Sabtu, Mei 15, 2010 |
0
Tanggapan Teman ?
Menyewakan Pulau Terluar
Oleh: M. Riza Damanik
Wacana penyewaan pulau-pulau kecil kian menguat setelah dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut yang kini berganti nama menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), satu dekade silam.
Seolah terus melakukan inovasi, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pun kembali mengikhtiarkan upaya penyewaan pulau-pulau kecil, khususnya pada 12 pulau kecil terluar kepada pihak asing melalui jalur investasi ekonomi.
Negara-negara tersebut di antaranya adalah Australia yang berminat investasi di Pulau Banda Naira, Singapura di Pulau Nipah dan Kepulauan Anambas, serta Maladewa di Banyuwangi, termasuk mendapat dukungan pengamanan TNI AL (Kompas, 25/3).
Dalam pandangan penulis, gagasan ini terkesan “kalap” hingga “menabrak” nilai-nilai kepatutan historis—setelah lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia—sekaligus berseberangan dengan isyarat hukum yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 29 Desember 2005 silam.
Pada lingkup kebijakan nasional, keputusan ini mengundang perhatian sekaligus keprihatinan untuk ditinjau-ulang: pertama, terkait kewenangan dan kelembagaan. Terlepas dari motif dan latar belakang Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad sebagai seorang pengusaha, keputusan sepihaknya untuk membuka investasi di pulau-pulau kecil terluar mengandaikan adanya penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Bertentangan
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 78/2005, diketahui bahwa keputusan atas pilihan dan strategi pengelolaan pulau kecil terluar tidak cukup dilakukan oleh seorang Menteri Kelautan dan Perikanan (saja). Akan tetapi, oleh Tim Koordinasi yang terdiri dari 20 pejabat negara se tingkat menteri—di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan—bersama Presiden. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa kepentingan utama dari Tim Koordinasi lebih pada kepentingan politik, hukum, dan keamanan—bukan ekonomi.
Demikian halnya klaim Menteri Kelautan atas peran serta TNI AL untuk turut mengamankan investasi asing di pulau-pulau kecil terluar. Tidak saja berseberangan dengan apa yang diisyaratkan perpres, namun ini sekaligus telah melampaui tugas pokok institusi TNI AL itu sendiri, seperti menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah, menegakkan hukum di laut, serta melaksanakan perang dan pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dari ketiganya, dipastikan tidak ada penugasan kepada TNI AL sebagai alat negara untuk menjadi “satuan pengaman” bagi investasi asing di pulau-pulau terluar.
Kedua, pengabaian prinsip-prinsip pengelolaan. Peraturan Presiden No 78/2005 menjabarkan tiga prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar: prinsip Wawasan Nusantara yang menjelaskan klaim politik terhadap kedaulatan Indonesia atas pulau-pulau terluar; prinsip berkelanjutan untuk menjamin pulau-pulau tersebut tetap eksis, baik secara lingkungan, sosial, dan ekonomi, tidak terbatas dalam upaya mitigasi perubahan iklim yang mengancam tenggelamnya 2.000 pulau kecil di Indonesia; dan prinsip berbasis masyarakat. Prinsip terakhir ini dipastikan menjadi pengikat prinsip-prinsip sebelumnya. Ini ada guna menggenapkan kedaulatan politik atas pulau-pulau terluar dengan menguatkan kemandirian bangsa. Bukannya memberikannya pada pihak asing.
Reformasi Pengelolaan
Sepintas, keberadaan pulau-pulau kecil terluar dapat memberikan ketertarikan lebih pada kepentingan ekonomi. Sebut saja Pulau Nipah di Kepulauan Riau yang kaya akan potensi pasir laut, dan Pulau Banda Maluku Tengah yang cukup kaya dengan keindahan bawah laut serta sejarah peninggalan Hindia-Belanda. Namun, posisi geografisnya yang berbatasan langsung dengan negara lain, juga minimnya akses pemerintahan dari dan ke pulau-pulau terluar tersebut, justru mengisyaratkan tingginya kerentanan ekologis dan ekonomis, baik dari dalam maupun luar negara.
Sejalan dengan itu, Kepala Bidang Kerja Sama Pertahanan Kementerian Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Kolonel Laut Rusdi Ridwan, pernah mengingatkan bahwa terdapat 12 pulau terluar yang perlu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah karena rawan terhadap ke mungkinan terjadinya konflik kepemilikan dan konflik perbatasan (Media Indonesia, 23/1).
Dengan demikian, pantas kiranya pemerintah melalui Perpres 78/2005 berkonsentrasi untuk memberdayakan masyarakat sekaligus mengamankan kepentingan nasional terhadap pulau-pulau kecil terluar tersebut, bukannya malah mengamankan investasi asing.
Upaya tersebut dapat dimulai dengan mengintensifkan keterlibatan perguruan tinggi, sekolah-sekolah kejuruan, dan pesantren untuk mengoptimalkan sumber dayanya guna memberdayakan pulau-pulau kecil terluar.
Selain untuk menancapkan pengaruh keindonesiaan di pulau-pulau kecil terluar, hal ini juga dapat merangsang pembangunan pulau kecil yang berwawasan nusantara, berkelanjutan, dan yang terpenting berbasiskan masyarakat.
Berikutnya, reformasi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga mendesak dilakukan. Ini dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat lokal atau masyarakat tradisional yang berkepentingan terhadap wilayah kepulauan perbatasan, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk terlibat dalam setiap keputusan terkait pilihan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan.
Mengingat, melepaskan urusan pengelolaan pulau tersebut pada level pemerintahan dalam kurun waktu lima tahun terakhir hanya akan menjadikan pulau-pulau kecil sebagai “komoditas dagang.” Hal ini mendesak dilakukan, agar pulau-pulau terluar benar-benar menjadi halaman depan yang menampilkan Indonesia yang berdaulat, sejahtera, dan mandiri.*
Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan peneliti pada Institut Hijau Indonesia.
Pemikiran tentang :
isu politik
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar