tambang Vs asimetris info????

Tambang & Risiko Asimetri Informasi
Oleh Ferdy Hasiman

BEBERAPA tahun terakhir, investasi berskala raksasa mulai digelontorkan ke
Propinsi NTT. NTT bukan hanya dikenal dengan tambang mangan di Pulau Flores,
tetapi kaya akan biji emas, dan biji besi. Tambang emas dan biji besi ini
terdapat di Sumba Barat dan Sumba Timur. Bukan hanya itu, di Blok Rote dan Blok
Sabu, terdapat potensi minyak dan gas (migas) yang cukup besar untuk
dieksplorasi.

Tak pelak lagi, raksasa-raksasa nasional dan multinasional pun saling
berebut-rebutan mendapat lahan garapan untuk menambang. Raksasa nasional yang
familiar dikenal publik, misalnya, PT Merukh Enterprise. Merukh Enterprise
adalah anak usaha PT Pukuafu Indah yang memiliki 20 persen saham di PT Newmont
Nusa Tenggara (NTT). Sementara perusahaan-perusahaan lokal di Pulau Flores
hampir pasti tidak dikenal track-record-nya. Selain pemain lokal,
raksasa-raksasa multinasional, seperti Rio Tinto (Listing Bursa Teronto), San
Miquel (Philipina) atau Salgacoar Mining (India). Singkatnya, NTT menjadi
primadona baru bagi investor tambang pada tahun-tahun belakangan ini.
Pertanyannya adalah mengapa perusahaan-perusahaan itu dengan mudah berekspansi
ke Propinsi NTT?

Paradigma pembangunan

Penetrasi raksasa tambang di NTT hampir tak terbendung. Soalnya, pemerintah di
NTT telah memilih paradigma ekonomi yang berpihak pada investasi skala raksasa.
Paradigma investasi berskala raksasa ini memang sudah mulai diperkenalkan sejak
Washington Conssensus (WC) pada tahun 1990-an. Isi WC adalah liberalisasi,
privatisasi, dan deregulasi.

Liberalisasi adalah minimalisasi peran negara dalam pasar. Negara-negara atau
yang diwakili Pemda NTT wajib membuka diri terhadap investasi. Semua beban
dalam bentuk tarif, pajak, royalti, harus ditiadakan. Sementara privatisasi
adalah pengalihan perusahaan-perusahaan negara ke tangan pihak swasta. Segala
bentuk jaminan sosial mulai dari jaminan kesehatan, pendidikan, jaminan bagi
penganggur atau pekerja ditiadakan. Secara ringkas, tiga agenda ini menghendaki
agar pemerintah keluar dari pasar.

Tiga agenda di atas merupakan pintu masuk bagi berkembangnya investasi asing.
Tolak ukur investasi yang dikehendaki dalam WC adalah investasi berskala
raksasa, seperti pertambangan. WC percaya investasi berskala raksasa dapat
mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di negara-negara berkembang, tak
terkecuali di NTT. Dengan masuknya raksasa-raksasa tambang NTT secara eksplisit
telah memaklumatkan paradigma pembangunan yang diadopsi dari WC. Soalnya logika
pemerintah mengatakan, NTT adalah daerah yang gersang dan tidak memungkinkan
untuk tumbuhnya sektor pertanian, perikanan dan industri mikro-kecil lainnya.

Atas dasar itulah tulisan Ignas Ladjang "Kegaduhan Seputar Masalah Tambang"
semakin mengokohkan posisi pemerintah lokal mengadopsi pilihan pembangunan NTT
berskala raksasa. Sektor mikro-kecil di mata pemerintah terbukti tidak memberi
kontribusi apa-apa pada penerimaan daerah. Apalagi dengan otonomi daerah dana
APBD untuk pemda semakin mengecil. Mengecilnya dana APBD membuat pemda harus
mencari jalan untuk mengatasi defisit anggaran. Maka, satu-satunya jalan paling
mudah mendapat dana adalah membuka diri terhadap investasi berskala besar,
melalui sektor pertambangan.

Lazimnya, sebelum investasi besar itu datang, pemerintah harus memenuhi
persyaratan yang harus dipenuhi agar investasi berjalan aman. Persyaratan itu
berupa liberalisasi pasar. Dengan adanya liberalisasi pasar, pemerintah tidak
memiliki kewajiban lagi menagih pajak, tarif, upah harus ditekan, izin konsesi
harus dipermudah dan sederet aturan lain yang ramah terhadap investor (investor
friendly). Semua persyaratan ini saya kira sudah dipenuhi Pemerintah NTT dan
itu adalah sebuah pilihan yang sangat berisiko bagi kesejahteraan NTT ke depan.

Mengapa berisiko?

Ekonom J Stiglitz jauh-jauh hari berpesan, penetrasi asing dan investasi
berskala raksasa sangat rentan terjadi asimeteri informasi. Asimetri informasi
adalah informasi yang tidak sejajar diterima pelaku pasar. Itulah mengapa
menjalankan bisnis di negara berkembang seperti Indonesia, apalagi NTT, sangat
sulit. Soalnya informasi tidak dapat diterima dengan sempurna, karena umumnya
di Indonesia, tak terkecuali di NTT, berkembang praktek bisnis yang tidak
jujur.

Menurut Stiglitz, asimetri informasi tidak akan terjadi tanpa ada asimetri
kekuasaan. Artinya kekuasaan lebih memberi akses mudah kepada investor daripada
rakyat miskin. Akses mudah dari pemerintah itu berupa pemberian supervisi dan
aturan hukum lainnya. Akibatnya, pemerintah menjadi tidak transparan terhadap
warga.

Akibat ketidaktranspranan ini, aksi protes warga di NTT merebak. Merebaknya
aksis protes ini karena warga tidak pernah mendapat pemahaman sempurna berupa
sosialisasi bagaimana baik-buruknya sektor pertambangan. Memang dalam
pemberitaan media, pemerintah telah melakukan MoU dengan investor secara
transparan. Namun, dalam MoU itu rakyat tidak pernah dibeberkan secara
mendetail informasi seputar sektor pertambangan itu. Akibat asimetri infomasi,
aksi protes pun merebak. Protes warga muncul ketika mesin-mesin raksasa
menggerus hak ulayat masyarakat adat. Namun, kesadarannya serba terlambat.
Keterlambatan kesadaran ini bukan tanpa sengaja karena pemerintah sengaja
menyembunyikan data dan informasi lengkap seputar pertambangan pada saat
melakukan MoU dengan investor.

Melihat realitas di atas, saya kira, masuknya investasi pertambangan di NTT
justru merusak tatanan demokrasi pada tingkat lokal. Demokrasi memang kelihatan
berjalan namun demokrasi yang mengabdi kepentingan bisnis. Risiko lebih lanjut
terjadinya aktivitas pemburu rente dan korupsi di tingkat lokal meluas.

Belum lagi jika melihat track record perusahaan yang berkiprah di NTT. Memang
untuk perusahaan asing yang berkiprah di NTT sangat mudah dilacak pembukuannya,
karena perusahaan-perusahaan itu tercatat di bursa Australia atau bursa
Toronto. Namun hampir semua KP lokal di NTT sangat sulit dilacak neraca
keuangannya. Karena semua KP adalah perusahaan privat. Lantas bagaimana publik
mengakses informasi ke perusahaan-perusahaan itu? Berapa kapasitas produksi,
berapa penjualan perusahaan setiap tahun, sehingga publik bisa mengetahui
secara pasti berapa yang masuk ke PAD daerah dari sektor tambang.

Selain itu publik semakin sulit melacak siapa pemilik KP, apakah raksasa bisnis
dari Jakartakah atau pebisnis tingkat lokal. Karena sulit dideteksi, total
aset perusahaan itu pun sulit diketahui. Maka, mereka semakin dibebaskan dari
pembayaran pajak ke negara. Semuanya ini menjadi informasi yang sangat susah
diakses. Asimetri informasi inilah yang memungkinkan pemda memiliki ruang untuk
korupsi. Korupsi terjadi ketika akses dan sumber informasi ditutup rapat.
Itulah nasib sebuah negara dan daerah yang telah menjalankan resep liberalisasi
pasar. Dengan kondisi carut-marut seperti ini, apa yang harus kita lakukan?

Tambang bukan solusi

Saya kira tambang bukan solusi membangun ekonomi NTT ke depan. Tambang tidak
dapat memberdayakan partisipasi warga lokal. Partisipasi warga lokal ini,
menurut hemat penulis, menutut pemerintah untuk memahami lebih bijaksana arti
demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi dibangun berdasarkan prinsip subsidiaritas
dan solidaritas. Subsidiaritas artinya pemerintah memiliki kewajiban membantu
masyarakat lemah, jika mereka tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup. Sementara
apa yang dapat dikerjakan masyarakat tidak boleh diintervensi pemerintah.

Demokrasi ekonomi ini menuntut pemerintah untuk responsif bahwa membangun
daerah NTT bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi
tanggung jawab bersama. Cara seperti apa? Partisipasi warga akan terealisasi
jika pemerintah memiliki kehendak politik menggerakkan ekonomi mikro-kecil.
Gerakan ekonomi mikro-kecil harus dibangun mulai dari pembangunan infrastruktur
publik agar memudahkan rakyat mengakses ke pasar. Lebih jauh lagi, rakyat harus
diupayakan untuk dapat mengakses ke sumber dana (bank) agar dapat mengembangkan
usaha.

Dengan gerakan seperti itu, pertumbuhan ekspor NTT ke depan bisa meningkat,
budaya saving dan income masyarakat pun terus meningkat. Semuanya itu akan
berjalan jika ditopang dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Gerakan ekonomi sektor riil ini sudah dikembangkan di
negara-negara maju, seperti Jerman. Di Jerman, pemerintahnya sekarang mulai
menggerakkan Mittelstand. Mittelstand adalah gerakan pembangunan sektor riil,
seperti industri manufaktur dan industri kecil lainnya. Gerakan seperti ini
semakin mengokohkan Jerman menjadi negara paling sukses menerapkan Ekonomi
Pasar Sosial (EPS).

Akhirnya tulisan ini ditujukan kepada publik di NTT, agar lebih cermat dan
kritis memahami tulisan Ignas K Lidjang. Tambang bukan sebuah berkah bagi
rakyat miskin, tetapi lebih sebagai kutukan. *

Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
& Penekun Masalah Neoliberalisme

Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.