Rabu, Desember 02, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
Krisis dan Penghematan Energi – Perspektif Global
Gita Stevani
[Kolomnis Ekonomi Pena Indonesia]
Penghematan bahan bakar adalah isu yang relevan dan mendesak, tidak
hanya di Indonesia tapi secara global. Tingkat konsumsi minyak
sekarang sedang secara cepat menuju tingkat yang tak tertanggungkan.
Apa saja yang kita konsumsi atau pakai—rumah, seisinya, mobil dan
jalan, baju yang kita pakai, dan makanan yang kita santap—memerlukan
energi untuk memproduksi dan mengemasnya, untuk mendistribusikannya ke
toko atau depan rumah kita, dan kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Energi yang dibutuhkan untuk mendukung ekonomi dan gaya hidup memberi
kenyamanan dan keuntungan luar biasa. Tapi, juga menuntut biaya luar
biasa dalam kesehatan, ekosistem dan bahkan keamanan. Konsumsi energi
mempengaruhi segala hal, dari utang luar negeri hingga stabilitas
Timur Tengah, dari udara yang kita hirup hingga air yang kita minum.
Secara global kita menyaksikan bahwa efisiensi penggunaan energi
meningkat dalam beberapa dasawarsa terakhir, artinya makin sedikit
energi dibutuhkan untuk menghasilkan uang. Tapi, perkembangan bagus
itu dikalahkan oleh peningkatan terus-menerus dalam laju konsumsi
energi dunia. Konsumsi energi didorong oleh peningkatan jumlah
penduduk. Namun , sementara penduduk dunia meningkat tiga kali lipat
dari 1850 hingga 1970, peningkatan konsumsi energi naik lebih tajam
dari itu: 12 kali lipat.
Mengingat laju pertumbuhan penduduk lebih besar di negeri-negeri
miskin, jelaslah bahwa peningkatan eksponensial dalam konsumsi energi
terjadi di negeri-negeri kaya. Contoh ekstrem adalah Amerika Serikat,
negeri yang paling rakus energi. Penggunaan minyak di Amerika selama
satu dekade terakhir naik menjadi 2,7 juta barel per hari—lebih banyak
dari yang dikonsumsi India dan Pakistan sekaligus, yang keduanya
berisi total empat kali lipat penduduk Amerika. Secara total,
rata-rata orang Amerika mengkonsumsi lima kali lebih banyak energi
dari rata-rata warga dunia, 10 kali lebih dari rata-rata orang Cina,
dan 20 kali lebih banyak dari rata-rata orang India.
Cina adalah negeri yang sekarang pertumbuhan ekonominya paling cepat.
Dengan trend itu, jika rata-rata orang Cina mengkonsumsi energi sama
seperti orang Amerika, Cina membutuhkan 90 juta barel minyak per
hari—sementara produksi minyak dunia pada 2001 hanya 11 juta barel
saja setiap hari. Tekor.
Kebutuhan minyak seperti itu tidak akan bisa ditanggung. Di samping
mendorong pertumbuhan ekonomi, kita perlu ingat penggunaan minyak juga
memiliki ongkosnya sendiri: merosotnya kualitas kesehatan manusia,
kian buruknya ekosistem, dan bahkan instabilitas politik dunia.
Isu penghematan energi memang isu yang relevan. Masalahnya, siapa yang
harus berhemat. Di tingkat global, bukan negeri seperti Indonesia yang
harus menghemat atau membatasi penggunaan bahan bakar. Konsumsi minyak
per kapita di Indonesia jauh lebih kecil dari negeri-negeri lain.
Namun, bukan berarti kita di Indonesia harus melupakan cara untuk
menghemat energi. Seperti di tingkat global, ada kesenjangan besar
dalam konsumsi energi di tingkat nasional, antara orang kaya dan orang
miskin. Dan jika Indonesia harus menghemat, dengan mudah kita pun bisa
mendefinisikan siapa yang harus menahan diri untuk konsumsi energi,
yang jelas bukan orang-orang miskin.
Melalui pajak dan subsidi, regulasi dan standar, dan investasi di
infrastruktur, pemerintah mempengaruhi bagaimana, di mana, berapa
banyak dan bentuk energi yang dipakai rakyat. Tapi, kita para konsumen
bukanlah penonton pasif. Kita bisa berperan dalam penghematan energi.
Pada akhirnya konsumen yang menentukan apa yang kita beli dan pakai,
maka konsumen bisa mendorong perubahan.
Kini, transportasi merupakan pemakan energi terbesar di dunia, sekitar
30% dari penggunaan energi dunia dan 95% konsumsi minyak dunia.
Pendorong signifikan dari konsumsi energi untuk transportasi adalah
ketergantungan besar pada mobilk pribadi. Sekitar 40,6 juta mobil
penumpang dikeluarkan dari pabrik seluruh dunia pada 2002, lima kali
lipat dari 1950-an. Mobil penumpang kini berjumlah 531 juta, tumbuh
sekitar 11 juta setiap tahunnya. Sekitar seperempat mobil ada di
Amerika, tempat mobil dan truk memakan 40% konsumsi minyak nasional
dan menyumbang perubahan iklim dunia setara dampak seluruh aktivitas
ekonomi Jepang. Jarak total yang dilalui orang Amerika melebihi semua
negeri industri maju sekaligus.
Sebagai kontras, banyak negara mulai peduli pada transportasi publik
untuk membatasi pemakaian mobil pribadi. Di Jepang dan Eropa, banyak
investasi dalam infrastruktur transportasi setelah Perang Dunia II
terfokus pada kereta api dan sistem transit. Kini sekitar 92% dari
penumpang di kota Tokyo berpergian lewat rel, dan orang Jepang hanya
menggunakan 55% perjalanan mereka dengan mobil. Eropa Barat
menggunakan angkutan publik 10% dari total perjalanan dalam kota,
Kanada 7%, dibandingkan Amerika yang hanya 2%.
"Ongkos kemacetan" terhadap mobil yang masuk pusat kota, dibarengi
dengan investasi lebih baik pada transportasi umum, juga mengurangi
penggunaan mobil dan polusi. Di London, sebagai hasil dari penerapan
toll ke pusat kota pada 2003, tingkat lalu lintas turun rata-rata 16
persen dalam beberapa bulan pertama, dan banyak pengguna mobil mulai
memakai angkutan umum.
Transportasi hanya salah satu saja. Di seluruh dunia orang mengunakan
sepertiga energi untuk bangunan—pemanas, pendingin, memasak,
penerangan, dan menjalankan perlengakapn elektronik. Penggunaan energi
dalam gedung meningkat tajam, dan juga di rumah-rumah kita. Tapi ada
kesenjangan besar konsumsi enegeri beberapa negeri: orang di seluruh
Amerika dan Kanada menggunakan 2,4 lebih banyak energi dari
rumah-rumah di Eropa Barat.
Meski seperempat penduduk dunia tak punya rumah yang layak atau bahkan
tak punya rumah sama sekali, banyak rumah di dunia tumbuh kian luas
dan besar. Amerika sekali lagi contoh ekstrem: dari 1975 hingga 2000,
rumah-rumah baru di sana tumbuh 38% lebih luas, menjadi rata-rata 210
meter persegi—dua kali lipat dari rumah rata-rata di Eropa atau Jepang
dan 26 kali lipat dari ruang hidup rata-rata orang di Afrika.
Ketika rumah membesar, tiap rumah membutuhkan ruang lebih luas untuk
dipanaskan atau didinginkan, diterangi, dan lebih banyak perlengkapan.
Peralatan rumah tangga adalah pemakan konsumsi energi paling cepat
peningkatannya setelah mobil, yakni sekitar 30% konsumsi listrik
nasional dan menyumbang 12% emisi gas yang menyebabkan global warming.
Sementara itu, di negeri-negeri sedang berkembang, penjualan kulkas di
India saja diramalkan meningkat 14% setiap tahunnya.
Melalui subsidi, pajak, penegakan standar industri yang hemat bahan
bakar serta perlakuan lain, kebijakan pemerintah memiliki dampak
langsung pada permintaan dan pasokan energi, efisiensi rumah,
peralatan, mobil dan pabrik-pabrik.
Di Denmark, pajak untuk pendaftaran mobil dibuat sedemikian rupa
sehingga sangat tinggi, melebihi harga jual eceran mobil, sementara
infrastruktur kereta api dan sepeda diperbaiki. Dampaknya: lebih 30%
keluarga tidak memiliki mobil. Jika pemerintah atau perusahaan
mensubsidi transportasi publik, orang akan lebih suka naik bus dan
subway ketimbang dengan sedan.
Di tingkat global, negeri-negeri seperti Amerika lah yang harus
menahan diri untuk mengurangi kerakusannya akan bahan bakar.
Sayangnya, Presiden George Bush tak nampak tergerak. Negeri itu sampai
sekarang menolak Protokol Kyoto yang mengatur emisi buangan energi
agar tidak merusak lingkungan bumi makin jauh.
Di tingkat nasional Indonesia, orang-orang kaya juga harus menahan
diri. Jika mereka tidak bisa menahan diri, pemerintahlah yang
berkewajiban memaksa, melalui instrumen pajak serta kebijakan publik
lainnya.*
Krisis dan Penghematan Energi – Perspektif Global
Gita Stevani
[Kolomnis Ekonomi Pena Indonesia]
Penghematan bahan bakar adalah isu yang relevan dan mendesak, tidak
hanya di Indonesia tapi secara global. Tingkat konsumsi minyak
sekarang sedang secara cepat menuju tingkat yang tak tertanggungkan.
Apa saja yang kita konsumsi atau pakai—rumah, seisinya, mobil dan
jalan, baju yang kita pakai, dan makanan yang kita santap—memerlukan
energi untuk memproduksi dan mengemasnya, untuk mendistribusikannya ke
toko atau depan rumah kita, dan kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Energi yang dibutuhkan untuk mendukung ekonomi dan gaya hidup memberi
kenyamanan dan keuntungan luar biasa. Tapi, juga menuntut biaya luar
biasa dalam kesehatan, ekosistem dan bahkan keamanan. Konsumsi energi
mempengaruhi segala hal, dari utang luar negeri hingga stabilitas
Timur Tengah, dari udara yang kita hirup hingga air yang kita minum.
Secara global kita menyaksikan bahwa efisiensi penggunaan energi
meningkat dalam beberapa dasawarsa terakhir, artinya makin sedikit
energi dibutuhkan untuk menghasilkan uang. Tapi, perkembangan bagus
itu dikalahkan oleh peningkatan terus-menerus dalam laju konsumsi
energi dunia. Konsumsi energi didorong oleh peningkatan jumlah
penduduk. Namun , sementara penduduk dunia meningkat tiga kali lipat
dari 1850 hingga 1970, peningkatan konsumsi energi naik lebih tajam
dari itu: 12 kali lipat.
Mengingat laju pertumbuhan penduduk lebih besar di negeri-negeri
miskin, jelaslah bahwa peningkatan eksponensial dalam konsumsi energi
terjadi di negeri-negeri kaya. Contoh ekstrem adalah Amerika Serikat,
negeri yang paling rakus energi. Penggunaan minyak di Amerika selama
satu dekade terakhir naik menjadi 2,7 juta barel per hari—lebih banyak
dari yang dikonsumsi India dan Pakistan sekaligus, yang keduanya
berisi total empat kali lipat penduduk Amerika. Secara total,
rata-rata orang Amerika mengkonsumsi lima kali lebih banyak energi
dari rata-rata warga dunia, 10 kali lebih dari rata-rata orang Cina,
dan 20 kali lebih banyak dari rata-rata orang India.
Cina adalah negeri yang sekarang pertumbuhan ekonominya paling cepat.
Dengan trend itu, jika rata-rata orang Cina mengkonsumsi energi sama
seperti orang Amerika, Cina membutuhkan 90 juta barel minyak per
hari—sementara produksi minyak dunia pada 2001 hanya 11 juta barel
saja setiap hari. Tekor.
Kebutuhan minyak seperti itu tidak akan bisa ditanggung. Di samping
mendorong pertumbuhan ekonomi, kita perlu ingat penggunaan minyak juga
memiliki ongkosnya sendiri: merosotnya kualitas kesehatan manusia,
kian buruknya ekosistem, dan bahkan instabilitas politik dunia.
Isu penghematan energi memang isu yang relevan. Masalahnya, siapa yang
harus berhemat. Di tingkat global, bukan negeri seperti Indonesia yang
harus menghemat atau membatasi penggunaan bahan bakar. Konsumsi minyak
per kapita di Indonesia jauh lebih kecil dari negeri-negeri lain.
Namun, bukan berarti kita di Indonesia harus melupakan cara untuk
menghemat energi. Seperti di tingkat global, ada kesenjangan besar
dalam konsumsi energi di tingkat nasional, antara orang kaya dan orang
miskin. Dan jika Indonesia harus menghemat, dengan mudah kita pun bisa
mendefinisikan siapa yang harus menahan diri untuk konsumsi energi,
yang jelas bukan orang-orang miskin.
Melalui pajak dan subsidi, regulasi dan standar, dan investasi di
infrastruktur, pemerintah mempengaruhi bagaimana, di mana, berapa
banyak dan bentuk energi yang dipakai rakyat. Tapi, kita para konsumen
bukanlah penonton pasif. Kita bisa berperan dalam penghematan energi.
Pada akhirnya konsumen yang menentukan apa yang kita beli dan pakai,
maka konsumen bisa mendorong perubahan.
Kini, transportasi merupakan pemakan energi terbesar di dunia, sekitar
30% dari penggunaan energi dunia dan 95% konsumsi minyak dunia.
Pendorong signifikan dari konsumsi energi untuk transportasi adalah
ketergantungan besar pada mobilk pribadi. Sekitar 40,6 juta mobil
penumpang dikeluarkan dari pabrik seluruh dunia pada 2002, lima kali
lipat dari 1950-an. Mobil penumpang kini berjumlah 531 juta, tumbuh
sekitar 11 juta setiap tahunnya. Sekitar seperempat mobil ada di
Amerika, tempat mobil dan truk memakan 40% konsumsi minyak nasional
dan menyumbang perubahan iklim dunia setara dampak seluruh aktivitas
ekonomi Jepang. Jarak total yang dilalui orang Amerika melebihi semua
negeri industri maju sekaligus.
Sebagai kontras, banyak negara mulai peduli pada transportasi publik
untuk membatasi pemakaian mobil pribadi. Di Jepang dan Eropa, banyak
investasi dalam infrastruktur transportasi setelah Perang Dunia II
terfokus pada kereta api dan sistem transit. Kini sekitar 92% dari
penumpang di kota Tokyo berpergian lewat rel, dan orang Jepang hanya
menggunakan 55% perjalanan mereka dengan mobil. Eropa Barat
menggunakan angkutan publik 10% dari total perjalanan dalam kota,
Kanada 7%, dibandingkan Amerika yang hanya 2%.
"Ongkos kemacetan" terhadap mobil yang masuk pusat kota, dibarengi
dengan investasi lebih baik pada transportasi umum, juga mengurangi
penggunaan mobil dan polusi. Di London, sebagai hasil dari penerapan
toll ke pusat kota pada 2003, tingkat lalu lintas turun rata-rata 16
persen dalam beberapa bulan pertama, dan banyak pengguna mobil mulai
memakai angkutan umum.
Transportasi hanya salah satu saja. Di seluruh dunia orang mengunakan
sepertiga energi untuk bangunan—pemanas, pendingin, memasak,
penerangan, dan menjalankan perlengakapn elektronik. Penggunaan energi
dalam gedung meningkat tajam, dan juga di rumah-rumah kita. Tapi ada
kesenjangan besar konsumsi enegeri beberapa negeri: orang di seluruh
Amerika dan Kanada menggunakan 2,4 lebih banyak energi dari
rumah-rumah di Eropa Barat.
Meski seperempat penduduk dunia tak punya rumah yang layak atau bahkan
tak punya rumah sama sekali, banyak rumah di dunia tumbuh kian luas
dan besar. Amerika sekali lagi contoh ekstrem: dari 1975 hingga 2000,
rumah-rumah baru di sana tumbuh 38% lebih luas, menjadi rata-rata 210
meter persegi—dua kali lipat dari rumah rata-rata di Eropa atau Jepang
dan 26 kali lipat dari ruang hidup rata-rata orang di Afrika.
Ketika rumah membesar, tiap rumah membutuhkan ruang lebih luas untuk
dipanaskan atau didinginkan, diterangi, dan lebih banyak perlengkapan.
Peralatan rumah tangga adalah pemakan konsumsi energi paling cepat
peningkatannya setelah mobil, yakni sekitar 30% konsumsi listrik
nasional dan menyumbang 12% emisi gas yang menyebabkan global warming.
Sementara itu, di negeri-negeri sedang berkembang, penjualan kulkas di
India saja diramalkan meningkat 14% setiap tahunnya.
Melalui subsidi, pajak, penegakan standar industri yang hemat bahan
bakar serta perlakuan lain, kebijakan pemerintah memiliki dampak
langsung pada permintaan dan pasokan energi, efisiensi rumah,
peralatan, mobil dan pabrik-pabrik.
Di Denmark, pajak untuk pendaftaran mobil dibuat sedemikian rupa
sehingga sangat tinggi, melebihi harga jual eceran mobil, sementara
infrastruktur kereta api dan sepeda diperbaiki. Dampaknya: lebih 30%
keluarga tidak memiliki mobil. Jika pemerintah atau perusahaan
mensubsidi transportasi publik, orang akan lebih suka naik bus dan
subway ketimbang dengan sedan.
Di tingkat global, negeri-negeri seperti Amerika lah yang harus
menahan diri untuk mengurangi kerakusannya akan bahan bakar.
Sayangnya, Presiden George Bush tak nampak tergerak. Negeri itu sampai
sekarang menolak Protokol Kyoto yang mengatur emisi buangan energi
agar tidak merusak lingkungan bumi makin jauh.
Di tingkat nasional Indonesia, orang-orang kaya juga harus menahan
diri. Jika mereka tidak bisa menahan diri, pemerintahlah yang
berkewajiban memaksa, melalui instrumen pajak serta kebijakan publik
lainnya.*
Pemikiran tentang :
Pengetahuan Umum
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar