Suraji Sukamzawi
Deputi Kajian dan Kampanye Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
Karena itu, tak heran jika ritual seperti merti laut, petik laut, sedekah laut, sebagai apresiasi kultural untuk menghormati alam atau mensyukuri anugerah Tuhan masih dipertahankan oleh masyarkat kita yang hidup di daerah pesisir. Hanya saja, apresiasi secara nasional oleh negara kita, yang difasilitasi oleh pemerintah belum ada sejauh ini.
Tapi bukan soal acara ritual yang hendak kita permasalahkan seiring dengan momentum hari perikanan dunia ini. Melainkan, kita perlu melihat seperti apa kondisi perikanan kita. Bagaimana posisi Indonesia di antara pertarungan global dunia perikanan? Seperti apa nasib masyarakat perikanan kita? Lantas, apa tantangan yang harus kita hadapi terhadap masalah ini? Itulah berbagai pertanyaan yang patut kita jawab secara bersama sebagai sebuah bangsa maritim.
Pemerintah Indonesia boleh bangga atas prestasi perikanannya selama ini. Indonesia merupakan supplier 40% kebutuhan ikan negara Amerika. Selain Thailand, China dan Singapura Kita juga menduduki peringkat 10 besar, yakni peringkat ke-8 negara eksportir ikan Asia untuk pasar Eropa. Namun, pasar ini juga sangat rentan terhadap krisis yang masih melanda dunia sekarang ini.
Akibat krisis keuangan global, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan ekspor perikanan Indonesia stagnan, yakni sebesar US$ 2,6 miliar. Permintaan di pasar utama, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang turun akibat krisis keuangan global. Pelemahan pasar ekspor ikan dipastikan akan menyebabkan persaingan dengan negara pengekspor lainnya semakin ketat. Selama ini, ekspor ke pasar utama mencakup 70 persen atau sekitar US$ 1,82 miliar pada 2008. Jumlah tersebut merosot 15 persen tahun ini, menjadi sekitar US$ 1,54 miliar.
Kemerosotan yang terjadi dalam perdagangan global perikanan ini disebabkan oleh menurunnya kapasitas penangkapan ikan oleh para nelayan kita. Cuaca buruk yang terjadi di perairan Indonesia mengakibatkan para nelayan berhenti melaut. Ditambah lagi stock ikan di laut yang menurun drastis akibat penangkapan berlebih (overfishing) menjadi penyebab utama penurunan hasil tangkapan tersebut.
Ketidakstabilan pasar, kecenderungan penawaran dan permintaan ikan yang fluktuatif, itulah alasan kita tidak perlu bangga terhadap prestasi selama ini. Bahkan kalau kita salah langkah dan tidak hati-hati dalam menerapkan kebijakan perikanan bisa fatal akibatnya. Lagipula kita juga perlu bertanya, jika hasil eksport tersebut dianggap sebagai prestasi, sejauh mana capaian tersebut dapat dinikmati untuk kesejahtaraan rakyat Indonesia?
Bolehlah itu dianggap prestasi dalam menyumbangkan pendapatan negara. Tapi apa gunanya jika tidak bisa dinikmati rakyatnya. Nyatanya, kehidupan para nelayan yang terhampar sepanjang pesisir kepulauan Indonesia, hidup mereka makin hari makin buruk kondisinya. Itulah mengapa kita perlu meninjau ulang kebijakan orientasi ekspor dalam sektor perikanan kita. Apalagi jika kebutuhan di dalam negeri belum cukup terpenuhi.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menengarai bahwa Indonesia masih mengimpor ikan patin dan ikan kembung untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia setiap tahun harus mengimpor ikan patin sebanyak 1.300 ton per tahun dari Vietnam, sedangkan ikan kembung harus diimpor dari Pakistan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar merupakan pasar yang menjanjikan. Selama ini, masyarakat Indonesia sendiri belum banyak yang mengkonsumsi protein yang bersumber dari perikanan kita. Ikan dengan kualitas protein yang tinggi lebih sering menjadi primadona untuk komoditas ekspor. Fenomena ini bisa dikatakan sebuah ironi.
Pemerintah perlu lebih gencar melakukan kampanye kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan. Pemerintah pusat hingga daerah perlu secara intensif untuk memfasilitasi pemasaran ikan hasil tangkapan para nelayan. Pemerintah harus lebih peka terhadap musim ikan untuk mengawasi kelangkaan dan kelebihan ikan antar wilayah untuk memastikan ikan kita dapat terpasarkan di dalam negeri.
Oleh karena itu, rencana DKP untuk menerapkan sistem buka-tutup dalam kebijakan ekspor ikan di 2010 perlu disambut baik. Rencananya, pemerintah akan membangun mega cold storage untuk menyimpan kelebihan pasokan ikan di dalam negeri. Ikan-ikan utuh hasil tangkapan dalam negeri bakal diekspor dengan sistem buka tutup. Sehingga, saat pasokan ikan di dalam negeri berlebih, maka simpanan ikan dalam mega cold storage akan dibuka untuk dilemparkan ke luar negeri. Ikan-ikan tersebut akan diekspor dalam bentuk utuh.
Selama pasokan ikan untuk industri pengolahan ikan di dalam negeri kurang, maka pintu ekspor ikan akan ditutup lantaran untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan dalam negeri. Pembangunan mega cold storage direncanakan di tiga lokasi; yaitu Pelabuhan Samudera Bitung, Pelabuhan Samudera Muara Baru dan Pelabuhan Samudera Surabaya.
Degan meninjau ulang orientasi ekspor pada kebijakan perikanan, kita bisa lebih memfokuskan pada masalah domestik. Kita perlu lebih intensif menggarap pasar dalam negeri. Penduduk Indonesia yang tinggi sebenarnya merupakan pasar yang menjanjikan. Masalahnya, selama ini pemerintah belum begitu gencar dalam kampanye dan mempromosikan hasil perikananan kita kepada konsumen kita sendiri. Pemerintah daerah sebenarnya bisa memfasilitasi untuk pemasaran ikan ini.
Sembari mengurus pasar sendiri, kita bisa lebih memperhatikan perkonomian nelayan kita. Mengingat perdagangan di tingkat lokal juga tidak kalah pentingnya untuk ditangani. Sudah begitu lama tempat pelelangan ikan (TPI) di daerah pesisir dibiarkan terbengkelai. Akibatnya, para tengkulak pemburu rente bebas memainkan harga ikan. Nelayan makin menderita akibat perdagangan yang dikuasai renternir. Padahal mereka masih harus merasakan mahalnya biaya untuk kebutuhan melaut. Ini memang masalah klasik, tapi bukan berarti harus diabaikan. Justru harus terus-menerus dicari solusi penataannya yang tepat.
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar