Depletion Premium In Oil and Gas industries

 Depletion Premium didalam pengelolaan sumber daya migas di Indonesia
Oleh : Arif Eka Rahmanto

Depletion premium adalah biaya penggunaan sumber daya tidak terbarukan yang digunakan sebagai investasi untuk mengganti sumber daya yang telah digunakan yang nilainya sebanding di masa mendatang. Penerapan depletion premium dalam sistem Kontrak Kerjasama adalah menyisihkan DP langsung dari pendapatan lifting migas.

Definisi menurut( Arsegianto,2009) : User’s cost ini disebut juga depletion premium. Depletion premium dikelola oleh pemerintah atas nama generasi yang akan datang dan digunakan untuk membiayai usaha mengganti minyak yang diambil hari ini misalnya dengan melakukan eksplorasi untuk mendapat cadangan baru, atau penelitian dan pengembangan pengganti minyak seperti bio-disel, tenaga matahari dan sebagainya. Depletion Premium sangat di pengaruhi oleh perbedaan Inflasi dan MAAR

Di Indonesia penentuan harga minyak dan gas bumi telah menerapkan depletion premium di setiap analisis keekonomian proyek ekploitasi minyak dan gas bumi, selain akan menjamin keberlangsungan ketersediaan energi (sustainibility) juga membangunan ketahanan di sektor energi di masa yang akan datang. Sehingga generasi di masa yang akan datang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan pengganti sumber daya alam yang saat ini diambil
Pada saat ini dan sebelumnya Indonesia telah menerapkan konsep tersebut (Depletion Premium) terutama pada penerapan system kontrak Kerja Sama atau PSC di bidang Gas, sedangkan dibidang Minyak bumi atau oil penerapan Depletion Premium tersebut dilakukan dengan pembayaran dimuka.  Dalam PSC kontrak dikenal juga FTP First Trench Petroleoum yang merupakan persamaan dari Depletion Premium, dalam kontrak di dunia MIGAS Indonesia.
Selain itu juga Depletion Premium juga akan di terapkan untuk kebijakan dana ketahanan ENERGY Indonesia.  Adapun dana Ketahanan ini menjadi uasan yang harus di pertimbangkan dari berbagai aspek, Kami mengambil tulisan dari  media kompas terkait pembahasan tersebut :

DR. Pri Agung Rakhmanto  ; 

Kompas ; Rabu  30  Desember 2015
Pekan lalu, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar. Harga premium turun dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter dan solar turun dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950.
Harga baru ini mulai diberlakukan pada 5 Januari 2016. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya Rp 6.950/liter, sedangkan solar Rp 5.650/liter. Namun, untuk kepentingan pengembangan energi terbarukan, pemerintah menambah Rp 200/liter pada harga premium dan Rp 300/liter pada harga solar. Dana Rp 200/liter dan Rp 300/liter yang diambil dari harga premium dan solar ini diklaim merupakan dana ketahanan energi.

Dasar hukum lemah

Gagasan tentang dana ketahanan energi seperti yang dicetuskan Menteri ESDM pada dasarnya baik. Namun, untuk mengimplementasikannya menjadi kebijakan resmi, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu harus memiliki pijakan dasar hukum yang kuat dan jelas.
Saya menilai rujukan peraturan yang digunakan pemerintah dalam menerapkan kebijakan dana ketahanan energi ini, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tidak cukup kuat. Pasal 30 Ayat 1, 2, dan 3 UU No 30/2007 memang menyebut tentang dana untuk penelitian pengembangan energi. Namun, untuk pengaturan lebih lanjut tentang itu, pada Ayat 4 disebutkan, diperlukan PP. Dalam konteks ini, PP yang dimaksud adalah PP tentang pendanaan kegiatan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi, yang mungkin dalam konteks kebijakan dana ketahanan energi bisa menjadi lebih relevan.
Dengan demikian, PP No 79/2014 bukan aturan pelaksana yang dimaksud Pasal 30 UU No 30/2007. PP No 79/2014 memang menyebut tentang adanya premi pengurasan (depletion premium)energi fosil yang dapat diperuntukkan bagi kegiatan eksplorasi migas, selain bagi pengembangan energi baru terbarukan, sumber daya manusia, penelitian pengembangan, dan infrastruktur. Namun, PP itu tak secara spesifik mengatur bahwa premi pengurasan itu diambil dari sebagian harga bahan bakar minyak (BBM) seperti yang diterapkan pemerintah dalam kebijakannya saat ini.
Dengan kata lain, saya berpendapat bahwa PP No 79/2014 ini pun tidak cukup kuat sebagai landasan hukum untuk ”memungut” dana ketahanan energi dari harga BBM yang diberlakukan di masyarakat.
Premi pengurasan

Secara konseptual, premi pengurasan pada dasarnya adalah sejumlah nilai ekonomi tertentu yang dikenakan pada aktivitas pendayagunaan suatu sumber daya (energi) yang tidak terbarui. Tujuannya adalah untuk menjaga ketersediaan sumber daya energi (tersebut) selama mungkin atau juga untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan energi lain dalam arti yang lebih luas.
Dalam praktiknya, sebagaimana diterapkan di banyak negara, hal ini dapat secara langsung diambilkan dari sebagian penerimaan yang diperoleh dari pendayagunaan sumber energi nonterbarukan atau dapat juga dikenakan dalam bentuk pajak yang dimasukkan sebagai salah satu komponen harga energi. Dalam konteks Indonesia, kedua cara ini pada dasarnya sama-sama dapat diterapkan.
Pemerintah—melalui instrumen APBN, dengan persetujuan DPR tentunya—dapat secara langsung menyisihkan sebagian penerimaan negara (penerimaan negara bukan pajak/PNBP) yang diperoleh dari pengusahaan energi nonterbarukan, seperti migas atau batubara. Pemerintah melalui instrumen pajak juga dapat menetapkan pajak premi pengurasan sejumlah tertentu pada harga energi yang diberlakukan kepada masyarakat. Sesuai filosofinya, hasil penyisihan sebagian PNBP energi nonterbarukan atau pajak tersebut harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi penyediaan energi nasional secara berkelanjutan.
Untuk menerapkan salah satu atau keduanya di Indonesia, tetap terlebih dahulu harus ada dasar hukum yang kuat dan jelas, yang secara khusus mengatur tentang bagaimana premi pengurasan itu akan diterapkan, bagaimana mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, dan pertanggungjawabannya. Saran sederhana saya, dasar hukum yang kuat dan jelas mesti ada dulu, baru kebijakan dana ketahanan energi diterapkan.
Satu hal yang mungkin dapat menjadi pertimbangan bagi perekonomian nasional, yang saat ini tengah memerlukan stimulus, cara menyisihkan sebagian PNBP energi nonterbarukan secara langsung melalui mekanisme APBN mungkin akan lebih baik dibandingkan memberi ”beban” tambahan kepada masyarakat dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Jadi, kiranya tidak ada salahnya jika kebijakan dana ketahanan energi yang akan dijalankan saat ini ditinjau ulang dan dikaji kembali lebih mendalam.

Dalam ulasan artikel tersebut Depletion premium pada Indonesia yaitu dana ketahanan energi  telah Ditetapkan oleh  Menteri ESDM sebagai beban masyarakat kelas ekonomi menengah – bawah. Dikarenakan hanya bertumpu pada premium dan Solar bersubsidi.  Berdasarkan pemaparan diatas maka , Indonesia telah menetapkan system ini yaitu :
1.      PSC dengan penambahan FTP secara langsung ataupun terpisah, ini sangat baik untuk penerimaan pemerintah;
2.      DANA KETAHANA ENERGY, secara langsung impact yang di rasakan pada masyarakat menengah –kebawah, alangkah lebih baik di pertimbangan kan kembali dengan menaruh dana ketahanan energy ini pada komponen pajak( kendaraan bermotor pribadi), retribusi ijin usaha industry (semacam iuran pertahun tergantung skala industrinya dan komponen energy yang digunakan) dan atau dimasukan dalam komponen CSR perusahaan sebagai kompensasi penggunaan energy untuk menghasikan barang atau jasa. 



Pemikiran tentang :

0 Tanggapan Teman ?:

Posting Komentar

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.