kekalahan Cara Pandang Ekologis


Budi Widianarko

Andai naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, menyaksikan kehancuran
ekosistem Daerah Aliran Sungai Citarum, mungkin dia akan meratap pilu.

Hampir satu setengah abad yang lalu (1869), Wallace dalam bukunya, The Malay
Archipelago, begitu memuji Pulau Jawa. Begitu kagumnya kepada pulau ini, ia
menulis ”Secara keseluruhan, ditilik dari sudut mana pun, Jawa boleh jadi
pulau tropis yang paling indah dan menawan di dunia. ..Seluruh permukaannya
secara menakjubkan dihiasi oleh pemandangan gunung dan hutan. Hujan yang
melimpah dan suhu tropis yang hangat membuat gunung-gunung itu diselimuti
oleh tetumbuhan nan lebat, tak jarang hingga ke puncak-puncaknya, hutan dan
perkebunan menutup lereng-lereng yang lebih landai”.

Hutan rakyat seluas 718.269,5 hektar, hampir 80 persen luasan DAS Citarum,
sepanjang 268 kilometer yang melintasi delapan kabupaten/kota rusak parah
karena ekspansi lahan pertanian (tanaman semusim), galian pasir, dan
pemukiman penduduk (Kompas, 26/3/2010). Akibatnya, ketika hujan mengguyur
deras, Sungai Citarum meluap dan merendam kawasan hilir, termasuk rumah
penduduk dan hampir seribu hektar sawah di Kabupaten Karawang. Potensi
kerugian bisa mencapai puluhan triliun rupiah jika kegagalan pembangkit
listrik dan perikanan ikut diperhitungkan. Padahal, DAS ini hanya satu dari
116 (80 persen) DAS di Pulau Jawa yang kritis (Kompas, 29/3/2010).

Semua pihak seolah baru terjaga ketika bencana tiba, dan mulai melantunkan
nada-nada penyesalan mengapa tidak mencegah kerusakan kawasan hulu sejak
dini. Penyesalan yang datang terlambat itu sama sekali bukan karena absennya
pengetahuan tentang daur air. Pelajaran tentang siklus hidrologi telah
diberikan sejak tahun-tahun awal sekolah dasar. Namun, kita rupanya gagal
menghubungkan pengetahuan tentang daur air dengan perilaku kita terhadap
air.

Kegagalan mengubah kognisi tentang air jadi tindakan yang tepat, bisa jadi
akibat terbatasnya pengetahuan itu sendiri. Jangan- jangan yang diperlukan
adalah ”melek” air (water literacy) yang lebih tinggi. Seseorang yang melek
air diandaikan dapat membuat keputusan dan tindakan yang mengarah pada
keberlanjutan sumber daya air.

*Cara pandang ekologis*

Manusia cenderung selalu bersikap ambigu terhadap alam. Alam dipandang
sebagai ”sang pemberi” sekaligus ”musuh”. Manusia bukannya tak mengerti
bahwa perusakan ekosfir secara terus-menerus akan mengakibatkan planet Bumi
tidak layak huni, tetapi mereka memilih merusak atau setidaknya membiarkan
perusakan terus terjadi. Jawabnya terletak pada keinginan manusia untuk
terus memacu kemajuan ekonomi.

Keinginan untuk terus memaksa alam demi kemajuan ekonomi adalah buah dari
cara pandang (worldview) dominan, yaitu cara pandang modernisme. Cara
pandang ini tercermin kuat pada dua paradigma turunan, yakni paradigma
ekonomi dan paradigma keilmuan. Dua prinsip utama cara pandang modernisme
dan paradigma turunan adalah pertama, semua manfaat, kesejahteraan, dan
kemakmuran yang nyata adalah buatan manusia sebagai produk ilmu pengetahuan,
teknologi, dan industri melalui pembangunan ekonomi.

Kedua, untuk memaksimalkan kesejahteraan dan kemakmuran, kita harus
memaksimalkan pembangunan atau kemajuan ekonomi. Yang dilupakan adalah daya
dukung ekosfir. Tanpa dukungan lingkungan hidup tidak ada satu manusia pun
yang dapat bertahan hidup. Terlalu sedikit bukti yang dapat mendukung bahwa
manusia dapat terus ada tanpa hubungan yang mutualistik dengan alam. Dengan
kata lain, manusia sebenarnya sedang melakukan ”bunuh diri ekologis” dengan
bertingkah tak ramah terhadap alam. Kegagalan mengakomodasi ekologi dalam
konstruksi etika modern akan menginisiasi katastrofi global yang maha
dahsyat.

Tidak ada pilihan lain bagi umat manusia selain harus mengubah haluan
kehidupannya. Dalam relasinya dengan air, manusia masih terjebak dalam fase
kritis , sulit keluar dari paradigma lama. Banyak pemikir (a.l. Capra, 1982,
1996, 2002; Goldsmith, 1998, Cairns, 2002; Bordeau, 2004) yang menumpukan
harapan pada cara pandang ekologis sebagai pijakan untuk keluar dari
kebuntuan krisis lingkungan. Pandangan ekologis dianggap sebagai paradigma
baru untuk memecahkan persoalan-persoalan dalam masyarakat (Capra, 1982;
Goldsmith, 1998).

Sebenarnya, kesadaran akan perlunya pergeseran paradigma dari mekanistik ke
sistem, dari reduksionis keholistik sudah tak perlu diperdebatkan lagi.
Namun, sayangnya, pergeseran paradigma ini belum mewujud dalam kehidupan
nyata, termasuk dalam pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan sumber daya
air
masih terjebak dalam pola Cartesian. Di Indonesia, masih sangat sulit,
untuk tidak mengatakan mustahil, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya
air secara terpadu. Wewenang pengelolaan sumber daya air dikapling-kapling
menurut masing-masing lembaga yang menanganinya.

Sumber daya air tidak dikelola dalam suatu kesatuan siklus hidrologi,
melainkan di-”mutilasi” menjadi beberapa bagian. Pengelolaan sumber daya air
masih sangat kurang memerhatikan relasi intim antara air, ekosistem, dan
manusia. Hal ini dapat terjadi karena paradigma dominan dalam pengelolaan
sumber daya
air adalah pendekatan manajemen dan ekonomi. Dominasi
epistemologi yang ekonomistik cenderung menafikan kenyataan bahwa air adalah
entitas ekologis, bukan sekadar benda ekonomi.

*Budi Widianarko **Guru Besar Toksikologi Lingkungan, Unika Soegijapranata*
Sumber :

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.