Minggu, Mei 09, 2010 |
0
Tanggapan Teman ?
elnino - Sutrisno wrote: Wilayah Kelola Rakyat Hutan-Gambut Rendah Karbon (Release Bersama KpSHK, Save Our Borneo, dan WALHI Eksekutif Daerah
Kalteng)
Janji Pemerintah Indonesia kepada dunia untuk menurunkan 26% emisi
karbon
hingga 2020 sudah menyentuh ranah paling rawan pelepasan emisi dan
konflik
sumberdaya alam, yaitu hutan-gambut. Hampir 50% emisi karbon Indonesia
berasal dari kebakaran hutan-lahan dan alihfungsi hutan-gambut untuk
pembangunan. Dugaan ini diyakini parapihak akan menyebabkan Indonesia
berada di posisi ketiga dunia sebagai negara pengemisi karbon
terbesar. Dan
60% kawasan hutan-gambut tumpang tindih klaim antara masyarakat lokal
(adat) dengan negara sejak diberlakukannya ‘kawasan hutan politik’
dari
sejak jaman Kolonial Belanda (1870-an).
Kawasan hutan-gambut saat ini tinggal 137,3 juta ha atau setara
dengan 70%
luas daratan Indonesia. Kementerian Kehutanan mengakui 50% kawasan
hutan-gambut sudah rusak dan tidak berhutan (bila hutan didefinisikan
sebagai tegakan dari tumbuhan). Kawasan hutan yang berupa rawa
gambut di
seluruh Indonesia diperkirakan masih seluas 38 juta ha (terluas di
Sumatera, Kalimantan dan Papua).
Kawasan hutan-gambut saat ini tinggal 137,3 juta ha atau setara
dengan 70%
luas daratan Indonesia. Kementerian Kehutanan mengakui 50% kawasan
hutan-gambut sudah rusak dan tidak berhutan (bila hutan didefinisikan
sebagai tegakan dari tumbuhan). Kawasan hutan yang berupa rawa
gambut di
seluruh Indonesia diperkirakan masih seluas 38 juta ha (terluas di
Sumatera, Kalimantan dan Papua).
Hutan-gambut yang terbentang dari Sumatera hingga Papua sudah sejak
lama
menjadi ruang hidup masyarakat lokal (adat). Terbukti, praktik-praktik
pemanfaatan hutan-gambut oleh masyarakat lokal (adat) masih
berlangsung
hingga sekarang dalam skala kecil dan berkelanjutan. Pemanfaatan
hutan-gambut sebagai hutan sagu di Tebing Tinggi-Riau mampu menjadikan
desa-desa di Tebing Tinggi pemasok sagu ke Malaysia dan Singapura
secara
berkelanjutan, sebagai kebun buah (durian, duku dan nanas) dengan pola
parit di Tangkit Baru-Muaro Jambi, sebagai hutan-gambut karet dan
tempat
pengembalaan ternak di Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, dan
sebagai
hutan-gambut karet (handil) di Kelawa-Kalimantan Tengah dan ragam
kelola
hutan-gambut lainnya oleh masyarakat.
Ragam kelola masyarakat atas hutan-gambut tersebut merupakan kawasan
rendah
pelepasan karbon (low carbon area) karena masyarakat mengelola hutan-
gambut
berdasarkan pengetahuan setempat dan menganut nilai-nilai tradisi
(adat-istiadat yang berlaku) dan hanya mengambil manfaat dari Hasil
Hutan
Bukan Kayu (HHBK, semisal buah, getah, madu dari sarang lebah di pohon
madu, hasil ternak dan lain-lain).
Segera Akui Daerah Rendah Karbon
* Ada 16,7 juta ha wilayah kelola rakyat yang berupa hutan-gambut di
seluruh Indonesia yang kini terancam oleh penyebab konflik tenurial
konflik
sumberdaya alam, yaitu hutan-gambut. Hampir 50% emisi karbon Indonesia
berasal dari kebakaran hutan-lahan dan alihfungsi hutan-gambut untuk
pembangunan. Dugaan ini diyakini parapihak akan menyebabkan Indonesia
berada di posisi ketiga dunia sebagai negara pengemisi karbon
terbesar. Dan
60% kawasan hutan-gambut tumpang tindih klaim antara masyarakat lokal
(adat) dengan negara sejak diberlakukannya ‘kawasan hutan politik’
dari
sejak jaman Kolonial Belanda (1870-an).
Kawasan hutan-gambut saat ini tinggal 137,3 juta ha atau setara
dengan 70%
luas daratan Indonesia. Kementerian Kehutanan mengakui 50% kawasan
hutan-gambut sudah rusak dan tidak berhutan (bila hutan didefinisikan
sebagai tegakan dari tumbuhan). Kawasan hutan yang berupa rawa
gambut di
seluruh Indonesia diperkirakan masih seluas 38 juta ha (terluas di
Sumatera, Kalimantan dan Papua).
Kawasan hutan-gambut saat ini tinggal 137,3 juta ha atau setara
dengan 70%
luas daratan Indonesia. Kementerian Kehutanan mengakui 50% kawasan
hutan-gambut sudah rusak dan tidak berhutan (bila hutan didefinisikan
sebagai tegakan dari tumbuhan). Kawasan hutan yang berupa rawa
gambut di
seluruh Indonesia diperkirakan masih seluas 38 juta ha (terluas di
Sumatera, Kalimantan dan Papua).
Hutan-gambut yang terbentang dari Sumatera hingga Papua sudah sejak
lama
menjadi ruang hidup masyarakat lokal (adat). Terbukti, praktik-praktik
pemanfaatan hutan-gambut oleh masyarakat lokal (adat) masih
berlangsung
hingga sekarang dalam skala kecil dan berkelanjutan. Pemanfaatan
hutan-gambut sebagai hutan sagu di Tebing Tinggi-Riau mampu menjadikan
desa-desa di Tebing Tinggi pemasok sagu ke Malaysia dan Singapura
secara
berkelanjutan, sebagai kebun buah (durian, duku dan nanas) dengan pola
parit di Tangkit Baru-Muaro Jambi, sebagai hutan-gambut karet dan
tempat
pengembalaan ternak di Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, dan
sebagai
hutan-gambut karet (handil) di Kelawa-Kalimantan Tengah dan ragam
kelola
hutan-gambut lainnya oleh masyarakat.
Ragam kelola masyarakat atas hutan-gambut tersebut merupakan kawasan
rendah
pelepasan karbon (low carbon area) karena masyarakat mengelola hutan-
gambut
berdasarkan pengetahuan setempat dan menganut nilai-nilai tradisi
(adat-istiadat yang berlaku) dan hanya mengambil manfaat dari Hasil
Hutan
Bukan Kayu (HHBK, semisal buah, getah, madu dari sarang lebah di pohon
madu, hasil ternak dan lain-lain).
Segera Akui Daerah Rendah Karbon
* Ada 16,7 juta ha wilayah kelola rakyat yang berupa hutan-gambut di
seluruh Indonesia yang kini terancam oleh penyebab konflik tenurial
dan sumberdaya hutan-gambut, yaitu pembangunan Hutan Tanaman Industri
(HTI) dan
Perkebunan Kelapa Sawit. Keterancaman 16,7 juta ha wilayah ini
karena belum
adanya penetapan status (pengakuan atau rekognisi) atas kawasan
tersebut
oleh Pemerintah baik hak pengelolaan maupun hak milik dari hutan-
gambut
yang diklaim masyarakat. Diproyeksikan hingga 2015 HTI yang ada dan
rencana
perluasannya akan mencapai 9 juta ha, dan perkebunan sawit 6,7 juta
ha.
* Tanpa kejelasan atau pengakuan Pemerintah bagi wilayah kelola rakyat
tersebut, pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit akan mengambil
keuntungan dengan cara ‘memancing di air keruh’ seperti selama ini
terjadi. Ketidakjelasan dan tidak adanya jaminan hak kelola dan
milik atas
hutan-gambut bagi klaim masyarakat, maka praktik tatakelola yang
buruk,
penyelewengan kewenangan dan pemberian ijin pengusahaan hutan-gambut
(bad
governance) akan terus berlangsung. Pemerintah sudah seharusnya segera
mengeluarkan kebijakan untuk pengakuan daerah-daerah rendah karbon
yang
dikelola masyarakat di kawasan hutan-gambut, sekaligus menyetop
perluasan
HTI-perkebunan sawit.
Informasi lebih lanjut hubungi
KpSHK-Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan
Jl. Sutiragen V No.14, Indraprasta I, Bantarjati-Bogor, Jawa
Barat-Indonesia 16153
Telp/Fax: +62-251 8380 301; E-mail: kpshk[at]kpshk.org
(HTI) dan
Perkebunan Kelapa Sawit. Keterancaman 16,7 juta ha wilayah ini
karena belum
adanya penetapan status (pengakuan atau rekognisi) atas kawasan
tersebut
oleh Pemerintah baik hak pengelolaan maupun hak milik dari hutan-
gambut
yang diklaim masyarakat. Diproyeksikan hingga 2015 HTI yang ada dan
rencana
perluasannya akan mencapai 9 juta ha, dan perkebunan sawit 6,7 juta
ha.
* Tanpa kejelasan atau pengakuan Pemerintah bagi wilayah kelola rakyat
tersebut, pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit akan mengambil
keuntungan dengan cara ‘memancing di air keruh’ seperti selama ini
terjadi. Ketidakjelasan dan tidak adanya jaminan hak kelola dan
milik atas
hutan-gambut bagi klaim masyarakat, maka praktik tatakelola yang
buruk,
penyelewengan kewenangan dan pemberian ijin pengusahaan hutan-gambut
(bad
governance) akan terus berlangsung. Pemerintah sudah seharusnya segera
mengeluarkan kebijakan untuk pengakuan daerah-daerah rendah karbon
yang
dikelola masyarakat di kawasan hutan-gambut, sekaligus menyetop
perluasan
HTI-perkebunan sawit.
Informasi lebih lanjut hubungi
KpSHK-Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan
Jl. Sutiragen V No.14, Indraprasta I, Bantarjati-Bogor, Jawa
Barat-Indonesia 16153
Telp/Fax: +62-251 8380 301; E-mail: kpshk[at]kpshk.org
Pemikiran tentang :
Pengetahuan Umum
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar