bandung thea.....

Asal Usul Nama Bandung
Oleh Mahanagari

Wilayah yang sekarang kita sebut Bandung pertama kali masuk peta pada waktu Gubernur Jendral Raffles membangun Groote Postweg (Jalan Pos) di tahun 1810. Waktu itu Bandung bernama Kabupaten Tata Ukur.

Daendels memerintahkan Bupati Tata Ukur memindahkan ibukota Kabupatennya dari Krapyak ke arah utara sejauh 11 km sehingga pas berada di tepi Groote Postweg yang berpotongan dengan Sungai Cikapundung. Bupati Tata Ukur waktu itu R. Wiranata Koesoemah II menyebut kabupaten baru ini dengan nama Bandong dengan ‘pusat pemerintahannya’ yang masih sangat sederhana di daerah Dalem Kaum sekarang. Beliau sendiri berjuluk Dalem Karanganyar.

Ada beberapa versi ibukota Kabupaten baru ini dinamakan Bandong. Yang pertama, adalah dari kata "bandung" yang dalam bahasa sunda artinya membendung aliran air, karena memang telah terjadi pembendungan sungai Citarum akibat letusan Gunung Tangkubanparahu dimana aliran lahar gunung menyumbat sungai sehingga terbentuk telaga yang luas. Yang kedua, dari kata "ngabandung" yang artinya berhadapan atau berdampingan, Talaga Purba Bandung bila dilihat dari Gunung Tangkubanparahu tampak seperti 2 danau yang berhadapan karena adanya penyempitan tepi danau di daerah Cimahi Selatan.

Pada dasarnya asal usul nama Bandung ini banyak sekali versinya.

Dalam buku tulisan Haryoto Kunto, dapat ditemukan bahwa kata Bandung, berasal dari kata Bandong, sesuai dengan penemuan sebuah negeri kecil oleh seorang Mardijker bernama Julian de Silva. Dan tercatat pula bahwa Dr. Andries de Wilde, seorang pemilik kebun kopi yang sangat luas di daerah ini, meminang seorang gadis dan kemudian menikahinya yang berasal dari Kampung Banong (di daerah Dago Atas).

Malah ada pula yang berpendapat Kata Bandung berasal dari sebuah nama pohon Bandong ‘Garcinia spec’ (Heyne : 1950 Jilid III, pada halaman 2233, menyebutkan bahwa Bandong ‘Garcinia spec’ sejenis pohon yang tingginya 10 - 15 m dan besar batangnya 15 - 20 cm, dengan batang tak bercabang. Pohon ini dieksploitasi setelah berumur 20 - 30 tahun, dengan cara menoreh kulit kayu sedalam 2 - 3 mm akan mengalirkan cairan kekuning-kuningan. Menurut Wiesner’s Rohstoffe digunakan untuk pengobatan, mewarnai pernis-pernis spirtus, lak emas ‘goudlak’, cat air dan fotografi. Jadi nama Bandung berasal dari Bandong yang sesuai dengan sebuah nama kampung yang telah ditemukan oleh seorang Mardijker bernama Julian de Silva di atas. (http://sundasamanggaran.blogspot.com)

Menurut penulis buku Wisata Bumi Cekungan Bandung, T. Bachtiar, Bandung juga artinya adalah persahabatan/perdamaian. Berasal dari Bahasa Kawi, Bandung artinya bersama-sama, bersahabat, bersaing, mendampingi, dan saling tolong menolong.

Pemikiran tentang :

tambang Vs asimetris info????

Tambang & Risiko Asimetri Informasi
Oleh Ferdy Hasiman

BEBERAPA tahun terakhir, investasi berskala raksasa mulai digelontorkan ke
Propinsi NTT. NTT bukan hanya dikenal dengan tambang mangan di Pulau Flores,
tetapi kaya akan biji emas, dan biji besi. Tambang emas dan biji besi ini
terdapat di Sumba Barat dan Sumba Timur. Bukan hanya itu, di Blok Rote dan Blok
Sabu, terdapat potensi minyak dan gas (migas) yang cukup besar untuk
dieksplorasi.

Tak pelak lagi, raksasa-raksasa nasional dan multinasional pun saling
berebut-rebutan mendapat lahan garapan untuk menambang. Raksasa nasional yang
familiar dikenal publik, misalnya, PT Merukh Enterprise. Merukh Enterprise
adalah anak usaha PT Pukuafu Indah yang memiliki 20 persen saham di PT Newmont
Nusa Tenggara (NTT). Sementara perusahaan-perusahaan lokal di Pulau Flores
hampir pasti tidak dikenal track-record-nya. Selain pemain lokal,
raksasa-raksasa multinasional, seperti Rio Tinto (Listing Bursa Teronto), San
Miquel (Philipina) atau Salgacoar Mining (India). Singkatnya, NTT menjadi
primadona baru bagi investor tambang pada tahun-tahun belakangan ini.
Pertanyannya adalah mengapa perusahaan-perusahaan itu dengan mudah berekspansi
ke Propinsi NTT?

Paradigma pembangunan

Penetrasi raksasa tambang di NTT hampir tak terbendung. Soalnya, pemerintah di
NTT telah memilih paradigma ekonomi yang berpihak pada investasi skala raksasa.
Paradigma investasi berskala raksasa ini memang sudah mulai diperkenalkan sejak
Washington Conssensus (WC) pada tahun 1990-an. Isi WC adalah liberalisasi,
privatisasi, dan deregulasi.

Liberalisasi adalah minimalisasi peran negara dalam pasar. Negara-negara atau
yang diwakili Pemda NTT wajib membuka diri terhadap investasi. Semua beban
dalam bentuk tarif, pajak, royalti, harus ditiadakan. Sementara privatisasi
adalah pengalihan perusahaan-perusahaan negara ke tangan pihak swasta. Segala
bentuk jaminan sosial mulai dari jaminan kesehatan, pendidikan, jaminan bagi
penganggur atau pekerja ditiadakan. Secara ringkas, tiga agenda ini menghendaki
agar pemerintah keluar dari pasar.

Tiga agenda di atas merupakan pintu masuk bagi berkembangnya investasi asing.
Tolak ukur investasi yang dikehendaki dalam WC adalah investasi berskala
raksasa, seperti pertambangan. WC percaya investasi berskala raksasa dapat
mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di negara-negara berkembang, tak
terkecuali di NTT. Dengan masuknya raksasa-raksasa tambang NTT secara eksplisit
telah memaklumatkan paradigma pembangunan yang diadopsi dari WC. Soalnya logika
pemerintah mengatakan, NTT adalah daerah yang gersang dan tidak memungkinkan
untuk tumbuhnya sektor pertanian, perikanan dan industri mikro-kecil lainnya.

Atas dasar itulah tulisan Ignas Ladjang "Kegaduhan Seputar Masalah Tambang"
semakin mengokohkan posisi pemerintah lokal mengadopsi pilihan pembangunan NTT
berskala raksasa. Sektor mikro-kecil di mata pemerintah terbukti tidak memberi
kontribusi apa-apa pada penerimaan daerah. Apalagi dengan otonomi daerah dana
APBD untuk pemda semakin mengecil. Mengecilnya dana APBD membuat pemda harus
mencari jalan untuk mengatasi defisit anggaran. Maka, satu-satunya jalan paling
mudah mendapat dana adalah membuka diri terhadap investasi berskala besar,
melalui sektor pertambangan.

Lazimnya, sebelum investasi besar itu datang, pemerintah harus memenuhi
persyaratan yang harus dipenuhi agar investasi berjalan aman. Persyaratan itu
berupa liberalisasi pasar. Dengan adanya liberalisasi pasar, pemerintah tidak
memiliki kewajiban lagi menagih pajak, tarif, upah harus ditekan, izin konsesi
harus dipermudah dan sederet aturan lain yang ramah terhadap investor (investor
friendly). Semua persyaratan ini saya kira sudah dipenuhi Pemerintah NTT dan
itu adalah sebuah pilihan yang sangat berisiko bagi kesejahteraan NTT ke depan.

Mengapa berisiko?

Ekonom J Stiglitz jauh-jauh hari berpesan, penetrasi asing dan investasi
berskala raksasa sangat rentan terjadi asimeteri informasi. Asimetri informasi
adalah informasi yang tidak sejajar diterima pelaku pasar. Itulah mengapa
menjalankan bisnis di negara berkembang seperti Indonesia, apalagi NTT, sangat
sulit. Soalnya informasi tidak dapat diterima dengan sempurna, karena umumnya
di Indonesia, tak terkecuali di NTT, berkembang praktek bisnis yang tidak
jujur.

Menurut Stiglitz, asimetri informasi tidak akan terjadi tanpa ada asimetri
kekuasaan. Artinya kekuasaan lebih memberi akses mudah kepada investor daripada
rakyat miskin. Akses mudah dari pemerintah itu berupa pemberian supervisi dan
aturan hukum lainnya. Akibatnya, pemerintah menjadi tidak transparan terhadap
warga.

Akibat ketidaktranspranan ini, aksi protes warga di NTT merebak. Merebaknya
aksis protes ini karena warga tidak pernah mendapat pemahaman sempurna berupa
sosialisasi bagaimana baik-buruknya sektor pertambangan. Memang dalam
pemberitaan media, pemerintah telah melakukan MoU dengan investor secara
transparan. Namun, dalam MoU itu rakyat tidak pernah dibeberkan secara
mendetail informasi seputar sektor pertambangan itu. Akibat asimetri infomasi,
aksi protes pun merebak. Protes warga muncul ketika mesin-mesin raksasa
menggerus hak ulayat masyarakat adat. Namun, kesadarannya serba terlambat.
Keterlambatan kesadaran ini bukan tanpa sengaja karena pemerintah sengaja
menyembunyikan data dan informasi lengkap seputar pertambangan pada saat
melakukan MoU dengan investor.

Melihat realitas di atas, saya kira, masuknya investasi pertambangan di NTT
justru merusak tatanan demokrasi pada tingkat lokal. Demokrasi memang kelihatan
berjalan namun demokrasi yang mengabdi kepentingan bisnis. Risiko lebih lanjut
terjadinya aktivitas pemburu rente dan korupsi di tingkat lokal meluas.

Belum lagi jika melihat track record perusahaan yang berkiprah di NTT. Memang
untuk perusahaan asing yang berkiprah di NTT sangat mudah dilacak pembukuannya,
karena perusahaan-perusahaan itu tercatat di bursa Australia atau bursa
Toronto. Namun hampir semua KP lokal di NTT sangat sulit dilacak neraca
keuangannya. Karena semua KP adalah perusahaan privat. Lantas bagaimana publik
mengakses informasi ke perusahaan-perusahaan itu? Berapa kapasitas produksi,
berapa penjualan perusahaan setiap tahun, sehingga publik bisa mengetahui
secara pasti berapa yang masuk ke PAD daerah dari sektor tambang.

Selain itu publik semakin sulit melacak siapa pemilik KP, apakah raksasa bisnis
dari Jakartakah atau pebisnis tingkat lokal. Karena sulit dideteksi, total
aset perusahaan itu pun sulit diketahui. Maka, mereka semakin dibebaskan dari
pembayaran pajak ke negara. Semuanya ini menjadi informasi yang sangat susah
diakses. Asimetri informasi inilah yang memungkinkan pemda memiliki ruang untuk
korupsi. Korupsi terjadi ketika akses dan sumber informasi ditutup rapat.
Itulah nasib sebuah negara dan daerah yang telah menjalankan resep liberalisasi
pasar. Dengan kondisi carut-marut seperti ini, apa yang harus kita lakukan?

Tambang bukan solusi

Saya kira tambang bukan solusi membangun ekonomi NTT ke depan. Tambang tidak
dapat memberdayakan partisipasi warga lokal. Partisipasi warga lokal ini,
menurut hemat penulis, menutut pemerintah untuk memahami lebih bijaksana arti
demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi dibangun berdasarkan prinsip subsidiaritas
dan solidaritas. Subsidiaritas artinya pemerintah memiliki kewajiban membantu
masyarakat lemah, jika mereka tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup. Sementara
apa yang dapat dikerjakan masyarakat tidak boleh diintervensi pemerintah.

Demokrasi ekonomi ini menuntut pemerintah untuk responsif bahwa membangun
daerah NTT bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi
tanggung jawab bersama. Cara seperti apa? Partisipasi warga akan terealisasi
jika pemerintah memiliki kehendak politik menggerakkan ekonomi mikro-kecil.
Gerakan ekonomi mikro-kecil harus dibangun mulai dari pembangunan infrastruktur
publik agar memudahkan rakyat mengakses ke pasar. Lebih jauh lagi, rakyat harus
diupayakan untuk dapat mengakses ke sumber dana (bank) agar dapat mengembangkan
usaha.

Dengan gerakan seperti itu, pertumbuhan ekspor NTT ke depan bisa meningkat,
budaya saving dan income masyarakat pun terus meningkat. Semuanya itu akan
berjalan jika ditopang dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Gerakan ekonomi sektor riil ini sudah dikembangkan di
negara-negara maju, seperti Jerman. Di Jerman, pemerintahnya sekarang mulai
menggerakkan Mittelstand. Mittelstand adalah gerakan pembangunan sektor riil,
seperti industri manufaktur dan industri kecil lainnya. Gerakan seperti ini
semakin mengokohkan Jerman menjadi negara paling sukses menerapkan Ekonomi
Pasar Sosial (EPS).

Akhirnya tulisan ini ditujukan kepada publik di NTT, agar lebih cermat dan
kritis memahami tulisan Ignas K Lidjang. Tambang bukan sebuah berkah bagi
rakyat miskin, tetapi lebih sebagai kutukan. *

Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
& Penekun Masalah Neoliberalisme

Pemikiran tentang :

Laut yang rusak....

Kerusakan Laut Tak Terkendali


Penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung kian tidak terkendali. Setelah di wilayah darat sudah menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat parah, aktivitas itu terus menjalar hingga ke laut.

Berdasarkan pengamatan Kompas di lapangan pekan lalu, penambangan timah di perairan Bangka dan Belitung kian marak dan dilakukan secara massal. Di samping operasi PT Timah, terlihat pula sejumlah perusahaan swasta yang mengantongi izin resmi dari pemerintah beroperasi, demikian pula penambang ilegal kelompok masyarakat setempat.

Bagi perusahaan besar, seperti PT Timah, penambangan menggunakan kapal berukuran besar, sedangkan masyarakat lokal cenderung mengoperasikan perahu. Dari kapal atau perahu timah disedot dari dasar laut.

Dalam sehari puluhan ton pasir disedot. Setelah pasir timah tersebut tertampung, limbah berupa tanah langsung dibuang lagi ke laut. Akibatnya, kawasan perairan yang menjadi kawasan penambangan umumnya airnya terlihat berwarna lebih gelap. Sedimentasi tanah menutup dan mematikan terumbu karang, dan sebaliknya alga merajalela. Oleh karena itu, ekosistem laut di wilayah Bangka kini rusak parah.

”Sudah 40 persen terumbu karang di perairan Bangka hancur gara-gara penambangan timah. Di Teluk Klabat, sebelah barat laut Bangka, kehancuran terumbu karang mencapai 80 persen, sebab di lokasi itu penambangan timah dilakukan sudah puluhan tahun oleh PT Timah. Sebagai akibatnya, ikan semakin sulit didapat karena habitatnya sudah hancur,” kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bangka Belitung H Yulistyo.

Hal senada ditegaskan Indra Ambalika, Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Sejak 2006, laju kerusakan ekosistem laut akibat penambangan timah jauh lebih parah daripada wilayah daratan.

Bahkan, perusahaan nasional sekelas PT Timah, menurut Indra, belum menerapkan prinsip rehabilitasi lingkungan laut yang memadai. ”Yang baru dilakukan sebatas menaruh rumpon, lalu dibiarkan begitu saja. Tidak ada kelanjutannya. Padahal, itu tidak cukup untuk merehabilitasi ekosistem laut,” tutur Indra Ambalika.

Sejumlah nelayan mengakui, sekarang makin sulit menangkap ikan di pesisir. ”Ikan kembung sudah sulit didapat. Kayu untuk bagan juga sulit didapat,” kata Udin (30), nelayan di Desa Pala, Jebus, Bangka Barat.

Itu sebabnya, banyak nelayan banting setir menjadi penambang timah ilegal dengan menggunakan bagan terapung yang biasa disebut tambang inkonvensional (TI) apung.

Sulit diatasi

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bangka Belitung Amrullah Harun mengakui, kerusakan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung, termasuk di laut, kini sudah sangat memprihatinkan, terutama sejak masa otonomi daerah. Namun, kasus ini tidak mudah diatasi.

”Pemerintah berada dalam posisi dilematis. Jika aktivitas pertambangan ilegal ditertibkan, pemerintah akan ramai-ramai didemo masyarakat yang telanjur menggantungkan hidupnya pada penambangan timah inkonvensional. Namun, jika terus dibiarkan, lingkungan akan bertambah rusak,” ujar Amrullah.

Sekretaris Perusahaan PT Timah Abrun Abubakar mengakui, penambangan timah selama sekitar 10 tahun terakhir bertambah marak. Kondisi itu dipicu hadirnya sejumlah pengumpul ilegal yang menawarkan harga timah yang lebih tinggi dari yang diberlakukan PT Timah kepada penambang rakyat. Perbedaan harga minimal Rp 5.000 per kilogram.

PT Timah, menurut Abrun, tidak bisa menyesuaikan harga yang diberlakukan pengumpul swasta karena badan usaha milik negara tersebut berkewajiban membayar royalti kepada negara sebesar Rp 5 juta per ton. Royalti itu terkait antara lain iuran kuasa pertambangan, pajak bumi dan bangunan pertambangan, serta pajak air bawah tanah.

Tingginya harga yang ditawarkan pengumpul swasta membuat warga setempat meningkatkan penambangan timah. Warga yang menjadi mitra kerja PT Timah pun menambang hingga di luar lokasi yang diizinkan. ”Implikasinya, laju kerusakan lingkungan semakin cepat dan parah dibanding sebelum reformasi,” kata Abrun

Tentang penambangan yang dilakukan PT Timah di laut, Abrun mengaku kegiatan tersebut atas dasar izin kuasa pertambangan yang mereka miliki. ”PT Timah memiliki kuasa pertambangan di laut seluas 143.136 hektar,” ujar Abrun.

Kepala Humas PT Timah Wirtsa Firdaus menambahkan, pihaknya memiliki rencana merehabilitasi laut dan akan melibatkan tim ahli Universitas Bangka Belitung, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung. Konsepnya sedang disempurnakan.

Menurut Apik Ch Rasjidi, tokoh masyarakat Bangka, swasta yang melakukan peleburan timah jangan dituduh ilegal. Kehadiran pihak swasta membuat harga timah lebih tinggi daripada yang dipatok perusahaan tertentu, tetapi ternyata lebih rendah daripada harga di pasar dunia.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung per 2010, luas areal kuasa pertambangan timah di laut yang dimiliki PT Timah mencapai 143.135 hektar, dan swasta 4.058 hektar. Adapun jumlah tambang apung di laut sekitar 1.269 unit. Jumlah kapal keruk lima unit, dan kapal isap 41 unit, yang sebagian besar milik PT Timah dan mitra swasta.

Seluruh tambang inkonvensional apung tidak memiliki izin atau ilegal. Adapun jumlah tambang inkonvensional darat sekitar 2.198 unit, dan hanya 10 persen di antaranya yang memiliki izin. Mereka umumnya menambang di lokasi bekas kuasa pertambangan milik PT Timah.

Menurut Alimudin (37), penambang timah dari Desa Batu Belubang, Kabupaten Bangka Tengah, kalangan nelayan pernah mendesak Bupati Bangka Tengah agar memberikan izin legalisasi pada penambangan rakyat (TI) tersebut. Namun, Bupati Bangka Tengah menyatakan penambangan inkonvensional apung tidak bisa diberi izin legal karena tidak ada peraturan daerah yang mengaturnya.

Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah, menurut kalangan nelayan, tengah mencarikan solusi tentang masalah tersebut, tetapi hingga saat ini belum ada solusinya. (JON/WAD/JAN)

Pemikiran tentang :

terumbu karang


Kerusakan Terumbu Karang Picu Pemanasan Global

Kerusakan terumbu karang yang cukup parah di perairan laut provinsi itu dapat memicu terjadinya pemanasan global.

"Terumbu karang terancam punah sehingga akibat aktivitas kapal isap para penambang timah di laut sehingga dapat memicu peningkatan suhu udara akibat kurangnya serapan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan tumbuhan di laut dan daratan," kata Kabid Kelautan dan Pengawasan pada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bangka Belitung (Babel), Agus Nurjaman APi.

Menurut dia, serapan karbodioksida semakin kurang dan suhu udara semakin meningkat akibat rusaknya terumbu karang dan hutan di daratan Babel.

"Pada 2010 sebanyak 45 unit kapal isap dan ratusan unit tambang timah apung beroperasi di perairan Babel sehingga memperparah kerusakan ekosistem laut yang berdampak peningkatan suhu udara dan hasil tangkap ikan nelayan," ujarnya.

Selain itu, kawasan hutan Babel sekitar 65 persen dari 657.510 hektar merupakan lahan kritis diakibatkan aktivitas pertambangan, pembakaran hutan dan perkebunan berskala besar.

"Kapal isap dan tambang timah apung dalam dua tahun belakangan terus bertambah sehingga hasil tangkapam ikan nelayan yang jumlahnya 16.920 kini semakin menurun akibat terumbu karang dan pencemaran air laut di wilayah tersebut semakin tinggi," ujarnya.

Menurut dia, kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan laut mengakibatkan sedimentasi yang dapat menurunkan kualitas ekosistem terumbu karang hingga menyebabkan kematian massal ekosistem terumbu karang karena tertutup sediment.

Padahal, dari 1 km2 terumbu karang yang sehat, dapat diperoleh 20 ton ikan yang cukup untuk memberi makan 1.200 orang di wilayah pesisir.

Pemulihan ekosistem ini membutuhkan waktu yang lama hingga lebih dari 100 tahun, ditambah lagi mata bor kapal isap yang mampu menghancurkan kumpulan terumbu karang.

Berdasarkan, penelitian Tim Eksplorasi Terumbu Karang Universitas Bangka Belitung, terumbu karang di wilayah Bangka Barat Pantai Tungau Simpang Gong Kecamatan Simpang Teritip, Pantai Tanjung Ular Kecamatan Mentok dan Pantai Bembang di Desa Pebuar Kecamatan Jebus, kondisi karang akibat penambangan tidak bagus lagi meski pantainya cukup indah dan alami.

Terumbu karang di perairan Kabupaten Bangka Selatan dan Kabupaten Bangka Tengah tinggal Pulau Semujur Dan Pulau Pebuar, dan Kabupaten Bangka Induk dengan Karang Kering di Desa Bedukang tidak ditemukan lagi.

Begitu juga karang yang beraneka warna dan bentuk tidak ada lagi. Biota-biota laut khasterumbu karang yang beraneka warna dan bentuk tak banyak lagi dijumpai kecuali bulu babi. (Ant/OL-7)


Pemikiran tentang :

Advokasi tambang???

PERTAMBANGAN
Mengadvokasi Pencemaran, Dikriminalisasi


Kompas - Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pacitan Handaya Aji
mengadukan kasus pencemaran perusahaan tambang di Kabupaten Pacitan, Jawa
Timur
, kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Selasa (31/8). Sementara
Handaya yang menjalankan advokasi justru terancam penjara karena kasus
kredit tani pada 1999, kedua perusahaan tambang itu tetap bisa beroperasi
tanpa analisis mengenai dampak lingkungan dan instalasi pengolahan air
limbah.

Handaya menyatakan, pertambangan sebuah perusahaan tambang asing, PT G,
memegang kuasa pertambangan seluas 2,33 hektar di Desa Kluwih, Kecamatan
Tulakan, Pacitan. ”Sejak 2007, perusahaan tersebut menambang tanpa terlebih
dahulu memberikan ganti rugi kepada warga. Penambangan itu mencemari Sungai
Tilang,” kata Handaya seusai mengadukan kasus itu di Kantor Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta.

Semua hasil tambang PT G dikirimkan kepada PT D yang beroperasi di hulu
Sungai Grindulu, Desa Pagutan, Kecamatan Arjosari, Pacitan. ”Perusahaan yang
disebutkan terakhir mengolah material menjadi emas. Pengolahan itu mencemari
Sungai Grindulu, sungai besar di Pacitan,” kata Handaya.

Handaya menyatakan, selain membiarkan kedua perusahaan terus mencemari
lingkungan, polisi juga menjerat dirinya dengan kasus penggelapan. Ia
menyatakan, pemidanaan dirinya tidak lepas dari upayanya mengadvokasi kasus
pencemaran tambang bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Yogyakarta.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta Suparlan menjelaskan,
proses advokasi Handaya dan Walhi telah berlangsung sejak 2008.

”Pencemaran yang terjadi di Sungai Grindulu memang berat karena perusahaan
pengolahan dibangun di tengah sungai. Dan, tidak pernah ada penindakan
terhadap perusahaan tersebut,” ungkap Suparlan saat dihubungi di Yogyakarta.

Komisioner Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue, menyatakan telah menerima
pengaduan Handaya. Komnas HAM serius menangani masalah tersebut.

Syafruddin menyatakan, Komnas HAM akan meminta klarifikasi dari Kepolisian
Resor Pacitan, Kepolisian Daerah Jawa Timur, dan Markas Besar Polri untuk
proses pemidanaan Handaya. (ROW)

sumber :

Pemikiran tentang :

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.