Minggu, Januari 17, 2016 |
0
Tanggapan Teman ?
Depletion Premium didalam pengelolaan sumber daya
migas di Indonesia
Oleh : Arif Eka Rahmanto
Depletion
premium adalah biaya penggunaan sumber daya tidak
terbarukan yang digunakan sebagai investasi untuk mengganti sumber daya yang
telah digunakan yang nilainya sebanding di masa mendatang. Penerapan depletion
premium dalam sistem Kontrak Kerjasama adalah menyisihkan DP langsung dari
pendapatan lifting migas.
Definisi menurut( Arsegianto,2009) : User’s cost ini disebut juga depletion
premium. Depletion premium dikelola oleh pemerintah atas nama generasi yang
akan datang dan digunakan untuk membiayai usaha mengganti minyak yang diambil
hari ini misalnya dengan melakukan eksplorasi untuk mendapat cadangan baru,
atau penelitian dan pengembangan pengganti minyak seperti bio-disel, tenaga
matahari dan sebagainya. Depletion Premium sangat di pengaruhi oleh perbedaan
Inflasi dan MAAR
Di Indonesia
penentuan harga minyak dan gas bumi telah menerapkan depletion premium di
setiap analisis keekonomian proyek ekploitasi minyak dan gas bumi, selain akan
menjamin keberlangsungan ketersediaan energi (sustainibility) juga membangunan
ketahanan di sektor energi di masa yang akan datang. Sehingga generasi di masa
yang akan datang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan pengganti sumber daya
alam yang saat ini diambil
Pada saat ini dan sebelumnya Indonesia telah
menerapkan konsep tersebut (Depletion
Premium) terutama pada penerapan system kontrak Kerja Sama atau PSC di
bidang Gas, sedangkan dibidang Minyak bumi atau oil penerapan Depletion Premium tersebut dilakukan
dengan pembayaran dimuka. Dalam PSC
kontrak dikenal juga FTP First Trench
Petroleoum yang merupakan persamaan dari Depletion Premium, dalam kontrak di dunia MIGAS Indonesia.
Selain itu juga Depletion
Premium juga akan di terapkan untuk kebijakan dana ketahanan ENERGY Indonesia.
Adapun dana Ketahanan ini menjadi uasan
yang harus di pertimbangkan dari berbagai aspek, Kami mengambil tulisan dari media kompas terkait pembahasan tersebut :
DR. Pri Agung
Rakhmanto ;
Kompas ; Rabu 30
Desember 2015
Pekan lalu, pemerintah
menurunkan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar. Harga premium
turun dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter dan solar turun dari
Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950.
Harga baru ini mulai
diberlakukan pada 5 Januari 2016. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Sudirman Said mengatakan, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya Rp
6.950/liter, sedangkan solar Rp 5.650/liter. Namun, untuk kepentingan
pengembangan energi terbarukan, pemerintah menambah Rp 200/liter pada harga
premium dan Rp 300/liter pada harga solar. Dana Rp 200/liter dan Rp 300/liter
yang diambil dari harga premium dan solar ini diklaim merupakan dana ketahanan
energi.
Dasar hukum lemah
Gagasan tentang dana ketahanan
energi seperti yang dicetuskan Menteri ESDM pada dasarnya baik. Namun, untuk
mengimplementasikannya menjadi kebijakan resmi, sebaiknya pemerintah terlebih
dahulu harus memiliki pijakan dasar hukum yang kuat dan jelas.
Saya menilai rujukan peraturan
yang digunakan pemerintah dalam menerapkan kebijakan dana ketahanan energi ini,
yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan
Pemerintah (PP) No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tidak cukup kuat.
Pasal 30 Ayat 1, 2, dan 3 UU No 30/2007 memang menyebut tentang dana untuk
penelitian pengembangan energi. Namun, untuk pengaturan lebih lanjut tentang
itu, pada Ayat 4 disebutkan, diperlukan PP. Dalam konteks ini, PP yang dimaksud
adalah PP tentang pendanaan kegiatan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi energi, yang mungkin dalam konteks kebijakan dana ketahanan
energi bisa menjadi lebih relevan.
Dengan demikian, PP No 79/2014
bukan aturan pelaksana yang dimaksud Pasal 30 UU No 30/2007. PP No 79/2014
memang menyebut tentang adanya premi pengurasan (depletion premium)energi fosil yang dapat
diperuntukkan bagi kegiatan eksplorasi migas, selain bagi pengembangan energi
baru terbarukan, sumber daya manusia, penelitian pengembangan, dan
infrastruktur. Namun, PP itu tak secara spesifik mengatur bahwa premi
pengurasan itu diambil dari sebagian harga bahan bakar minyak (BBM) seperti
yang diterapkan pemerintah dalam kebijakannya saat ini.
Dengan kata lain, saya
berpendapat bahwa PP No 79/2014 ini pun tidak cukup kuat sebagai landasan hukum
untuk ”memungut” dana ketahanan energi dari harga BBM yang diberlakukan di
masyarakat.
Premi pengurasan
Secara konseptual, premi
pengurasan pada dasarnya adalah sejumlah nilai ekonomi tertentu yang dikenakan
pada aktivitas pendayagunaan suatu sumber daya (energi) yang tidak terbarui.
Tujuannya adalah untuk menjaga ketersediaan sumber daya energi (tersebut)
selama mungkin atau juga untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan energi lain
dalam arti yang lebih luas.
Dalam praktiknya, sebagaimana
diterapkan di banyak negara, hal ini dapat secara langsung diambilkan dari
sebagian penerimaan yang diperoleh dari pendayagunaan sumber energi
nonterbarukan atau dapat juga dikenakan dalam bentuk pajak yang dimasukkan
sebagai salah satu komponen harga energi. Dalam konteks Indonesia, kedua cara
ini pada dasarnya sama-sama dapat diterapkan.
Pemerintah—melalui instrumen
APBN, dengan persetujuan DPR tentunya—dapat secara langsung menyisihkan
sebagian penerimaan negara (penerimaan negara bukan pajak/PNBP) yang diperoleh
dari pengusahaan energi nonterbarukan, seperti migas atau batubara. Pemerintah
melalui instrumen pajak juga dapat menetapkan pajak premi pengurasan sejumlah
tertentu pada harga energi yang diberlakukan kepada masyarakat. Sesuai filosofinya, hasil
penyisihan sebagian PNBP energi nonterbarukan atau pajak tersebut harus
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi penyediaan energi nasional secara
berkelanjutan.
Untuk menerapkan salah satu
atau keduanya di Indonesia, tetap terlebih dahulu harus ada dasar hukum yang kuat
dan jelas, yang secara khusus mengatur tentang bagaimana premi pengurasan itu
akan diterapkan, bagaimana mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, dan
pertanggungjawabannya. Saran sederhana saya, dasar hukum yang kuat dan jelas
mesti ada dulu, baru kebijakan dana ketahanan energi diterapkan.
Satu hal yang mungkin dapat
menjadi pertimbangan bagi perekonomian nasional, yang saat ini tengah
memerlukan stimulus, cara menyisihkan sebagian PNBP energi nonterbarukan secara
langsung melalui mekanisme APBN mungkin akan lebih baik dibandingkan memberi ”beban”
tambahan kepada masyarakat dalam bentuk harga yang lebih tinggi.
Jadi, kiranya tidak ada salahnya jika kebijakan dana ketahanan energi yang akan
dijalankan saat ini ditinjau ulang dan dikaji kembali lebih mendalam.
Dalam ulasan artikel tersebut Depletion premium pada Indonesia yaitu dana ketahanan energi
telah Ditetapkan oleh Menteri
ESDM sebagai beban masyarakat kelas ekonomi menengah – bawah. Dikarenakan hanya
bertumpu pada premium dan Solar bersubsidi.
Berdasarkan pemaparan diatas maka , Indonesia telah menetapkan system
ini yaitu :
1. PSC
dengan penambahan FTP secara langsung ataupun terpisah, ini sangat baik untuk
penerimaan pemerintah;
2. DANA
KETAHANA ENERGY, secara langsung impact yang di rasakan pada masyarakat
menengah –kebawah, alangkah lebih baik di pertimbangan kan kembali dengan
menaruh dana ketahanan energy ini pada komponen pajak( kendaraan bermotor
pribadi), retribusi ijin usaha industry (semacam iuran pertahun tergantung
skala industrinya dan komponen energy yang digunakan) dan atau dimasukan dalam
komponen CSR perusahaan sebagai kompensasi penggunaan energy untuk menghasikan
barang atau jasa.
Sumber :
- http://www2.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/5212-energi-untuk-pembangunan-berkelanjutan-22.html
- http://indonesianreview.com/ds-muftie/menguji-rumusan-petroleum-fund
- http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50117d4d93810/klausul-petroleum-fund-ada-di-ruu-migas
- http://www.iatmi.or.id/assets/bulletin/pdf/2009/2009-10.pdf
- https://agusrendiwijaya.files.wordpress.com/2008/06/kajian-depletion-premium.pdf
- https://www.academia.edu/11916231/KETAHANAN_ENERGI_INDONESIA_2015-2025_TANTANGAN_DAN_HARAPAN
- http://www.reforminer.com/media-coverage/tahun-2015/1392-dana-ketahanan-energi\
Pemikiran tentang :
Pengetahuan Umum
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar