JOHN PERKINS: 4 CARA SUAP RESMI DI INDONESIA
Dalam Confessions of Economic Hit Man, aku menggambarkan hubunganku pada
akhir 1980-an dan 1990-an dengan Stone and Webster Company (SWEC), yang
pada saat itu merupakan firma konstruksi dan konsultan paling terhormat
dan terbesar di AS. SWEC akan memberiku sekitar setengah juta dolar
asalkan aku menghentikan penulisan buku tentang kehidupanku sebagai
Bandit Ekonomi. Sesekali, perusahaan tersebut meminta aku benar-benar
mengabdi kepada mereka.
Suatu hari pada tahun 1995, seorang petinggi SWEC menelepon untuk
meminta bertemu denganku. Sambil makan siang, ia membahas proyek
pembangunan kompleks pemrosesan bahan kimia di Indonesia. Ia berusaha
meyakinkanku bahwa pembangunan itu akan menjadi salah satu proyek
terbesar sepanjang seabad sejarah perusahaan. Nilainya tak kurang dari 1
Milyar dolar. “Aku bertekad mewujudkan proyek ini,” katanya dan
kemudian, sambil melirihkan suaranya, ia mengaku, “tapi aku tak bisa
melakukannya sebelum menemukan cara membayar salah seorang anggota
keluarga Soeharto sebesar 150 juta dolar.”
“Suap,” jawabku.
Ia mengangguk. “Anda pernah tinggal lama di Indonesia. Tolong
beritahukan kepadaku bagaimana mewujudkannya.”
Aku katakan ada empat cara memberi “suap resmi”.
SWEC bisa menyewa buldozer, mesin derek, truk, dan peralatan berat
lainnya dari perusahaan milik keluarga Soeharto dan kroninya dengan
harga yang lebih tinggi dari harga normal
Cara kedua dengan mengalihkan kontrak beberapa proyek kepada perusahaan
milik keluarga tersebut dengan harga tinggi
Ketiga, menggunakan cara serupa untuk memenuhi kebutuhan makanan,
perumahan, mobil, bahan bakar dan kebutuhan lainnya
Dan keempat, mereka bisa menawarkan diri untuk memasukan putra-putri
para kroni orang Indonesia itu ke kampus-kampus prestisius AS,
menanggung biaya mereka, dan menggaji mereka setara dengan konsultan dan
pegawai perusahaan ketika berada di AS
Meski tahu bahwa barangkali dibutuhkan keempat pendekatan di atas
sekaligus, dan butuh waktu beberapa tahun untuk mengatur uang sebanyak
itu, aku meyakinkan dirinya bahwa aku sudah menyaksikan keberhasilan
siasat semacam ini, dan bahwa perusahaan dan eksekutif AS yang
melakukannya tak pernah terseret hukum. Aku sarankan juga agar ia
memikirkan usulan menyewa geisha untuk memuluskan rencana.
“Geisha,” katanya sambil menyerangi culas, “itu saja pekerjaan sulit.”
Selain itu, ia mengaku prihatin karena anak buah Soeharto meminta “uang
di muka secara terang-terangan.”
Harus aku akui, aku tidak tahu bagaimana menyediakan uang tunai sebanyak
itu “di muka”. Setidaknya secara ilegal.
Ia berterimakasih kepadaku, dan aku tak mendengar kabar lebih jauh darinya.
Pada 15 Maret 2006, The Boston Globe memuat tajuk berikut ini dalam
halaman depan segmen bisnisnya : MEMO SUAP DAN BANGKRUTNYA STONE &
WEBSTER. Artikel itu membeberkan kisah tragis bagaimana perusahaan yang
berdiri tahun 1889 dan memiliki sejarah cemerlang itu ambruk dan
mencatatkan kebangkrutannya pada tahun 2000. Ujung-ujungnya perusahaan
ini diakuisisi Shaw Group. Menurut Globe “lebih dari 1.000 karyawan di
PHK, dan tabungan mereka dalam bentuk saham Stone & Webster lenyap.”
Wartawan Globe, Steve Bailey menyimpulkan bahwa keruntuhan tersebut
berpangkal pada “Memo kritis (yang) membeberkan suatu usaha rahasia
perusahaan secara detail. Yakni, membayar suap senilai 147 juta dolar
kepada seorang kerabat Presiden Soeharto untuk mengamankan kontrak
terbesar sepanjang sejarah Stone & Webster.
Insiden kedua bermula dengan email yang aku terima dari putra seorang
pejabat pemerintah Indonesia yang pernah mempekerjakanku pada tahun
1970-an. Ia meminta bertemu denganku.
Emil (bukan nama sebenarnya) bertemu denganku di sebuah restoran Tailand
yang tenang di Upper West Side New York. Ia mengaku terkesan dengan
bukuku, Confessions of Economic Hit Man. Ayahnya mengenalkan padaku di
Jakarta saat usianya kira-kira sepuluh tahun. Seingatnya ia sering
mendengar namaku. Ia mengaku mafhum bahwa ayahnya adalah salah seorang
pejabat korup yang aku gambarkan dalam buku itu. Lalu, sambil menatap
lurus ke mataku, ia mengaku telah mengikuti jejak ayahnya. “Aku ingin
bertobat,” katanya. “Aku ingin mengaku seperti Anda.” Ia tersenyum
lembut. “Tapi aku mempunyai keluarga dan akan kehilangan banyak hal. Aku
yakin Anda mengerti maksudku.”
Aku meyakinkannya bahwa aku tak akan memberitahukan namanya atau apa
saja yang bisa membuat identitasnya terbongkar.
Kisah Emil sesungguhnya membuka pikiran kami. Ia menegaskan bahwa
militer Indonesia memiliki sejarah panjang mengumpulkan uang dari sektor
swasta untuk membiayai kegiatan-kegiatanny a. Dia mencoba menganggap
enteng hal ini, mengabaikannya dengan tawa, karena sepengetahuannya, hal
semacam itu sudah biasa di negara Dunia Ketiga. Lalu ia menjadi serius.
“Sejak lengsernya Soeharto 1998, segalanya bahkan kian buruk. Soeharto
benar-benar diktator militer yang bertekad tetap mengendalikkan angkatan
bersenjata. Begitu kekuasaan berakhir, banyak tokoh Indonesia yang
berusaha mengubah hukum agar kedudukan sipil bisa lebih tinggi dibanding
militer, tapi sia-sia. Mereka pikir dengan mengurangi anggaran militer,
tujuan akan tercapai. Tapi para jenderal tahu kemana mereka harus
meminta bantuan: perusahaan-perusaha an pertambangan dan energi asing.”
Aku katakan kepada Emil bahwa ucapannya mengingatkanku pada kondisi di
Kolombia, Nigeria, Nikaragua, dan banyak negara lain. Di negara-negara
itu, milisi swasta digunakan untuk menambah angkatan bersenjata nasional.
Emil mengiyakan. ” Di Indonesia pun banyak tentara bayaran. Tapi yang
aku ceritakan ini lebih buruk. Dalam beberapa tahun terakhir angkatan
bersenjata kami dibeli oleh korporasi-korporasi asing. Dampaknya
menakutkan karena, seperti Anda lihat, sekarang korporasi memiliki
angatan bersenjata sekaligus sumber daya alam kami.”
Saat aku bertanya mengapa ia membeberkan informasi ini, ia menoleh dan
memandang lalu lintas jalanan dari jendela restoran. Akhirnya ia kembali
menatapku. “Aku seorang kolaborator. Korupsi yang aku lalukan bahkan
lebih parah kalau dibandingkan ayahku. Aku satu diantara orang yang
mengatur, mengumpulkan uang dari perusahaan, dan menyerahkan kepada
militer. Aku malu. Yang bisa aku lakukan hanya berbicara dengan Anda dan
berharap Anda memberitahukannya kepada dunia.”
Berminggu-minggu setelah pertemuan itu, sebuah artikel di website The
New York Time menggelitik sanubariku. Tulisan itu merinci kegiatan
sebuah perusahaan yang berbasis di New Orleans, Freeport-McMoRan Copper
and Gold. Mereka “membayar 20 juta dolar untuk para komandan dan unit
militer di kawasan tersebut (Papua) selama tujuh tahun terakhir sebagai
imbalan perlindungan terhadap berbagai fasilitas mereka di sana.”
Selanjutnya ditegaskan, “Hanya sepertiga dana untuk angkatan bersenjata
Indonesia yang berasal dari anggaran negara. Selebihnya dikumpulkan dari
sumber “tak resmi” sebagai “biaya perlindungan”, sehingga administrasi
militer bisa berjalan mandiri, terpisah dari kontrol keuangan pemerintah.
Artikel tersebut mengantarkanku kepada dua artikel lainnya yang pernah
muncul di website The Times pada September 2004. Keduanya
mendeskripsikan dua kejadian baru-baru ini di tempat aku dahulu bermain,
Sulawesi, selain mendokumentasikan dugaan bahwa perusahaan penghasil
emas terbesar dunia, Newmont Mining Corp., yang berbasis di Denver,
membuang arsenik dan merkuri secara ilegal ke lautan di Teluk Buyat.
Saat membaca, aku teringat pekerjaanku- jaringan listrik, jalanan,
pelabuhan, dan infrastruktur lainya yang didanai Bandit Ekonomi dan
dibangun kembali pada 1970-an. Semua itu menciptakan kondisi yang
memungkinkan Newmont menjalankan aktivitas penambangan sekaligus
meracuni laut. Sebagaimana ditegaskan manajer proyekku, Charlie
Illingworth, pada kunjungan pertamaku, kami dikirim ke Indonesia untuk
memastikan perusahaan minyak mendapatkan apa saja yang mereka perlukan.
Tapi sebentar kemudian aku paham bahwa misi kami tidak sebatas itu.
Sulawesi menjadi contoh utama bagaimana uang “bantuan” memberi
keuntungan pada perusahaan multinasional.
The Times menunjukan, “perseteruan dengan Newmont telah menyulut kesan
populer yang menguat bahwa perusahaan pertambangan dan energi
mengendalikan sistem regulasi Indonesia yang lemah. Banyak yang menuding
korupsi, kronisme, dan tidak berkembangnya struktur hukum adalah kondisi
yang diwariskan Jenderal Soeharto, diktator yang lengser pada 1998 dan
yang, demi sejumlah uang, membuka pintu bagi investasi asing.”
Saat menatap artikel-artikel itu, dugaan yang dulu dilontarkan walikota
“Desa Kelelawar” dan orang Bugis pembuat kapal, muncul di layar
komputer. Seolah para rasul yang disebutan kitab suci turun kembali
untuk menghantuiku. AS benar-benar telah mengirim kelelawarnya untuk
mengekspliotasi dan mencemari negeri-negeri asing. Para pelaut dan
kapal-kapal kuno, yang hanya bersenjatakan golok besar, tak punya banyak
peluang untuk mempertahankan negeri mereka dari kekuatan Pentagon, atau
melawan angkatan bersenjata yang menjadi antek perusahaan.
Sumber :
milist : kahmipronetwork@yahoogroups.com
Minggu, November 01, 2009 |
0
Tanggapan Teman ?
Pemikiran tentang :
Pengetahuan Umum
0 Tanggapan Teman ?:
Posting Komentar