Suhu Ekstrim di Riau akibat Kerusakan Lingkungan

Pekanbaru, (Analisa)

Suhu ekstrim yang melanda Provinsi Riau akhir-akhir ini disebabkan
kerusakan lingkungan hidup, seperti pembabatan hutan gambut dan hutan
alam yang memicu pemanasan global.

“Kemarin, suhu udara di Kota Pekanbaru mencapai 37 derajat celcius.
Yang, anehnya, suhu panas itu hanya berlangsung hingga sore hari.
Petang harinya, hujan turun dengan sangat lebatnya,” kata Hariansyah
Usman, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Riau dalam perbincangan dengan Analisa, Senin (18/10).

Pria yang akrab disapa Kaka ini berharap, pemegang kebijakan baik di
provinsi maupun di pemerintah pusat serius mencermati perubahan suhu
udara yang ekstrim ini. Ia meminta Menteri Kehutanan segera meninjau
ulang izin HTI yang telah diberikan kepada perusahaan besar, terutama
di kawasan hutan gambut dan hutan alam.

“Satu-satunya hutan yang masih sangat baik di Indonesia berada di
Riau. Hal itu yang membuat perhatian dunia International kerap
mengarah ke Riau. Harusnya pemerintah memberi perhatian khusus
berbagai persoalan kehutanan di Riau,”tukasnya.

Sementara itu, rilis yang dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Pekanbaru menyebutkan, hasil
monitoring citra satelit awan, analisa streamline, kondisi fisis serta
dinamis atmosfer, pada umumnya cuaca di Riau cerah berawan.

Namun suhu ekstrim dengan maksimum mencapai 35,5 derajat celcius bakal
terjadi di sejumlah wilayah Riau. Pantauan satelite NOAA 18 tanggal 18
Oktober 2010 di Sumatera terdapat 358 titik api, sementara di Riau
terdapat 144 titik api.

Menyikapi suhu ekstrim yang cukup panas itu, Dinas Kesehatan Kota
Pekanbaru mengimbau masyarakat untuk mengurangi aktivitas di luar
rumah karena cuaca panas ini rawan terhadap penyakit infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA), seperti radang tenggorokan, pilek, pusing dan
demam.

“Di suhu yang mencapai 35 derajat celcius, tubuh akan mengalami
dehidrasi atau penguapan yang tinggi. Jika kekurangan air maka tubuh
akan lemas,” kata Dahril Darmis, Kepala Dinas Kesehatan Kota
Pekanbaru.

Selain mengurangi aktivitas di luar rumah, Dahril juga menghimbau
warga Pekanbaru tetap menjaga kesehatan dan banyak meminum air putih
dan mengonsumsi makanan yang menunjang daya tahan tubuh, seperti
buah-buahan dan multivitamin. (dw)

http://analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72684%3Asuhu-ekstrim-di-riau-akibat-kerusakan-lingkungan&catid=3%3Anasional&Itemid=128

Pemikiran tentang :

Kinerja yang jelek

KINERJA PEMERINTAH
Merah, Rapor Pengelolaan Lingkungan



*19.10.10 Jakarta, Kompas *- Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan
pengelolaan sumber daya alam dinilai gagal memenuhi hak rakyat atas
lingkungan yang aman dan sehat. Pengarusutamaan lingkungan telah menjadi
visi pemerintahan, tetapi belum mewujud dalam kebijakan pengelolaan sumber
daya alam.

Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental
Law Rino Subagyo.

*Seharusnya ada perbaikan*

Rino menyatakan, perbaikan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
manusia seharusnya terjadi karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU LH) yang diberlakukan 3
Oktober 2009 telah memperkuat posisi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) guna
menjadi arus utama pembangunan.

”UU LH memperkuat kewenangan KLH melakukan penegakan hukum di bidang
lingkungan hidup. Namun, KLH tidak menunjukkan upaya menjalankan UU LH
secara efektif,” ujar Rino. ”Tak ada upaya KLH untuk berdiri sejajar dengan
kementerian lain untuk mengarusutamakan lingkungan dalam kebijakan
pemerintah,” ujar Rino dalam keterangan pers bersama tujuh organisasi
masyarakat sipil di Jakarta, Senin (18/10).

*Tidak ada peraturan*

Kegagalan pengarusutamaan tersebut, antara lain, disebabkan tidak adanya
peraturan pelaksanaan UU LH.

”UU LH mengamanatkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan 20 kewenangan
KLH harus disahkan pada 3 Oktober 2010. Namun, hingga kini belum ada
peraturan pemerintah yang disahkan,” kata Rino.

Buruknya pengelolaan lingkungan dan penegakan hukum, menurut dia, juga
terlihat dari penanganan kejadian semburan lumpur dari areal konsesi PT
Lapindo Brantas.

*Warga diabaikan*

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Andrie S Wijaya menyatakan,
penanganan lumpur Lapindo oleh pemerintah mengabaikan kewajiban negara
menjamin keselamatan warga negara.

”Penanganan itu tanpa arah yang jelas. Kami mencatat sedikitnya 669 keluarga
dibiarkan hidup di kawasan yang tidak layak huni karena di lokasi hunian
warga itu rawan terjadi semburan lumpur, air, dan gas metana,” kata Andrie.

Dia mengungkapkan, dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam, pemerintah
kian meminggirkan persoalan lingkungan. ”Dalam setahun terakhir, pemerintah
menyetujui penggunaan bagian dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di
Gorontalo dan Taman Nasional Wanggameti di Nusa Tenggara Timur untuk
aktivitas pertambangan. Keselamatan rakyat kian terancam karena pemerintah
lebih memprioritaskan industri skala besar yang rakus lahan dan air,” kata
Andrie.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan M Riza Damanik
menyatakan, kegagalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengelola
lingkungan dan sumber daya alam terlihat dari banyaknya produk peraturan
perundang-undangan yang semakin memarjinalkan rakyat.

”Dalam setahun terakhir ada lima UU yang kami gugat di Mahkamah Konstitusi
karena substansinya bertentangan dengan kepentingan dan keselamatan rakyat,”
kata Damanik.

Dia menyatakan, buruknya kinerja pemerintah dalam pengelolaan lingkungan dan
sumber daya alam merupakan kontribusi lima kementerian. ”Jika Presiden ingin
membuat perubahan nyata, Presiden harus berani mengganti Menteri Lingkungan
Hidup, Menteri Kehutanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri
Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Pertanian,” ujar Damanik. (ROW)


sumber :
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/19/05272229/merah.rapor.pengelolaan.lingkungan

Pemikiran tentang :

Kerusakan Hutan Indonesia Semakin Parah

Palembang (ANTARA News)
Tingkat kerusakan hutan Indonesia semakin parah, kata Zulfahmi, juru bicara
pecinta lingkungan Greenpeace pada talkshow di kawasan hijau Kambang Iwak
Palembang, Sabtu.

Dia mengungkapkan, keseluruhan setiap tahun 1,8 juta hektare (ha) hutan
Indonesia terdekradasi akibat penebangan hutan sekala besar.

Wilayah Sumatera, berdasarkan pantauan Greenpeace dari udara dalam tiga
bulan terakhir, hampir setiap tempat ada kegiatan penebangan hutam dalam
skala besar, katanya.

Greenpeace tidak tahu pasti apakah penebangan hutan itu legal atau melawan
hukum.

Ia mencontohkan, kawasan gambut dengan kedalaman tiga meter lebih apabila
dikonversi merupakan praktik melawan hukum.

Greenpeace menyayangkan, pemerintah tidak menindak satu pun pelanggar
penggundulan hutan di Indonesia.

Pada 2008-2009 pemerintah malah memberikan izin pengelolaan hutan secara
besar-besaran.

Sementara itu Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat yang juga
narasumser dalam talkshow itu mengungkapkan, praktik pengelolaan hutan
tanaman industri (HTI) dan konversi hutan alam menjadi suatu perkebunan,
sudah di luar ambang batas.

"Sebagai bukti, dari 3,7 juta hektare hutan di Sumsel atau 3,4 persen dari
luas hutan di Indonesia, sudah mulai menipis. Hal itu disertai dengan
peningkatan bencana alam yang menimpa di daerah tersebut, baik tanah longsor
dan banjir," katanya. (*)

http://www.antaranews.com/berita/1287228332/kerusakan-hutan-indonesia-semakin-parah

Pemikiran tentang :

Mengapa Alam Tidak Pernah Bersahabat dengan Kita?

Oleh : Jonson BS Rajagukguk

analisadaily.com* Murka alam seringkali terjadi sama kita.
Peringatan ini memberikan kita sebuah pesan seolah-olah alam ingin
memberikan permusuhan abadi.

Kapankah bangsa ini sadar arti kelestarian alam dan sadar akan keseimbangan
lingkungan hidup sebagai tempat kita hidup? Mengapa eksploitasi alam sering
terjadi berlebihan, sementara pada saat yang bersamaan hasil eksploitasi
alam yang berlebihan itu belum juga bisa menolong masyarakat dari jerat
kemiskinan yang terus menghantui masyarakat kita dewasa ini.

Apa yang terjadi di Wasior Papua Barat patut menjadi sebuah permenungan
khusus bagi kita. Ini adalah sebuah malapetaka yang sangat besar dengan
jumlah korban jiwa yang sangat besar. Lebih dari 150 0rang tewas yang masih
terdata, dan bahkan masih banyak yang hilang dan masih dalam pencarian.

Setidaknya, apa yang bisa kita maknai dari tragedi yang sangat memilukan
ini? Haruskah dengan alasan ekonomi bumi Papua terus dieksploitasi secara
berlebihan untuk kepentingan pihak tertentu saja?

Isu Nasional

Selama ini permasalahan di Propinsi Papua sering menjadi isu nasional.
Munculnya gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menginginkan bumi
Cenderawasih merdeka dan lepas dari NKRI adalah persoalan nasional yang
sudah sampai ke dunia internasional.

Tuntutan mereka tentu bukan hal asing lagi. Mereka menginginkan pembangunan
dapat berjalan di Papua. Mereka juga mengklaim bahwa di bumi Papua yang kaya
dengan sumber daya alam (SDA) tetapi masyarakatnya sangat miskin. Kondisi
ini tentu menjadi sebuah problematika bagi bangsa Indonesia.

Bahkan kita mengetahui dengan jelas di Papua banyak tambang emas dan
mineral. Siapapun tahu bahwa PT. Freeport adalah perusahaan raksasa yang
melakukan penambangan emas di Timika, tetapi kondisi masyarakat Timika jauh
dari hidup sejahtera karena berbagai hal yang secara politis tersangkut
dengan kebijakan pemerintah pusar.

Kita dapat melihat limbah PT. Freeport sering menjadi persoalan di Timika.
Protes pun sering terjadi yang berujung pada konflik antara pengusaha dengan
masyarakat lokal. Sudah pasti aparat kemanan lebih mengutamakan pengamanan
tambang yang mempunya aset yang sangat besar dan berharga.

SDA yang kaya tetapi masyarakat miskin adalah dua variabel yang sangat
bertolak belakang. Mengapa bisa terjadi demikian? Selama 32 tahun roda
pemerintahan orde baru dilakukan dengan pola sentralistik. Aspirasi
masyarakat daerah seringkali diabaikan oleh pemerintahan pusat. Akibatnya
paradigma pembangunan berbasis warga tidak jalan sebagaimana mestinya.

Pengusaha dan pemerintah daerah dengan dibantu oleh aparat kemanan melakukan
dominasi sumber daya alam di suatu daerah. Termasuk Papua. Akibatnya
perlawanan-perlawanan politik pun muncul di berbagai daerah. Mereka
membentuk sebuah wadah perkumpulan untuk memberikan perlawanan. Akibatnya
semua terakumulasi dalam bentuk gerakan perlawanan fisik kepada pemerintah.

Selanjutnya pemerintah mengklaim mereka dengan sebutan separatis dan
organisasi yang ingin melakukan makar. Kalau dianalisa dengan cermat, kalau
memang kue pembangunan jalan dengan adil dan merata serta hidup masyarakat
sejahtera, apakah mungkin ada perlawanan kepada pemerintah pusat.

Jujur saja, eksistensi OPM, GAM, RMS, dan organisasi lainnya karena mereka
menghembuskan isu populis tentang konsep pembangunan yang adil dan merata.
Mereka secara psikologis mendukung perlawanan tersebut. Seharusnya
pemerintah bisa melihat fenomena ini.

Menumpas organisasi seperti Papua Merdeka, dan RMS cara yang paling jitu dan
bagus adalah memberikan kue pembangunan yang adil. Kalau masyarakat daerah
disejahterakan siapa yang mau capek-capek berperang dan melakukan
perlawanan?

Poin ini perlu digarisbawahi pemerintah. Mengingat akar persoalan daerah dan
pusat selama ini adalah dominasi pusat pada sumber daya alam (SDA) yang ada
di daeah. Banyak daerah yang potensi SDA melimpah tetapi tidak bisa
dinikmati karena kebijakan yang salah. Di Papua kondisi masyarakatnya sangat
memprihatinkan kita semua. Angka kemiskinan sangat tinggi. SDA mulai dari
tambang, hutan, emas, minyak dan lain sebagainya sudah saatnya
didistribusikan pada masyarakatnya dalam bentuk program pembangunan dengan
perbaikan kualitas infrastruktur dan suprastruktur yang memadai, kesehatan,
pendidikan.

Dengan demikian pemerataan pembangunan berbasis warga Papua dapat tercapai
dengan baik.

Eksploitasi Alam

Kondisi yang terjadi justru terbalik. Banyak pengusaha yang melakukan
eksploitasi alam kepada masyarakat Papua. Mulai dari pembalakan liar,
penjarahan hutan, eksploitasi batubara yang semuanya tidak bisa diantisipasi
oleh pemerintah.

Apa yang dilakukan oleh pengusaha dengan mengeksploitasi alam Papua tanpa
pernah berpikir tentang konsep lingkungan hidup yang baik, keseimbangan alam
yang baik membuat bumi Papua mengalai degradasi lingkungan yang sangat
hebat. Akibatnya ketika terjadi bencana alam seperti tragedi Wasior yang
menderita adalah masyarakat Wasior juga.

Mengapa sampai terjadi demikian? Setidaknya pesan banjir ini memberikan kita
peringatan bahwa alam sering kita telantarkan tanpa pernah berpikir
memperbaiki lagi. Orientasi ekonomi yang memberikan keuntungan sementara
kalah terhadap orientasi alam jangka panjang.

Coba kita lihat analisis Institut Hijau Indonesia (IHI) yang memprediksi
bencana ekologis di tanah Papua Barat akan terjadi silih berganti, apabila
perusahaan pemilik izin pengolahan hutan terus mengeksploitasi hutan. Ketua
IHI Chalid Muhammad saat jumpa pers di kantor IHI, Jalan Komplek Bumi Asri
Liga Mas, Perdatam, Jakarta Selatan, Jumat (8/10/2010) mengatakan, bencana
Wasior masuk dalam kategori bencana ekologis.

"Faktor penyebab deforestasi ada kegiatan pertambangan mineral, batubara,
minyak dan gas yang berlangsung beberapa tahun terakhir. Ini membuat
pergerakan tanah di Papua semakin cepat," katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, Wasior merupakan Ibu Kota Teluk Wondama yang
dibangun di dataran rendah. Sebagian wilayahnya rawa dan kebun sagu yang
telah dialihfungsikan. "Di bagian hulu Wasior terdapat eksploitasi hutan
baik oleh Pemegang Penguasaan Hutan (HPH) maupun kegiatan ilegal loging,"
terangnya.

IHI mencatat, pemerintah pusat memberikan izin pengolahan lahan bagi 20
perusahaan HPH sebesar 3.568.080 hektare di Papua Barat. 16 Perusahaan
tambang mineral dan batubara mengantongi izin untuk eksplorasi dan
eksploitasi seluas 2.701.283 hektare, sedangkan 13 pertambangan migas
mendapat izin konsesi 7.164.417 hektare, perusahaan perkebunan mendapat
konsesi seluas 219.021 hektare.

Sementara itu pengkampanye air dan pangan Walhi M Islah mengatakan, konflik
sosial dan bencana alam di Wasior akibat dari kebijakan terhadap hutan
sekira 10 tahun lalu. Yang menjadi korban, masyarakat yang tinggal di Papua.

Saatnya pemerintah sebagai pengambil kebijakan bertindak tegas terhadap para
perambah hutan dan penambang liar yang tidak mau memperhatikan kelestarian
lingkungan hidup. Eksploitasi alam yang berlebihan hanya akan merusak
lingkungan hidup dan membuat kita sengsara.

Wasior adalah kejadian yang kesekian kalinya. Sudah banyak bencana yang
terjadi, tetapi kita belum juga sadar akan pentingnya menjaga kelsetraian
alam. Mari bersahabat dengan alam sebagai tempat kita dan anak cucu kita
selamanya. ***

*Penulis adalah: Dosen Sosiologi Ekonomi dan Sospol STIE IBBI dan STMIK IBBI
Medan/ Mahasiswa Pascasarjana S2 MAP UMA Medan*

sumber :

Pemikiran tentang :

Pulau buntal......

Nasib Pulau Buntal di Nongsa Kian Memilukan
Berita Utama
Selasa, 12 Oktober 2010 08:50
Terancam Hilang Akibat Penambangan Pasir Ilegal

Warga Kampung Terih, Sambau, Nongsa mengkhawatirkan Pulau Buntal yang lokasinya tak jauh dari pemukiman mereka akan hilang. Pasalnya, banyak penambang pasir ilegal yang terus menyedoti pasir di sana.

A.TAHER-EVI R, Batam
---

Meski tak berpenghuni, pulau yang punya luas sekitar 2,5 hektar tersebut, saat ini nasibnya kian memilikan saja. Penyebabnya tak lain karena penambang pasir ilegal itu melakukannya di Sei Lelai kawasan Pulau Buntal.

“Dulu di pulau itu banyak ditumbuhi kelapa dan bakau, sekarang sudah hancur dan tinggal sebesar lapangan bola saja,” ujar Suparman, Ketua Rukun Nelayan Sambau yang biasa mondar-mandir mencari ikan di sekitar Pulau Buntal.

Bahkan kata dia, dahulu para nelayan Sambau sering pergi menangkap kepiting dan kerang di sekitar pulau itu. Seiring pesatnya pembangunan kota-kota seperti di Batam dan sekitarnya, para penambang pasir ilegal mencium kalau di pulau itu banyak terkandung pasir yang bagus.

Sehingga yang terjadi hampir setiap hari para penambang ilegal yang rata-rata berasal dari Batam dengan mengenakan kapal dompeng, menyedot pasir pulau Buntal. Aksi itu sudah berlangsung sejak lama.

“Kita sebetulnya sudah pernah lapor ke kelurahan, kalau di pulau Buntal ada penyedotan pasir. Tapi hingga kini tak pernah digubris,” ujarnya lagi.

Ia berharap pemerintah Batam secepatnya menertibkan para penambang ilegal tersebut. Sebab tidak hanya berdampak pada berkurangnya pendapatan para nelayan, kondisi itu sudah merusak lingkungan di sekitar areal tangkapan ikan mereka, sebab air semakin keruh saja.

“Cepat atau lambat kita akan menyaksikan hilangnya Pulau Buntal itu. Kepada Pemko kami berharap agar serius menangani penambangan ilegal itu,” tukasnya.

Suparman menyebut, aktivitas penambangan pasir ilegal di pulau Buntal telah berlangsung awal 2009 lalu. Cukup tragis dan memilukan, pasalnya hingga detik ini tidak ada tindakan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum di Kota Batam.

Bahkan oknum keamanan sendiri juga ikut terlibat dalam aksi perusakan pulau itu dengan menjadi backing para cukong pasir. Kini pulau Buntal yang dahulunya kaya akan habitat laut, seperti kerang, kepiting dan ikan tinggal kenangan.

Karena sudah pernah melaporkan ke instansi terkait seperti kelurahan dan tak digubris. Para nelayan kata Suparman juga sempat melaporkan ke Bapedalda Pemko Batam. Tapi lagi-lagi tak pernah digubris. Ia sangat menyayangkan ketakpedulian pemerintah itu.

Sebab di tengah gencarnya masyarakat dunia melestarikan hutan mangrove untuk mencegah pemanasan global. Justru yang terjadi di sana malah sebaliknya. Tidak tanggung-tanggung, pulau yang tercatat di peta Republik Indonesia itu-pun kini tinggal menghitung hari saja nasibnya.

Pantauan Batam Pos di pulau itu, Senin (11/10) kemarin, kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Pulau Buntal itu cukup memilukan. Banyak terdapat kubangan raksasa akibat penyedotan pasir di sana. Hutan bakau sebagai penyangga ekosistem di laut pun kini hancur tak tersisa.

Bunyi suara mesin dompeng di pulau itu riuh rendah meraung-raung bak orang sedang kelaparan. Tak tanggung-tanggun, pulau itu kini telah terbelah menjadi dua bagian. Awalnya kata Suparman, pulau itu dibelah menggunakan beko. Selanjutnya selang-selang mesin dompeng yang panjangnya mencapai ratusan meter diletakkan di sekeliling pulau.

Dari segala sisi itulah para penambang pasir menjarah pasir pulau Buntal. Melalui pipa yang dipasang, penambang ilegal itu mengalirkan hasil sedotannya ke daratan yang ada di pulau Batam. Di sana puluhan truk siap mengangkut pasir hitam tersebut ke tempat penampungan. Dari perkiraan Suparman, jutaan kubik pasir di Pulau Buntal telah disedot.

“Sebetulnya itu anak pulau Buntal, pulau Buntal sendiri sudah duluan habis disedot. Tapi orang tetap bilang itu pulau Buntal,” jelasnya.

Bapedal: Itu Ilegal

Sementara itum Kepala Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal) Kota Batam, Dendy Purnomo mengatakan sebelumnya, pihaknya tidak mengetahui aktifitas penambangan pasir di Pulau Buntal. Namun Dendi memastikan aktivitas penambangan pair di wilayah tersebut ilegal.

Menurut Dendy pihaknya telah mengecek lokasi tersebut. Bapedalda sendiri telah mengantongi nama pelaku penambangan pasir ilegal tersebut. “Akan kita panggil,” katanya.

Meski tak berpenghuni, pulau yang punya luas sekitar 2,5 hektar tersebut, saat ini semakin menyusut. Warga pun seringkali mengeluh pada kelurahan dan Kecamatan setempat namun tidak digubris.

Kepala Badan Pertanahan Daerah (BPD) Kota Batam, Buralimar mengaku akan mengecek ke kawasan tersebut. Pihaknya tidak mengetahui ada aktivitas penambangan pasir ilegal di kawasan tersebut. “Kita akan cek apakah pulau tersebut masuk kedalam 328 pulau yang ada di Batam,” katanya.

Terkait laporan warga, Buralimar juga mengaku tidak mengetahuinya. Pasalnya baik pihak kelurahan ataupun kecamatan tidak pernah memberikan tembusan atau memberitahu perihal tersebut. “Kalau kita diberi tahu pasti langsung kita cek,” paparnya.

Tidak hanya di Pulau Buntal, aktivitas penambangan pasir ilegal di tempat lain di Batam ternyata masih berjalan. Saat ini, Bapedal Batam menemukan 30 persen aktivitas tersebut masih dilakukan. Tambang pasir yang masih beroperasi tersebut dilakukan sembunyi-sembunyi. ***

Pemikiran tentang :

Hutan Desa??????

Jambi Segera Miliki Hutan Desa Terluas di Indonesia


TEMPO Interaktif*, *J*ambi – Provinsi Jambi dalam waktu dekat ini
akan memiliki hutan desa terluas di Indonesia. Warga masyarakat 17 desa di
lima kecamatan, Kabupaten Merangin, Jambi, lewat tiga lembaga swadaya
masyarakat, tengah mengusulkan 49.514 hektare untuk dijadikan hutan desa.
Usulan ini sudah diverifikasi pihak Kementrian Kehutanan, dan tinggal
menunggu izinnya keluar.


Hutan tersebut, merupakan kawasan hutan produksi masuk dalam areal penyangga
Taman Nasional Kerinci Sebelat. “Upaya ini kita lakukan untuk memberi
kesempatan kepada masyarakat desa sekitar hutan untuk mengolah sendiri lahan
itu,”, kata Arif Munandar, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Jambi, Senin (11/10).

Lahan ini dulunya sudah pernah diajukan sebagai lahan usaha Hutan Tanaman
Industri (HTI) oleh PT Duta Alam Makmur seluas 118.955 hektare, Tetapi
karena alasan tertentu, maka izinnya sudah dibatalkan Kementerian Kehutanan.

Pembatalan tersebut, kata Arif, atas perjuangan masyarakat desa setempat
bersama sejumlah LSM - antara lainnya Walhi dan KKI Warsi, karena bila lahan
tersebut dikelola swasta, dikhawatirkan penebangan hutan akan merambah ke
kawasan taman nasional.

Robert Aritonga, dari KKI Warsi mengatakan, masyarakat sekitar hutan
menjamin tidak akan merambah kawasan taman nasional, karena terbukti sejak
dulu hingga kini masyarakat desa sekitar malah ikut melindungi perusakan
kawasan itu.

Sumber :

Pemikiran tentang :

Bencana Ekologis

BENCANA EKOLOGIS: Taman Nasional Jadi Hutan Produksi


MAKASSAR, KOMPAS - Bencana banjir mengancam Kota Gorontalo,
Provinsi Gorontalo, jika rencana alih fungsi hutan konservasi di Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone jadi terwujud. Alih fungsi itu berupa
pelepasan 22.065 hektar dan perubahan fungsi 15.024 hektar hutan taman
nasional tersebut menjadi hutan produksi.

Pemerhati lingkungan yang juga mantan Wakil Gubernur Sulawesi Utara Prof Dr
Hasan Abbas Nusi, Jumat (8/10), mengatakan, alih fungsi hutan konservasi
menjadi hutan produksi bakal mengganggu areal tangkapan hujan di Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Langkah ini berpotensi memperparah
banjir di Kota Gorontalo yang selalu terjadi setiap kali hujan turun.

Ia juga mencemaskan ancaman limbah pertambangan emas yang akan mencemari dua
sungai besar
yang mengalir ke Kota Gorontalo, yaitu Sungai Bolango dan
Sungai Tamalate. Rencana pemanfaatan hutan produksi menjadi kawasan
pertambangan emas tertera dalam peta Blok Kontrak Karya dan Kuasa
Pertambangan Provinsi Gorontalo.

*Tidak tepat*

Kebijakan alih fungsi dinilai tidak tepat karena kawasan itu memiliki
kemiringan lereng 40 derajat dan sebagian kawasan berketinggian di atas
2.000 meter di atas permukaan laut.

Dengan curah hujan rata-rata lebih dari 175 milimeter, areal ini termasuk
kawasan hutan lindung sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung. Oleh sebab itu, Hasan mendesak pemerintah
membatalkan rencana pelepasan hutan di Gorontalo.

Perencana tata ruang di sejumlah daerah pemekaran, Danny Pomanto,
mengingatkan, alih fungsi hutan mengancam sejumlah spesies flora dan fauna
endemik yang ada di TNBNW. Dalam taman nasional seluas 287.115 hektar ini
terdapat 24 jenis mamalia, 125 jenis burung, 11 jenis reptilia, serta
sejumlah satwa dan flora khas TNBNW.

Ketua Tim Terpadu Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Provinsi Gorontalo
Budi Prihanto berkilah, rekomendasi alih fungsi lahan sebagai upaya untuk
membenahi kawasan yang sudah rusak akibat perilaku penambang emas liar.
(RIZ)

Sumber :

Pemikiran tentang :

Proyek Minapolitan

Realisasi Proyek Minapolitan Lamban

Koran Jakarta, Senin, 11 Oktober 2010

Realisasi proyek pengembangan kawasan minapolitan tahun 2010 mulai dipertanyakan berbagai kalangan. Delum siapnya dana dan infrastruktur dikhawatirkan menjadikan proyek percontohan ini mangkrak.

“Pemerintah belum siap, buktinya dana dari DIPA saja belum cair, seharusnya mereka konsentrasi sediakan benih dan menghilangkan penyakit.

Jangan seperti sekarang mereka kesana- kemari tetapi proyek nggak jalan,” kata Penasihat Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Shidiq Muslim kepada Koran Jakarta, Minggu (10/10).

Shidiq menyebut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), be lum displin menjalankan proyek, akibatnya petani dan petambak belum menikmati janji pemerintah.

Jika kondisi ini berlarut, maka pelaku usaha dan pembudidaya akan enggan berkontribusi. Ia menyebut selain minapolitan yang belum jalan, persoalan besar yang belum mampu ditangani pemerintah yakni persoalan serangan penyakit.

“Penyakit mengakibatkan produksi udang merosot, tetapi tidak ada langkah darurat untuk menyelesaikanya. Ini multiplayer efeknya besar, sampai petambak berpikir, untuk apa tanam udang kalau berisiko?” ungkap Shidiq.

Sementara DPR meminta KKP segera membereskan persoalan yang masih menghambat realisasi proyek minapolitan.

“Hingga saat ini konsep minapolitan yang jelas belum terlihat, padahal minapolitan ini mensyaratkan pembangunan terintegrasi yang membutuhkan dukungan lintas kementerian,” kata Ketua Komisi IV DPR Ahmad Muqoam.

Jika KKP dan Menteri Fadel Muhammad tidak serius menuntaskanya, kata Muqoam, maka dikhawatirkan proyek minapolitan akan mangkrak seperti program pemerintah lain.

Dihubungi terpisah, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Indonesia, Suhana, menyebut perikanan budi daya melalui proyek minapolitan belum bisa diandalkan untuk mencapai target produksi perikanan nasional sebesar 353 persen.

“Minimnya infrastruktur perikanan dan ketersediaan pakan menyebabkan biaya produksi perikanan budi daya menjadi mahal.

Itu belum termasuk ancaman penyakit,” kata Suhana. Berdasarkan data FAO, kata Suhana, sentra perikanan di Lampung, Aceh, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan masih diselimuti ancaman penyakit ikan.

Kondisi itu terbukti dengan anjloknya produksi udang dari 230 ribu ton menjadi 180 ribu ton. Anjloknya produksi udang, diakui Dirjen Budi Daya Perikanan KKP Made L Nurdjana, Ia menyebut penyakit dan pola budi daya yang salah berdampak pada penurunan produksi udang.

Made menyebut sejak tahun 2008, produksi udang nasional cenderung menurun dari 410 ribu ton menjadi 350 ribu ton tahun 2009, dan diprediksi kembali turun sekitar 12 persen dari target produksi yang dipatok di level 350 ribu ton.
aan/E-8

Pemikiran tentang :

Penyusutan hutan di jambi

Hutan di Jambi Tinggal Tersisa 21 Persen



TEMPO Interaktif, Jambi - Kawasan hutan di Provinsi Jambi yang

dulunya seluas 2,2 juta hektare, saat ini akibat kesalahan kebijakan tinggal

menyisahkan sekitar 480 ribu hektare atau sekitar 21,8 persen.

"Sekarang kawasan hutan di daerah ini didominasi sektor hutan tanaman

industri, perkebunan sawit, sehingga tidak hanya dapat menimbulkan kerusakan

bagi kawasan serapan air, tapi lebih jauh lagi kini berkembang pada

terjadinya konflik antara perusahaan dengan warga sekitar," kata Arif

Munandar, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, kepada Tempo, Jumat (8/10).

Arif menontohkan, dalam kurun beberapa bulan terakhir sudah beberapa kali

terjadinya konflik antarwarga dengan perusahaan yang bergerak di bidang

hutan tanaman industri. Seperti pada awal September lalu terjadi di kawasan

Senyerang, Kabupaten Tanhjungjabung Barat dan kawasan Kabupaten Tebo.

"Ini sangat memprihatinkan, tapi itulah akibat kebijakan yang kurang tepat,

tanpa memikirkan dampak lingkungan sekitarnya. Yang terjadi karut marut tata

ruang serta berakibat pula tumpang tindih perizinan," ujarnya.

Walhi menilai, bencana ekologis dan kelangkaan akan air tinggal menunggu

waktu. Padahal, diketahui sekitar 80 persen masyarakat Jambi tergantung pada

daerah aliran sungai Batang Hari, sementara kawasan hulunya terancam

perusakan.

"Kita sudah tahu massifnya industri, hanya untuk mengeruk sumber daya

manusia, tapi mengabaikan dampak ekosistem dan lingkungan sekitarnya.

Lagi-lagi akibat hanya berpihaknya pemerintah dengan perusahaan saja," kata

Arif.

Ia kembali memberi contoh, seperti di kawasan Kabupaten Tebo dan Batanghari

serta Tanjungjabung Barat, pemerintah daerah setempat sedang jor-joran

memberi izin kepada perusahaan yang bergerak di bidang hutan tanaman

industri.

Total izin yang telah dikeluarkan pemerintah daerah untuk sektor kebun sawit

mencapai 1,4 juta hektare, hutan tanaman industri seluas 800 ribu hektare

dan pertambangan 680 ribu hektare.

Sekarang Walhi bersama LSM lainnya mendorong pengelolaan hutan berbasiskan

masyarakat di kawasan hulu Sungai Batanghari, tepatnya di kawasan Kabupaten

Merangin seluas 49.514 hektare. "Untuk dijadikan hutan desa yang langsung

menyentuh kebutuhan masyarakat."

Budi Daya, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, menanggapi masalah ini

menyatakan, tidak benar jika pihaknya dikatakan salah dalam mengambil

kebijakan dalam kegiatan membangun hutan di daerahnya, karena sudah dilihat

sesuai peruntukan.

"Semua pemberian izin itu sendiri pada dasarnya merupakan hak dari

Kementerian Kehutanan. Izin pun diberikan sudah melalui kajian matang sesuai

dengan peruntukannya," kata dia.

Sebagai contoh, kawasan hutan produksi dapat dibangun hutan kawasan industri

dan tidak mungkin menggunakan kawasan peruntukan persawahan atau kawasan

perumahan.

Sumber :

Pemikiran tentang :

Tata ruang.......

TATA RUANG JAKARTA PERLU DIBENAHI

JAKARTA (Pos Kota) – Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus segera dibenahi.
Hal ini dinilai mendesak mengingat di Jakarta saat ini hanya terdapat 5.755 ha
atau 8,93 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari total luas wilayah ibukota
seluas 66.152 ha. Tidak heran jika bencana akan terus mengancam Jakarta lantaran
minimnya ketersediaan daerah resapan.
Padahal sesuai dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, diperlukan RTH
sebanyak 30 persen dari luas wilayah yang ada untuk menyelamatkan lingkungan
Jakarta. Ironisnya hal tersebut tidak menjadi perhatian serius dari pemerintah
daerah yang dinilai tidak serius menangani masalah ini. hal ini menilik dari
hasil kajian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI terhadap
Peraturan Daerah (Perda) No.6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Jakarta 2010 yang hanya memberikan jatah lahan untuk RTH sebesar 13,94
persen atau sekitar 9.545 ha.
Angka ini menurut Ketua Walhi DKI, Ubaidillah ternyata jauh dari kategori kota
sehat. Terus menyempitnya RTH di Jakarta dikatakan, Ubaidillah terjadi akibat
Pemprov DKI terlalu longgar dalam mengeluarkan izin peruntukkan lahan. Bahkan
menurut catatan Walhi, telah terjadi penyimpangan hingga 70 persen atas RTRW DKI
Jakarta Tahun 2010.
Ubaidillah menuturkan penyimpangan ini didasari dari rekam jejak perjalanan RTRW
yang dimiliki Jakarta. Dalam master plan DKI Jakarta 1965-1985, di jaman
kepemimpinan Gubernur DKI, Ali Sadikin, RTH ditargetkan 37,2, persen lebih dari
20 ribu Ha.
Tingginya target ini didasari dari tujuan pemerintahan saat itu yakni menjadi
Jakarta sebagai paru-paru ibukota. Namun belum habis masa periode RTRW tersebut
kenyataannya diungkapkan Ubaidillah pada 1984 RTH di Jakarta telah berkurang
menjadi 28,8 persen.
Sedangkan pada master plan DKI Jakarta 1985-2005 kemudian mempersempit lagi
menjadi 26,1 persen. Bahkan pada periode ini RTH kembali menciut dengan adanya
konversi besar-besaran di kawasan Senayan pada 1996 yang berdampak menyusutnya
RTH sebesar 2,1 persen. Walhi menilai pada perubahan master plan 1985-2005 ke
master plan 2000-2010, telah terjadi rekayasa pemutihan area yang seharusnya
menjadi lahan hijau menjadi area industri maupun perumahan.
Dan yang terburuk terjadi pada master plan tahun 2000-2010 yang menghabisi
peruntukan RTH menjadi 13,94 persen. “Dimasa ini juga terindikasi penyimpangan
dan kami memperkirakan pada 2003 RTH di Jakarta tinggal 9,12 persen lantaran
adanya konversi reklamasi pantai utara dan pembangunan kantor walikota jakarat
Selatan,” ungkap Ubaidillah saat dihubungi Pos Kota, Kamis (23/9).
Perubahan itu, kata Ubaidillah, terjadi setelah keluar Instruksi Menteri Dalam
Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah
Perkotaan. Adanya peraturan itu mewajibkan Pemprov mengembalikan fungsi
perumahan yang berdiri di lahan resapan, menjadi area terbuka ”Namun, bukannya
kebijakan itu dituruti pemprov, namun justru memutihkan dengan mengerluarkan
membuat master plan 2000-2010 itu, padahal seharusnya master paln dibuat sebelum
tahun 2005 berakhir,” ujarnya.
Setidaknya dijabarkan Ubaidillah pada periode 20 tahun sejak tahun 1988 hingga
2008, sedikitnya 44 bangunan berupa hotel, wisma, villa, perumahan mewah, pusat
perbelanjaan, lapangan golf berdiri di area terbuka hijau. Diantaranya seperti
Senayan City, Ratu Plaza, Sudirman Place, Depdiknas, Wisma Fajar, Hotel Mulia,
Hotel Sultan, Simprug Golf serta Senayan Resident Apartement.
Sementara itu Iwan Kurniawan, Kasie Perencanaan dan Pengawasan Pengembangan
Ruang Kota Dinas Tata Ruang DKI, menyatakan kerap terjadi salah kepahaman di
masyarakat terkait keberadaan RTH di Jakarta. Iwan menyatakan banyak dari
masyarakat yan berpikir bahwa lahan yang masih kosong saat ini merupakan ruang
terbuka. Padahal tidak demikian. “Ada terdapat lahan kosong yang memang
peruntukannya untuk dibangun gedung namun masih kosong lantaran pemiliknya
kemungkinan belum memiliki modal,” ujar Iwan sekaligus menjawab adanya tudingan
penyalahan peruntukan pada RTRW yang berlaku saat ini.
Lebih lanjut Iwan menyatakan salah satu yangpaling dominan dalam terkikisnya RTH
ialah padatnya jumlah penduduk. Dimana banyak dari warga yang tengah membutuhkan
tempat tinggal akhirnya menyerobot ruang terbuka yang ada.
Dari catatan Dinas Tata Ruang dari hasil pendataan terkahir pada 2007 saat ini
jumlah pemukiman di DKI telah mencapai 47,18 persen dari luas wilayah Jakarta
atau sekitar 30.339 ha. sedangkan sisanya terbagi pada lahan fasos fasum sebesar
4,30 persen atau 2.772,91 ha, kantor pemerintahan 2,43 persen atau 1.568,17 ha,
perkantoran perdagangan dan jasa 4,84 persen atau 3.117,99 ha, industri
pergudangan 6,37 persen atau 4.104,46 ha, rumah toko atau rumah kantor 2,07
persen atau 1.332,72 ha, lahan kosong 12,23 persen atau 7.888,35 ha, RTH 8,93
persen atau 5.775,32 ha, saluran waduk/situ 3,31 persen atau 2.135,15 ha, dan
jalan 9,70 persen atau 6.253,07 ha.
Sementara mengenai adanya tuntutan openghentian pembangunan gedung untuk
menyelamatkan Jakarta, Iwan mengatakan ini tidaklah mungkin dapat dilakukan.
Pasalnya menurutnya pembangunan harsu terus dilakukan seiring dengan terusnya
peningkatan jumlah penduduk. “Jika tidak membangun industri atau perkantoran
bagaimana bisa menyediakan sarana lapangan pekerjaan. Disatu sisi perkembangan
jumlah penduduk menuntut juga tersedianya kebutuhan hidup,” timpalnya.Sebelumnya
GUbernur DKI, Fauzi Bowo, beberapa kali menyatakan sangatlah tidak mudah bagi
pemprov untuk menambah satu persen bagi ruang terbuka. Dikatakan, penambahan
satu persen RTH berarti sama luasnya sama dengan enam kali luas monas. ”Kalau
kita diminta menambah hingga 30 persen berarti kita masih kekurangan 20 persen
atau sama dengan 120 kali Monas, bagaimana caranya,” kilah Fauzi

Pemikiran tentang :

Hutan jambi

Hutan di Jambi Tinggal Tersisa 21 Persen



TEMPO Interaktif, Jambi - Kawasan hutan di Provinsi Jambi yang

dulunya seluas 2,2 juta hektare, saat ini akibat kesalahan kebijakan tinggal

menyisahkan sekitar 480 ribu hektare atau sekitar 21,8 persen.

"Sekarang kawasan hutan di daerah ini didominasi sektor hutan tanaman

industri, perkebunan sawit, sehingga tidak hanya dapat menimbulkan kerusakan

bagi kawasan serapan air, tapi lebih jauh lagi kini berkembang pada

terjadinya konflik antara perusahaan dengan warga sekitar," kata Arif

Munandar, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, kepada Tempo, Jumat (8/10).

Arif menontohkan, dalam kurun beberapa bulan terakhir sudah beberapa kali

terjadinya konflik antarwarga dengan perusahaan yang bergerak di bidang

hutan tanaman industri. Seperti pada awal September lalu terjadi di kawasan

Senyerang, Kabupaten Tanhjungjabung Barat dan kawasan Kabupaten Tebo.

"Ini sangat memprihatinkan, tapi itulah akibat kebijakan yang kurang tepat,

tanpa memikirkan dampak lingkungan sekitarnya. Yang terjadi karut marut tata

ruang serta berakibat pula tumpang tindih perizinan," ujarnya.

Walhi menilai, bencana ekologis dan kelangkaan akan air tinggal menunggu

waktu. Padahal, diketahui sekitar 80 persen masyarakat Jambi tergantung pada

daerah aliran sungai Batang Hari, sementara kawasan hulunya terancam

perusakan.

"Kita sudah tahu massifnya industri, hanya untuk mengeruk sumber daya

manusia, tapi mengabaikan dampak ekosistem dan lingkungan sekitarnya.

Lagi-lagi akibat hanya berpihaknya pemerintah dengan perusahaan saja," kata

Arif.

Ia kembali memberi contoh, seperti di kawasan Kabupaten Tebo dan Batanghari

serta Tanjungjabung Barat, pemerintah daerah setempat sedang jor-joran

memberi izin kepada perusahaan yang bergerak di bidang hutan tanaman

industri.

Total izin yang telah dikeluarkan pemerintah daerah untuk sektor kebun sawit

mencapai 1,4 juta hektare, hutan tanaman industri seluas 800 ribu hektare

dan pertambangan 680 ribu hektare.

Sekarang Walhi bersama LSM lainnya mendorong pengelolaan hutan berbasiskan

masyarakat di kawasan hulu Sungai Batanghari, tepatnya di kawasan Kabupaten

Merangin seluas 49.514 hektare. "Untuk dijadikan hutan desa yang langsung

menyentuh kebutuhan masyarakat."

Budi Daya, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, menanggapi masalah ini

menyatakan, tidak benar jika pihaknya dikatakan salah dalam mengambil

kebijakan dalam kegiatan membangun hutan di daerahnya, karena sudah dilihat

sesuai peruntukan.

"Semua pemberian izin itu sendiri pada dasarnya merupakan hak dari

Kementerian Kehutanan. Izin pun diberikan sudah melalui kajian matang sesuai

dengan peruntukannya," kata dia.

Sebagai contoh, kawasan hutan produksi dapat dibangun hutan kawasan industri

dan tidak mungkin menggunakan kawasan peruntukan persawahan atau kawasan

perumahan.

sumber :

Pemikiran tentang :

Jakarta benahi diri


BENAHI TATAT RUANG JAKARTA


JAKARTA (Pos Kota) – Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus segera dibenahi.
Hal ini dinilai mendesak mengingat di Jakarta saat ini hanya terdapat 5.755 ha
atau 8,93 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari total luas wilayah ibukota
seluas 66.152 ha. Tidak heran jika bencana akan terus mengancam Jakarta lantaran
minimnya ketersediaan daerah resapan.

Padahal sesuai dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, diperlukan RTH
sebanyak 30 persen dari luas wilayah yang ada untuk menyelamatkan lingkungan
Jakarta. Ironisnya hal tersebut tidak menjadi perhatian serius dari pemerintah
daerah yang dinilai tidak serius menangani masalah ini. hal ini menilik dari
hasil kajian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI terhadap
Peraturan Daerah (Perda) No.6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Jakarta 2010 yang hanya memberikan jatah lahan untuk RTH sebesar 13,94
persen atau sekitar 9.545 ha.
Angka ini menurut Ketua Walhi DKI, Ubaidillah ternyata jauh dari kategori kota
sehat. Terus menyempitnya RTH di Jakarta dikatakan, Ubaidillah terjadi akibat
Pemprov DKI terlalu longgar dalam mengeluarkan izin peruntukkan lahan. Bahkan
menurut catatan Walhi, telah terjadi penyimpangan hingga 70 persen atas RTRW DKI
Jakarta Tahun 2010.

Ubaidillah menuturkan penyimpangan ini didasari dari rekam jejak perjalanan RTRW
yang dimiliki Jakarta. Dalam master plan DKI Jakarta 1965-1985, di jaman
kepemimpinan Gubernur DKI, Ali Sadikin, RTH ditargetkan 37,2, persen lebih dari
20 ribu Ha.

Tingginya target ini didasari dari tujuan pemerintahan saat itu yakni menjadi
Jakarta sebagai paru-paru ibukota. Namun belum habis masa periode RTRW tersebut
kenyataannya diungkapkan Ubaidillah pada 1984 RTH di Jakarta telah berkurang
menjadi 28,8 persen.

Sedangkan pada master plan DKI Jakarta 1985-2005 kemudian mempersempit lagi
menjadi 26,1 persen. Bahkan pada periode ini RTH kembali menciut dengan adanya
konversi besar-besaran di kawasan Senayan pada 1996 yang berdampak menyusutnya
RTH sebesar 2,1 persen. Walhi menilai pada perubahan master plan 1985-2005 ke
master plan 2000-2010, telah terjadi rekayasa pemutihan area yang seharusnya
menjadi lahan hijau menjadi area industri maupun perumahan.

Dan yang terburuk terjadi pada master plan tahun 2000-2010 yang menghabisi
peruntukan RTH menjadi 13,94 persen. “Dimasa ini juga terindikasi penyimpangan
dan kami memperkirakan pada 2003 RTH di Jakarta tinggal 9,12 persen lantaran
adanya konversi reklamasi pantai utara dan pembangunan kantor walikota jakarat
Selatan,” ungkap Ubaidillah saat dihubungi Pos Kota, Kamis (23/9).

Perubahan itu, kata Ubaidillah, terjadi setelah keluar Instruksi Menteri Dalam
Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah
Perkotaan. Adanya peraturan itu mewajibkan Pemprov mengembalikan fungsi
perumahan yang berdiri di lahan resapan, menjadi area terbuka ”Namun, bukannya
kebijakan itu dituruti pemprov, namun justru memutihkan dengan mengerluarkan
membuat master plan 2000-2010 itu, padahal seharusnya master paln dibuat sebelum
tahun 2005 berakhir,” ujarnya.

Setidaknya dijabarkan Ubaidillah pada periode 20 tahun sejak tahun 1988 hingga
2008, sedikitnya 44 bangunan berupa hotel, wisma, villa, perumahan mewah, pusat
perbelanjaan, lapangan golf berdiri di area terbuka hijau. Diantaranya seperti
Senayan City, Ratu Plaza, Sudirman Place, Depdiknas, Wisma Fajar, Hotel Mulia,
Hotel Sultan, Simprug Golf serta Senayan Resident Apartement.

Sementara itu Iwan Kurniawan, Kasie Perencanaan dan Pengawasan Pengembangan
Ruang Kota Dinas Tata Ruang DKI, menyatakan kerap terjadi salah kepahaman di
masyarakat terkait keberadaan RTH di Jakarta. Iwan menyatakan banyak dari
masyarakat yan berpikir bahwa lahan yang masih kosong saat ini merupakan ruang
terbuka. Padahal tidak demikian. “Ada terdapat lahan kosong yang memang
peruntukannya untuk dibangun gedung namun masih kosong lantaran pemiliknya
kemungkinan belum memiliki modal,” ujar Iwan sekaligus menjawab adanya tudingan
penyalahan peruntukan pada RTRW yang berlaku saat ini.

Lebih lanjut Iwan menyatakan salah satu yangpaling dominan dalam terkikisnya RTH
ialah padatnya jumlah penduduk. Dimana banyak dari warga yang tengah membutuhkan
tempat tinggal akhirnya menyerobot ruang terbuka yang ada.

Dari catatan Dinas Tata Ruang dari hasil pendataan terkahir pada 2007 saat ini
jumlah pemukiman di DKI telah mencapai 47,18 persen dari luas wilayah Jakarta
atau sekitar 30.339 ha. sedangkan sisanya terbagi pada lahan fasos fasum sebesar
4,30 persen atau 2.772,91 ha, kantor pemerintahan 2,43 persen atau 1.568,17 ha,
perkantoran perdagangan dan jasa 4,84 persen atau 3.117,99 ha, industri
pergudangan 6,37 persen atau 4.104,46 ha, rumah toko atau rumah kantor 2,07
persen atau 1.332,72 ha, lahan kosong 12,23 persen atau 7.888,35 ha, RTH 8,93
persen atau 5.775,32 ha, saluran waduk/situ 3,31 persen atau 2.135,15 ha, dan
jalan 9,70 persen atau 6.253,07 ha.

Sementara mengenai adanya tuntutan openghentian pembangunan gedung untuk
menyelamatkan Jakarta, Iwan mengatakan ini tidaklah mungkin dapat dilakukan.
Pasalnya menurutnya pembangunan harsu terus dilakukan seiring dengan terusnya
peningkatan jumlah penduduk. “Jika tidak membangun industri atau perkantoran
bagaimana bisa menyediakan sarana lapangan pekerjaan. Disatu sisi perkembangan
jumlah penduduk menuntut juga tersedianya kebutuhan hidup,” timpalnya.Sebelumnya
GUbernur DKI, Fauzi Bowo, beberapa kali menyatakan sangatlah tidak mudah bagi
pemprov untuk menambah satu persen bagi ruang terbuka. Dikatakan, penambahan
satu persen RTH berarti sama luasnya sama dengan enam kali luas monas. ”Kalau
kita diminta menambah hingga 30 persen berarti kita masih kekurangan 20 persen
atau sama dengan 120 kali Monas, bagaimana caranya,” kilah Fauzi

Pemikiran tentang :

Boom lamp.....


“Boom Lamp Reaction”

Oleh : Arif Eka Rahmanto





pic. www.petzl.com

A. Kenapa Lampu karbit bisa menyala??



lampu karbit bisa menyala karena ada gas assetelin. Gas ini ada karena reaksi kimiawi antara batuan karbit (Kalsium karbonat) batuan karbit berasal dari proses kimiawi sedimentasi rumus kimia ( CaC2) batuan ini di campur dengan air ( H20). lalu didalam Boom ( tempat menaruh karbit + air) terjadi reaksi dan meng hasilkan gas, gas tersebut di alirkhan ke selang lalu diteruskhan ke helm dan gas itu dapat di hidupkhan dengan menggunakan pematik, agar menghasilkan nyala api.



Pic. Dok. Aranyacala Trisakti Caving

rumus reaksi kimia ;


CaC2 + 2H2O <=> C2H2 + Ca (OH)2 + kalor


atau


CaC2+ H2O <=> C2H2 + CaO+ kalor


B.
Kenapa Lampu Karbit / Lampu Boom digunakan??


Pic. Dok. Aranyacala Trisakti Caving

1. Karena kemampuan dalam penerangan yang memiliki cakupan yang melebar dan cukup baik untuk penerangan.

2. Karena lampu karbit bisa dipakai sebagai indikator kadar O2 ( oksigen). Hal ini dapat di lihat dari nyala api, jika nyala api besar dan volum karbit banyak maka O2 juga besar, jika berlaku sebaliknya maka kadar O2 kecil. Setiap pembakaran memerlukan O2 untuk proses menghasilkan kalor ( panas).

3.Bahan baku untuk lampu ini sangat murah dan memiliki durasi waktu yang cukup memadai.



C. Kelemahannya???



Pic. Dok. Aranyacala Trisakti Caving

selain keungulan juga memiliki kelemahan terutama terhadap ekosistem bila yang menggunakan tidak pahan bagaimana menggunakan lampu karbit/ boom secara effective dan benar.
ya itu :

1. Gas hasil pembakaran ya itu CO2, bila terlalu lama terkumpul di satu ruangan / chember kecil maka akan menyebabkan caver( penelus gua) menjadi lemas karena kekurangan oksigen.

2. Pada proses pembakaran atau nyala api, jika tidak hati hati dan terkena dinding gua akan meninggalkhan bekas kehitam hitaman, sehingga dapat merusk ornamen gua.

3. sisa pembakaran yaitu Cao (kalsium oksidasi) jika di buang sembarangan akan menjadi limbah
/sampah yang dapat merusak lingkungan sehingga harus dibuang pada tempat yang semestinya, atau sisa karbit dibuang di luar gua.


---------------------------

SAFETY FIRST, THAN CAN GO NEW ADVENTURE

Pemikiran tentang :

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.