Dilema Pembangunan daerah BAngka BElitung

Membangun Babel Tanpa Timah


Oleh *Emil Salim* **

Usaha pertambangan sering menimbulkan kesan ganda, di satu pihak usaha ini
penting bagi pembangunan menaikkan pendapatan negara, di lain pihak merusak
lingkungan sosial dan alam.

Bahan tambang adalah sumber daya alam tak terbarukan dan punya batas waktu
tertentu bisa terkuras sampai susut habis. Pertambangan jaya selama masih
ada bahan tambangnya, tetapi jadi petaka begitu bahan tambang habis dan
kegiatan ekonomi pindah ke tempat lain dengan meninggalkan ”kolong kosong”.

Teknik penambangan merusak adalah pola ”penambangan terbuka” mengupas kulit
Bumi untuk disedot bahan tambangnya. Hutan dan tumbuhan dicukur habis
termasuk untuk jaringan jalan dan perkampungan karyawannya. Pola penambangan
terbuka ini juga menghasilkan limbah sisa galian yang menjadi incaran
penambang rakyat. Hasil akhir penambangan terbuka adalah lubang galian
menjadi kolam air di bentangan kawasan tanah liat bercampur pasir.

Harga bahan tambang berada di tangan pengolah yang memprosesnya menjadi
barang jadi di negara maju. Keuntungan utama dalam pertambangan terletak
pada nilai tambah hasil processing bahan mentah tambang. Pemerintahan negara
maju sering menetapkan tarif bea masuk untuk barang jadi tambang lebih
tinggi daripada tarif bahan mentahnya. Karena itu, bagi pengusaha tambang
negara berkembang lebih menguntungkan mengekspor bahan mentah ke luar negeri
ketimbang memprosesnya di dalam negeri. Maka kecil perkembangan industri
processing bahan tambang di negara berkembang sehingga rendah dampak
kegiatan pertambangan pada penciptaan lapangan kerja.

Dengan penekanan usaha pada produksi bahan mentah dan ekspor, maka ”kaitan
ekonomi ke dalam negeri” tidak besar. Hasil manfaat usaha pertambangan lebih
besar terletak pada nilai devisa hasil ekspor yang berkaitan ”ke luar
negeri”. Apabila harga bahan tambang di pasar internasional naik tinggi,
maka hasrat mengekspor terpacu lebih besar dan semakin intensif penggalian
pertambangan.

*Menggeser pertanian*

Pulau Bangka Belitung (Babel) adalah unik karena terletak di ”lidah tambang
timah” yang terbentang dari Thailand- Malaysia-Singapura dan berhenti di
Babel. Timah tidak hanya terdapat di daratan, tetapi juga di lautan kawasan
ini.

Yang menarik bahwa Thailand dan Singapura mengalihkan titik berat ekonominya
dari pertambangan timah ke sektor ekonomi jasa, seperti pertanian,
pariwisata, dan perbankan yang dipandang lebih menyejahterakan rakyatnya.
Hanya Pulau Bangka selama puluhan tahun tetap mengandalkan pembangunannya
pada pertambangan timah. Bahkan, akibat kenaikan harga timah akhir-akhir
ini, ekonomi masyarakat tergeser dari pertanian ke penggalian tambang
inkonvensional. Dulu Pulau Babel dikenal dengan lada putihnya, tetapi kini
tanaman ini terdesak leyap oleh penambangan timah.

Kalangan ahli memperkirakan sumber alam tambang Pulau Babel akan susut habis
di tahun 2030. Jangka waktu 20 tahun, 2010-2030, mencakup satu generasi yang
perlu diajak mengubah paradigma menjadi ”Membangun Babel Tanpa Timah”
menjelang tahun 2030. Babel punya sumber daya alam tanah daratan, pantai dan
laut yang berpotensi luas menopang pola pembangunan Babel secara
berkelanjutan.

Ada kegiatan menarik dipelopori tokoh-tokoh terkemuka Babel untuk
menghijaukan dan merehabilitasi lahan tambang di sekitar Bandara Depati Amir
Pangkal Pinang dengan tanaman ketapang, jambu mente, cemara angina, dan
sengon. Lahan milik masyarakat dikelola bersama, tetapi status lahan tetap
milik masyarakat. Tanah areal bekas penambangan disuburkan dengan kotoran
dan urine sapi yang diolah jadi kompos dan disebar ke tanah areal bekas
penambangan.

Para tokoh pengusaha terkemuka Babel juga membangun Bangka Botanical Garden
(BBG) seluas 300 hektar di Ketapang, Pangkal Pinang, menjadi lokasi
pembibitan tanaman dan juga pemeliharaan jenis sapi FH perah, sapi
Limousine, sapi Brangus, sapi Simental, dan sapi Bali berjumlah 300 ekor.
Hasil susu sebanyak 300 liter sehari disumbangkan kepada murid-murid taman
kanak-kanak dan sekolah dasar. Dengan mengindahkan udara panas Pulau Bangka,
maka BBG mengembangkan buah bernilai tinggi, seperti buah naga merah yang
mulai banyak digemari di luar negeri.

Usaha BBG membuktikan bahwa areal lahan bekas penambangan timah bisa
”dihidupkan” kembali dengan pemupukan, pembibitan buah yang sesuai dengan
suhu udara. Juga bisa dikembangkan pembibitan ikan hias yang bernilai
tinggi.

Pantai pasir putih Babel, seperti tergambarkan dalam film Laskar Pelangi,
lebih indah dalam wujud aslinya dan memiliki potensi pariwisata tinggi
apabila ditopang prasarana jalan, listrik, air minum, dan lain-lain. Belum
lagi diangkat potensi wisata sejarah dengan hadirnya tempat-tempat
pengasingan para pemimpin kemerdekaan kita, Bung Karno, Bung Hatta, Haji
Agus Salim, Mohammad Roem, dan lain lain. Yang diperlukan adalah penuangan
tempat bersejarah bangsa dalam kisah menarik.

Maka, terpampang di hadapan kita ”Babel tanpa Timah” yang didasarkan pada
pengembangan multisektor mencakup sumber daya terbarukan pertanian,
perikanan, perkebunan, peternakan, pariwisata, dan sebagai pusat
pengembangan sumber daya manusia.

Banyak putra-putri Babel meraih posisi intelektual tinggi di luar Babel.
Jika di masa lalu perspektif masa depan hanya terbatas pada sektor tunggal
penambangan timah, kini tiba saatnya mengembangkan multisektor ekonomi Babel
menggantikan peranan pertambangan timah pasca-2030. Untuk ini diperlukan
pengembangan sumber daya manusia andal.

PT Timah merencanakan pembangunan Menara Timah yang menjulang tinggi sebagai
ikon Pulau Babel. PT Timah bisa berjasa besar apabila Menara Timah dijadikan
sentra pendidikan pascasarjana S-3, doktor, dan ilmuwan ulung dengan pusat
laboratorium, pusat perpustakaan, serta pusat sains dan teknologi yang mampu
menanggapi tantangan pembangunan membangun Babel tanpa timah dan
menjadikannya pusat Indonesia unggul umumnya abad ke-21 ini.

Emil Salim *Dosen Pascasarjana UI*

Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/17/03191570/membangun.babel.tanpa.timah

Pemikiran tentang :

Lautku Yang malang.....

Kerusakan Laut Tak Terkendali

Penertiban Tambang Timah Ilegal Dilematis karena Jadi Nafkah Rakyat


*Pangkal Pinang, Kompas* - Penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung
kian tidak terkendali. Setelah di wilayah darat sudah menimbulkan kerusakan
lingkungan yang sangat parah, aktivitas itu terus menjalar hingga ke laut.

Berdasarkan pengamatan Kompas di lapangan pekan lalu, penambangan timah di
perairan Bangka dan Belitung kian marak dan dilakukan secara massal. Di
samping operasi PT Timah, terlihat pula sejumlah perusahaan swasta yang
mengantongi izin resmi dari pemerintah beroperasi, demikian pula penambang
ilegal kelompok masyarakat setempat.

Bagi perusahaan besar, seperti PT Timah, penambangan menggunakan kapal
berukuran besar, sedangkan masyarakat lokal cenderung mengoperasikan perahu.
Dari kapal atau perahu timah disedot dari dasar laut.

Dalam sehari puluhan ton pasir disedot. Setelah pasir timah tersebut
tertampung, limbah berupa tanah langsung dibuang lagi ke laut. Akibatnya,
kawasan perairan yang menjadi kawasan penambangan umumnya airnya terlihat
berwarna lebih gelap. Sedimentasi tanah menutup dan mematikan terumbu
karang, dan sebaliknya alga merajalela. Oleh karena itu, ekosistem laut di
wilayah Bangka kini rusak parah.

”Sudah 40 persen terumbu karang di perairan Bangka hancur gara-gara
penambangan timah. Di Teluk Klabat, sebelah barat laut Bangka, kehancuran
terumbu karang mencapai 80 persen, sebab di lokasi itu penambangan timah
dilakukan sudah puluhan tahun oleh PT Timah. Sebagai akibatnya, ikan semakin
sulit didapat karena habitatnya sudah hancur,” kata Kepala Dinas Perikanan
dan Kelautan Provinsi Bangka Belitung H Yulistyo.

Hal senada ditegaskan Indra Ambalika, Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang
Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Sejak
2006, laju kerusakan ekosistem laut akibat penambangan timah jauh lebih
parah daripada wilayah daratan.

Bahkan, perusahaan nasional sekelas PT Timah, menurut Indra, belum
menerapkan prinsip rehabilitasi lingkungan laut yang memadai. ”Yang baru
dilakukan sebatas menaruh rumpon, lalu dibiarkan begitu saja. Tidak ada
kelanjutannya. Padahal, itu tidak cukup untuk merehabilitasi ekosistem
laut,” tutur Indra Ambalika.

Sejumlah nelayan mengakui, sekarang makin sulit menangkap ikan di pesisir.
”Ikan kembung sudah sulit didapat. Kayu untuk bagan juga sulit didapat,”
kata Udin (30), nelayan di Desa Pala, Jebus, Bangka Barat.

Itu sebabnya, banyak nelayan banting setir menjadi penambang timah ilegal
dengan menggunakan bagan terapung yang biasa disebut tambang inkonvensional
(TI) apung.

*Sulit diatasi*

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bangka Belitung Amrullah Harun
mengakui, kerusakan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung, termasuk di
laut, kini sudah sangat memprihatinkan, terutama sejak masa otonomi daerah.
Namun, kasus ini tidak mudah diatasi.

”Pemerintah berada dalam posisi dilematis. Jika aktivitas pertambangan
ilegal ditertibkan, pemerintah akan ramai-ramai didemo masyarakat yang
telanjur menggantungkan hidupnya pada penambangan timah inkonvensional.
Namun, jika terus dibiarkan, lingkungan akan bertambah rusak,” ujar
Amrullah.

Sekretaris Perusahaan PT Timah Abrun Abubakar mengakui, penambangan timah
selama sekitar 10 tahun terakhir bertambah marak. Kondisi itu dipicu
hadirnya sejumlah pengumpul ilegal yang menawarkan harga timah yang lebih
tinggi dari yang diberlakukan PT Timah kepada penambang rakyat. Perbedaan
harga minimal Rp 5.000 per kilogram.

PT Timah, menurut Abrun, tidak bisa menyesuaikan harga yang diberlakukan
pengumpul swasta karena badan usaha milik negara tersebut berkewajiban
membayar royalti kepada negara sebesar Rp 5 juta per ton. Royalti itu
terkait antara lain iuran kuasa pertambangan, pajak bumi dan bangunan
pertambangan, serta pajak air bawah tanah.

Tingginya harga yang ditawarkan pengumpul swasta membuat warga setempat
meningkatkan penambangan timah. Warga yang menjadi mitra kerja PT Timah pun
menambang hingga di luar lokasi yang diizinkan. ”Implikasinya, laju
kerusakan lingkungan semakin cepat dan parah dibanding sebelum reformasi,”
kata Abrun

Tentang penambangan yang dilakukan PT Timah di laut, Abrun mengaku kegiatan
tersebut atas dasar izin kuasa pertambangan yang mereka miliki. ”PT Timah
memiliki kuasa pertambangan di laut seluas 143.136 hektar,” ujar Abrun.

Kepala Humas PT Timah Wirtsa Firdaus menambahkan, pihaknya memiliki rencana
merehabilitasi laut dan akan melibatkan tim ahli Universitas Bangka
Belitung, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung.
Konsepnya sedang disempurnakan.

Menurut Apik Ch Rasjidi, tokoh masyarakat Bangka, swasta yang melakukan
peleburan timah jangan dituduh ilegal. Kehadiran pihak swasta membuat harga
timah lebih tinggi daripada yang dipatok perusahaan tertentu, tetapi
ternyata lebih rendah daripada harga di pasar dunia.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung per 2010, luas areal kuasa pertambangan timah di laut yang dimiliki
PT Timah mencapai 143.135 hektar, dan swasta 4.058 hektar. Adapun jumlah
tambang apung di laut sekitar 1.269 unit. Jumlah kapal keruk lima unit, dan
kapal isap 41 unit, yang sebagian besar milik PT Timah dan mitra swasta.

Seluruh tambang inkonvensional apung tidak memiliki izin atau ilegal. Adapun
jumlah tambang inkonvensional darat sekitar 2.198 unit, dan hanya 10 persen
di antaranya yang memiliki izin. Mereka umumnya menambang di lokasi bekas
kuasa pertambangan milik PT Timah.

Menurut Alimudin (37), penambang timah dari Desa Batu Belubang, Kabupaten
Bangka Tengah, kalangan nelayan pernah mendesak Bupati Bangka Tengah agar
memberikan izin legalisasi pada penambangan rakyat (TI) tersebut. Namun,
Bupati Bangka Tengah menyatakan penambangan inkonvensional apung tidak bisa
diberi izin legal karena tidak ada peraturan daerah yang mengaturnya.

Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah, menurut kalangan nelayan, tengah
mencarikan solusi tentang masalah tersebut, tetapi hingga saat ini belum ada
solusinya. (JON/WAD/JAN)

Sumber ;
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/05/17/ 05223585/ .kerusakan. laut.tak. terkendali

Pemikiran tentang :

Sand problem......

MENANGGULANGI PROBLEM SAND PADA

SUMUR - SUMUR MINYAK


Arif Eka Rahmanto

Permasalahan

Produksi pasir di sumur-sumur minyak (MIGAS) di lapangan banyak dijumpai dari lapisan frack pack batu pasir kedalaman dangkal sampai yang dalam. Produksi pasir ini sangat sensitif karena tergantung dari kecepatan rate produksi, biasanya pada kecepatan tertentu pasir tidak akan terproduksi. Tetapi menjadikan sumur tidak ekonomis.

Latar Belakang

Masalah produksi pasir banyak dijumpai pada lapangan-lapangan minyak bumi dari lapisan batu pasir produktif dikedalaman dangkal sampai yang dalam. Produksi pasir mulai terjadi jika stress yang dialami formasi telah melebihi kekuatan formasi batuan, kekuatan formasi batuan ini yang merupakan kekuatan alami material sementasi batuan dalam menjaga kesatuan butiran – butiran batu pasir dalam formasi selain adanya gaya kohesi dari “Immobile Formation Water/Fenida”. Stress yang dialami oleh butiran-butiran batuan pasir antara lain dapat berupa gaya tektonik, tekanan over burden, tekanan dari perubahan stress akibat pemboran, serta adanya gaya dorong oleh fluida produksi.

Produksi pasir sempat sensitif terhadap kecepatan rate produksi dan pada kecepatan tertentu dimana pasir tidak akan terproduksi kondisi turunnya kecepatan produksi tersebut bisa menjadikan sumur tidak ekonomis jika pasir formasi mudah terproduksi hanya dengan gerakan fluida/rate yang sangat lamban sekalipun. Pada formasi batu pasir bersifat unconsolidated material penyemen butiran-butiran pasir, pada umumnya berupa lempung halus (de tritaloag) dan yang hampir tidak memberikan kekuatan untuk mampu bertahan melawan berbagai stress formasi, sehingga pasir akan terproduksi mulai dari awal sumur dikomplesi. Formasi batu pasir yang lebih kokoh (competent) mungkin tidak memproduksikan pasir pada awal produksi namun setelah masa produksi tertentu mulai terjadi produksi pasir. Hal ini bisa dipahami bahwa dengan turunnya tekanan reservoir maka tiap-tiap butiran pasir akan memakan beban tekanan over burden yang makin besar yang kemudian berakibat meningkatnya stress antar butiran hingga melampaui kemampuan material penyemen didalam formasi batu pasir tersebut.

Masalah kepasiran pada sumur-sumur produksi akan menjadi sangat serius manakala mulai memproduksikan air. Alasan-alasan yang dapat diterima mengenai hal ini antara lain :

  1. Menaikkan produksi fluida total untuk tetap menjaga harga rate produksi minyak dan gas bisa berakibat membesarnya gaya dorong disepanjang aliran fluida di dalam formasi.
  2. Membuat gangguan terhadap gaya kohesi ketika fasa air mulai bersifat “ Mobile “.
  3. Gaya dorong fluida membesar dengan adanya dua fasa fluida yang sekaligus bergerak / mengalir serta naiknya harga mobilitas fasa fluida pembasah (wetting phasa).
  4. Terjadi pelarutan atau pelunakan material penyemen batu pasir.

Tentu harus dipikirkan upaya optimal untuk tetap dapat memproduksikan fenida hidrokarbon hingga dengan rate tertentu hingga batas-batas dimana sumur masih di kategorikan ekonomis.

Demikian halnya dengan lapangan-lapangan migas yang diduga memiliki potensi “masalah kepasiran” jika dikembangkan perlu dilakukan kajian yang mendalam dengan mengaitkan beberapa metoda dan dasar-dasar geoscience agar diperoleh alasan-alasan yang kuat untuk memutuskan aplikasi teknologi komplesi serta program-program perawatan sumur.



Metoda Identifikasi Sand

Untuk mengidentifikasi jenis pasir formasi perlu dikumpulkan berbagai bukti dan data yang berkaitan dengan formasi batu pasir tersebut. Informasi yang terbaik adalah dari batu inti (Core) yang diambil dari tiap lapisan kedalaman batu pasir, namun tidak jarang bahwa core yang diambil tidak bisa mewakili sifat lapisan batu pasir yang sebenarnya. Oleh karena kesalahan-kesalahan melakukan coring, terutama pada lapisan batu pasir lepas (Unconsolidated Sands).

Juga lakukan monitoring terhadap konsentrasi pasir, monitoring terhadap konsentrasi pasir yang diproduksikan bersama dengan fluida produksi. Cara ini dapat membedakan jenis pasir dengan kategori atau type “quicksand” jika produksi pasir relatif konstant, “Partially Consolidated” bila produksi sand yang ditampung terjadi funktuasi, dan dikategorikan sebagai pasir “Suiable” bila konsentrasi pasir terproduksi menurun bertahap hingga minimum.

Metoda analisa log sumuran dapat pula dilakukan untuk mengenali kekuatan relatif dari tiap lapisan pasir, namun perlu diketahui bahwa beberapa type lapisan pasir yang berbeda dapat ditemui dibawah permukaan melalui hasil rekam log sumuran tersebut. Pada saat dapat dijumpai produk-produk analisa rekam sumuran yang dikhususkan untuk identifikasi sifat-sifat mekanik batuan pada lapisan yang ditembus.

Bahkan juga dapat dilakukan pekerjaan “Well Core Image” yang mampu menangkap kenampakan (Feature) batuan yang ditembus untuk lebih mengenali karakteristik inisitas stress batuan.

Untuk dapat memberikan pertimbangan mengenai desain sand control yang sesuai bagi type batu pasir lapisan berpotensi pasiran, maka dilakukan analisa-analisa sebagai berikut :


1. Analisa Ayakan Butiran.
2. Analisa Tingkat Stabilisasi Clay.
3. Analisa Kelarutan Asam.
4. Analisa Compabilitas Fluida.
5. Test Porositas dan Permeabilitas.
6. Analisa Wetabilitas.

Ad. 1) Analisa Ayakan Butiran.

Analisa Ayakan Butiran batu pasir dari sample yang benar-benar dapat mewakili interval lapisan batu pasir (sample perfoot) untuk mengetahui distribusi ukuran butiran batu pasir sedemikian sehingga dapat memberikan ukuran gravel site yang tepat atau pun ukuran spasi screen yang optimum. Sehingga didapatkan hasil minimasi pasir terproduksi atau menghentikan sama sekali produksi pasir yang mungkin terjadi, namun tujuan produksi fluida reservoir tetap terjaga.

Ad. 2) Analisa Tingkat Stabilisasi Clay.

Hadirnya Clay dalam satuan batu pasir mempunyai pengaruh besar terhadap keefektifan penanganan control pasir. Antara lain dengan mengetahui type Clay, konsentrasi serta kandungan Clay dalam matrik maupun pori batuan. Analisa Clay ini biasanya dilakukan dengan menggunakan “X-ray Diffraction Analisis” untuk menentukan tipe dan jumlah tiap Clay yang ada.

Ad. 3) Analisa Kelarutan Asam.

Uji kelakuan sampel batu pasir terhadap asam perlu dilakukan agar pada pekerjaan keasaman untuk tujuan pembersihan daerah sekitar sumur akibat kerusakan oleh lumpur pemboran cukup efektif tanpa merusak matrik batuan. Jadi perlu dianalisa untung – ruginya pengasaman.



Ad. 4) Analisa Kompatibilitas Fluida.

Berbagai aditif dan bahan kimia yang akan dipakai untuk penanganan sumur perlu diuji kecocokannya agar tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan pada formasi yang produktif. Seperti test emulasi, korosi.

Ad. 5) Uji Porositas dan Permeabilitas.

Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui adanya indikasi permasalahan Clay, selain untuk menentukan analisa kerja pengasaman dan kontrol pasir.

Ad. 6) Analisa Wetability.

Walaupun pada umumnya pasir bersifat water wet, namun perlu dilakukan verifikasi dilaboratorium. Jika ternyata mempunyai sifat oil wet, maka akan menimbulkan permasalahan jika dilakukan “Plastic Treatment”. Kepastian sifat pembasahan batu pasir ini juga sangat diperlukan untuk desain kontrol pasir.

Cara-cara penanganan masalah pasir tersebut diatas merupakan cara yang telah dilakukan pada umumnya.PENANGANAN MASALAH PROBLEM PASIR SECARA KHUSUS.“METODA YIELD ENERGY APPROACH”.TEKNIK PENANGGULANGAN PROBLEM KEPASIRAN
SUMUR-SUMUR PRODUKSI MIGAS DI PERTAMINA


Dari beberapa data lapangan, bahwa problem produksi yang sering dialami mempengaruhi laju produksi sumur adalah problem kepasiran beberapa cara teknik yang digunakan untuk menanggulangi problem kepasiran tersebut antara lain :

1. Sand Clean Up

Dikerjakan dan dilaksanakan untuk sumur-sumur yang mengalami problem kepasiran dengan “Field Up Rate” (kecepatan pasir menutupi lubang sumur) yang paling rendah dan hanya mengganggu laju produksi secara berkala, karena lubang perforasi tertutup oleh pasir atau lempung.

Teknik dan peralatan yang dapat diaplikasikan untuk Sand Clean Up adalah :

a. Sand Bailer / Sand Pump

Dimana alat ini berbentuk barrel yang dirangkai dengan tubing dan dimasukkan ke dalam lubang sumur dengan rangkaian tubing atau wire line dan sampai kedalaman yang diinginkan dan setelah barrel penuh berisi pasir, rangkaian tubing / wire line diangkat ke permukaan, selanjutnya pasir dibersihkan di permukaan, begitu seterusnya sampai tinggi pasir dibawah lubang perforasi. Semua operasi cabut masuk rangkaian tubing dan wire line menggunakan work over rig.

Estimasi biaya :
Work Over Rig Rp............ X 7 hari kerja US$
SDM
Completion Fluid :......................... US$
Total :......................... US$

b. Clean Up Sand

Membersihkan pasir dengan menggunakan rangkaian tubing atau coil tubing, dimana water gel di pompakan / disirkulasikan ke dalam lubang sumur sampai tinggi pasir dibawah tinggi lubang perforasi. Operasi tersebut menggunakan work over rig atau tubing unit.

Estimasi biaya :
Form Chemical
Work Over Rig
Personel
Total

Contoh kasus:

Dengan coil tubing unit
Coil tubing US$ 35,000
Chemicals US$ 500
Personnel US$ 2,000
Total US$ 37,500

c. Vacum Clean Sand

Dikerjakan dengan menggunakan Coil Tubing Unit (CTU) yang diujung coil tubing dipasang “Vacum Tool” yang dikoneksikan dengan Dual String Coil Tubing (diameter 2.375” dan 1.25”), dimasukkan kedalam sumur dan dipompakan fluida water gel / fresh water melalui coil tubing menghasilkan efek jetting di “Vacum Tool” yang menghisap pasir dan mengalir ke permukaan melalui anmulus CT – CT.

Estimasi Biaya :
Seandainya menggunakan Coil Tubing Unit :
Coil Tubing Unit US$ 35.000
Chemicals US$ 500
Personnel US$ 2.000
Additional Charge US$ 2.000
Total US$ 39.500

2. Sand Consolidation

Dikerjakan untuk sumur-sumur yang mengalami kepasiran dengan “Fill Up Rate” yang cepat / tinggi dan dapat merusak peralatan produksi (obrasive). Seperti pompa, tubing, drifice dll, sehingga laju produksi tidak optimum bahkan sumur tersebut tidak dapat berproduksi lagi.
Peralatan yang digunakan untuk sand consolidation adalah :

a. Screen / Slotted Liner, menggunakan screen yang ditempatkan I depan perforasi untuk mencegah dan manyaring pasir dari lubang perforasi. Ukuran lubang dari screen ditentukan oleh analisa butiran (sleve analisis) dari pasir produksi.

Estimasi biaya
Workover Rig US$.
Screen Liner / m US$
Total US$

b. Gravel Pack, menggunakan gravel (pasir) yang ditempatkan di anmulus antara screen dan perforated casing, dengan cara dicampur dengan water gel dan dipompakan melalui gravel pack tool. Ukuran butiran dari butiran gravel tersebut ditentukan oleh analisa butiran (Sieve Analisis) dari pasir yang terproduksi.
Estimasi biaya
Pompa dll
Chemicals
Personel
Total

c. Sand Resin Coated, menggunakan pasir / gravel yang ditempatkan di formasi dengan cara dicampur dengan water gel dan dipompakan masuk ke dalam formasi dan di aktifkan resinnya dengan menggunakan activator.
Estimasi biaya
Pompa dll
Chemicals Resin
Personel
Total

3. Sand Fracturing

Dilakukan untuk mengatasi sumur-sumur yang mengalami problem selain kepasiran juga mengalami problem kerusakan formasi (Formastion Damage) mis scale, filtrate lumpur/bonding semen jelek atau dikarenakan permeabilitas batuan yang rendah. Teknik dan peralatan yang dibutuhkan untuk sand frac adalah :

A. Frac Pack

Menggunakan fracturing unit yang digunakan untuk menempatkan pasir / gravel di formasi dan di screen-screen casing perforated anmulus, dengan cara memompakan pasir yang dicampur dengan water gel melewati gravel pack tool (Square Position) pada tekanan diatas tekanan rekam formasi, setelah jumlah pasir sesuai dengan fracturing program atau mengalami screen out. Gravel Pack Tool di set pada posisi (Circulated) dan di lanjutkan dengan memompakan pasir sampai kondisi pack di anmulus screen-casing tercapai.

Estimasi biaya :
Pompa
Chemicals, pasir
Personel
Total

B. Damage Frac

Menggunakan pasir / gravel yang ditempatkan di formasi dengan cara dicampur dengan water gel dan dipompakan dengan fracturing unit pada tekanan diatas tekanan formasi. Dengan terisinya formasi dengan pasir yang butirannya lebih homogen dan permeabilitasnya diharapkan formasi mengalami kenaikan permeabilitas dan mengalami stabilitas formasi yang lebih baik sehingga pasir tidak terproduksi ke lubang sumur.

Sumber :

1. Dwijono, Ir. Mustofa."Petunjuk Praktis Menanggulangi Problem Sand Di Lapangan PERTAMINA dan Meningkatkan Produksi".2004.
2. Diktat Kuliah Teknik Pemboran II, Jurusan Teknik Perminyakan, Universitas Trisakti, 2001.
3. Sumantri. R. Buku Pelajaran Teknik Resevoir. Fakultas Technology Kebumian dan Energy. Universitas Trisakti. Jakarta. 1998.





Pemikiran tentang :

rental pulau...????

Menyewakan Pulau Terluar

Oleh: M. Riza Damanik

Wacana penyewaan pulau-pulau kecil kian menguat setelah dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut yang kini berganti nama menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), satu dekade silam.

Seolah terus melakukan inovasi, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pun kembali mengikhtiarkan upaya penyewaan pulau-pulau kecil, khususnya pada 12 pulau kecil terluar kepada pihak asing melalui jalur investasi ekonomi.

Negara-negara tersebut di antaranya adalah Australia yang berminat investasi di Pulau Banda Naira, Singapura di Pulau Nipah dan Kepulauan Anambas, serta Maladewa di Banyuwangi, termasuk mendapat dukungan pengamanan TNI AL (Kompas, 25/3).

Dalam pandangan penulis, gagasan ini terkesan “kalap” hingga “menabrak” nilai-nilai kepatutan historis—setelah lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia—sekaligus berseberangan dengan isyarat hukum yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 29 Desember 2005 silam.

Pada lingkup kebijakan nasional, keputusan ini mengundang perhatian sekaligus keprihatinan untuk ditinjau-ulang: pertama, terkait kewenangan dan kelembagaan. Terlepas dari motif dan latar belakang Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad sebagai seorang pengusaha, keputusan sepihaknya untuk membuka investasi di pulau-pulau kecil terluar mengandaikan adanya penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Bertentangan
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 78/2005, diketahui bahwa keputusan atas pilihan dan strategi pengelolaan pulau kecil terluar tidak cukup dilakukan oleh seorang Menteri Kelautan dan Perikanan (saja). Akan tetapi, oleh Tim Koordinasi yang terdiri dari 20 pejabat negara se tingkat menteri—di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan—bersama Presiden. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa kepentingan utama dari Tim Koordinasi lebih pada kepentingan politik, hukum, dan keamanan—bukan ekonomi.

Demikian halnya klaim Menteri Kelautan atas peran serta TNI AL untuk turut mengamankan investasi asing di pulau-pulau kecil terluar. Tidak saja berseberangan dengan apa yang diisyaratkan perpres, namun ini sekaligus telah melampaui tugas pokok institusi TNI AL itu sendiri, seperti menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah, menegakkan hukum di laut, serta melaksanakan perang dan pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dari ketiganya, dipastikan tidak ada penugasan kepada TNI AL sebagai alat negara untuk menjadi “satuan pengaman” bagi investasi asing di pulau-pulau terluar.

Kedua, pengabaian prinsip-prinsip pengelolaan. Peraturan Presiden No 78/2005 menjabarkan tiga prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar: prinsip Wawasan Nusantara yang menjelaskan klaim politik terhadap kedaulatan Indonesia atas pulau-pulau terluar; prinsip berkelanjutan untuk menjamin pulau-pulau tersebut tetap eksis, baik secara lingkungan, sosial, dan ekonomi, tidak terbatas dalam upaya mitigasi perubahan iklim yang mengancam tenggelamnya 2.000 pulau kecil di Indonesia; dan prinsip berbasis masyarakat. Prinsip terakhir ini dipastikan menjadi pengikat prinsip-prinsip sebelumnya. Ini ada guna menggenapkan kedaulatan politik atas pulau-pulau terluar dengan menguatkan kemandirian bangsa. Bukannya memberikannya pada pihak asing.

Reformasi Pengelolaan
Sepintas, keberadaan pulau-pulau kecil terluar dapat memberikan ketertarikan lebih pada kepentingan ekonomi. Sebut saja Pulau Nipah di Kepulauan Riau yang kaya akan potensi pasir laut, dan Pulau Banda Maluku Tengah yang cukup kaya dengan keindahan bawah laut serta sejarah peninggalan Hindia-Belanda. Namun, posisi geografisnya yang berbatasan langsung dengan negara lain, juga minimnya akses pemerintahan dari dan ke pulau-pulau terluar tersebut, justru mengisyaratkan tingginya kerentanan ekologis dan ekonomis, baik dari dalam maupun luar negara.

Sejalan dengan itu, Kepala Bidang Kerja Sama Pertahanan Kementerian Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Kolonel Laut Rusdi Ridwan, pernah mengingatkan bahwa terdapat 12 pulau terluar yang perlu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah karena rawan terhadap ke mungkinan terjadinya konflik kepemilikan dan konflik perbatasan (Media Indonesia, 23/1).

Dengan demikian, pantas kiranya pemerintah melalui Perpres 78/2005 berkonsentrasi untuk memberdayakan masyarakat sekaligus mengamankan kepentingan nasional terhadap pulau-pulau kecil terluar tersebut, bukannya malah mengamankan investasi asing.

Upaya tersebut dapat dimulai dengan mengintensifkan keterlibatan perguruan tinggi, sekolah-sekolah kejuruan, dan pesantren untuk mengoptimalkan sumber dayanya guna memberdayakan pulau-pulau kecil terluar.

Selain untuk menancapkan pengaruh keindonesiaan di pulau-pulau kecil terluar, hal ini juga dapat merangsang pembangunan pulau kecil yang berwawasan nusantara, berkelanjutan, dan yang terpenting berbasiskan masyarakat.

Berikutnya, reformasi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga mendesak dilakukan. Ini dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat lokal atau masyarakat tradisional yang berkepentingan terhadap wilayah kepulauan perbatasan, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk terlibat dalam setiap keputusan terkait pilihan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan.

Mengingat, melepaskan urusan pengelolaan pulau tersebut pada level pemerintahan dalam kurun waktu lima tahun terakhir hanya akan menjadikan pulau-pulau kecil sebagai “komoditas dagang.” Hal ini mendesak dilakukan, agar pulau-pulau terluar benar-benar menjadi halaman depan yang menampilkan Indonesia yang berdaulat, sejahtera, dan mandiri.*

Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan peneliti pada Institut Hijau Indonesia.


Pemikiran tentang :

kerusakan lingkungan Vs ekonomi


Kerusakan Lingkungan Jadi Taruhan Pertumbuhan Ekonomi

Hongkong, Kompas - Kerusakan lingkungan hidup kerap menjadi taruhan dari
pesatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diperlukan kearifan para pemimpin
negara agar pertumbuhan ekonomi tidak lagi didewa-dewakan sebagai penanda
keberhasilan rezim.

Ronald Henkoff, Editor Bloomberg Market Magazine Amerika Serikat,
melontarkan peringatan itu dalam diskusi bertajuk ”Dilema Lingkungan Hidup
Asia” pada Konferensi Media Internasional, Senin (26/4) di kampus
Universitas Hongkong, Hongkong, China. Konferensi bertema ”Melaporkan
Realitas Baru di Asia-Pasifik” itu dihadiri 300 jurnalis se-Asia Pasifik.

Menurut Henkoff, krisis ekonomi yang menerpa Asia pada 1997 berdampak
positif dengan bangkitnya raksasa-raksasa ekonomi baru Asia, seperti China
dan India. ”Namun, keberhasilan sejumlah negara itu, dalam pengamatan saya,
kurang diimbangi dengan kesuksesan mereka mengatasi sejumlah isu fundamental
dalam negeri,” ujarnya.

Henkoff mendasarkan asumsinya itu berdasarkan pemantauannya terhadap
kerusakan lingkungan di Malaysia dan India. Malaysia, tuturnya, membuktikan
diri sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbaik di
Asia Tenggara. Salah satu sandaran ekonomi negara kesultanan itu tak lain
ekspor kelapa sawit. ”Tetapi, lahan kelapa sawit di Malaysia, tepatnya di
Negara Bagian Serawak, dibikin dengan membabat hutan tropis di Pulau Borneo
(Kalimantan). Itu jelas deforestation,” tambah Henkoff.

Pembabatan hutan untuk lahan perkebunan, seperti dilakukan Malaysia, menurut
Henkoff, berkontribusi terhadap pemanasan global. Lebih celaka lagi, upaya
kelompok kritis di Malaysia terhadap deforestation ini tidak ditanggapi
positif. ”Justru yang saya dengar ada tekanan terhadap para aktivis itu
karena ada kepemilikan dari unsur petinggi negara dalam bisnis tersebut,”
tutur Henkoff lagi.

Henkoff menegaskan, ia tidak hendak mengklasifikasikan pertumbuhan ekonomi
sebagai hal tabu. Akan tetapi, semata-mata mengimbau para pemimpin negara
agar menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan upaya membuat
kehidupan warganya sejahtera.

* Mesin-mesin baru*

Isu pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia menjadi salah satu bahasan
penting dalam konferensi yang diadakan atas kerja sama East-West Center dan
Universitas Hongkong itu. Editor Business Standard, India, Dr Sanjaya Baru,
mengungkapkan, ekonomi dunia kini tak hanya digerakkan oleh satu-dua mesin.

”Mesin ekonomi dunia kini tak hanya Amerika Serikat dan Uni Eropa, tetapi
juga mesin-mesin ekonomi baru seperti China di Asia dan Brasil di Amerika
Selatan. Muncul pula Afrika Selatan di Afrika dan beberapa negara ASEAN,”
kata Baru, yang juga mantan penasihat Perdana Menteri India Manmohan Singh.
(Adi Prinantyo, dari Hongkong, China)

sumber :

Pemikiran tentang :

Bencana akibat lalai....

Bencana Bisa Terjadi bila Abaikan Lima DAS

* Kehadiran Kanal Timur justru bisa menjadi
bencana bagi warga Jakarta bila lima daerah aliran sungai yang airnya menuju
Kanal Timur diabaikan. Pasalnya, jumlah air yang meresap kian sedikit,
karena rusaknya derah resapan. Akibatnya, air yang masuk Kanal Timur akan
langsung ke laut. Kondisi seperti ini juga akan memperluas intrusi air laut
ke darat.

Demikian disampaikan Manager Kampanye Air dan Pangan Wahana Lingkungan Hidup
Muhammad Islah di Jakarta, Kamis (22/4). Menanggapi hal tersebut, Kepala
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio, yang
dihubungi terpisah, mengatakan, pihaknya sudah memperbaiki kondisi lima
daerah aliran sungai (DAS).

Kelima DAS yang airnya mengalir ke Kanal Timur adalah Kali Sunter, Kali
Buaran, Kali Jatikramat, Kali Cakung, dan Kali Cipinang.

”Oleh karena itu, wilayah resapan air di kelima DAS harus dipulihkan.
Demikian pula kawasan tepian proyek BKT. Bila kawasan resapan air bisa
mencapai kondisi maksimal menyerap air hujan, sebagian air hujan tidak
langsung meluncur ke laut lewat BKT,” kata Islah.

Ia memaparkan, kelima DAS baru bisa dikatakan sebagai daerah resapan air
yang memenuhi syarat bila seluruh tepiannya dibebaskan dari bangunan dan
ditanami pepohonan pelindung.

Menurut Islah, seharusnya sebelum membangun Kanal Timur, pemerintah sudah
memperhitungkan hal ini. Selanjutnya, masalah pemeliharaan menjadi tanggung
jawab bersama pemerintah daerah yang dilewati DAS.

”BKT justru akan menjadi bencana kalau di tepian kelima DAS justru dibangun
permukiman, bahkan rumah susun atau apartemen. Kalau sudah begini, DAS dan
BKT cuma dijadikan tempat pembuangan sampah. Ya sampah industri, ya sampah
rumah tangga,” kata Islah.

*Sudah dipulihkan*

Menyangkut kawasan resapan air di kelima DAS, Pitoyo mengatakan, pihaknya
sudah melakukan langkah pemulihan, antara lain melakukan penghijauan dan
perbaikan parit. Meski demikian, ia mengakui, sebagian besar tepian kelima
DAS terkepung kawasan permukiman.

”Kalau soal sampah, sebaiknya tanyakan kepada dinas-dinas terkait, seperti
dinas kebersihan, dinas pekerjaan umum, dinas pertamanan, dan PD Pasar Jaya.
Sebab, sampah di kali itu tanggung jawab mereka,” ujar Pitoyo.

Ia mengatakan, pihaknya tak bisa membangun pintu saringan sampah, baik di
ujung hulu Kanal Timur yang mengalirkan air Kali Cipinang maupun membangun
saringan air di kelima DAS.

”Kalau pintu saringan dibangun di BKT, akan terjadi penumpukan sampah yang
luar biasa saat hujan deras berlangsung lama. BKT itu kan dibuat untuk
dilalui arus deras. Kalau datang arus deras membawa sampah, pintu saringan
akan cepat menjadi gunungan sampah. Kalau pintu saringan dibangun di kelima
DAS, warga di pinggiran kali akan menganggap kali sebagai tempat sampah,”
kata Pitoyo.

Pengamatan Kompas di Kanal Timur kemarin menunjukkan, kawasan hulu Kanal
Timur masih menjadi tempat pembuangan sampah Kali Cipinang dan tempat
pembuangan sampah warga sekitar.

Di bagian lain, Islah mengingatkan, saat ini kuantitas dan kualitas air di
Jakarta dan sekitarnya sudah buruk. Penyedotan air tanah sudah kian mudah
menimbulkan penurunan tanah.

Air tanah pun sudah payau. Kualitas air sungai di sebagian besar sungai
sudah rusak dan berbahaya bagi makhluk hidup.

Menurut dia, bila Kanal Timur dibangun secara baik dan integral dengan
kelima DAS, Kanal Timur bisa diharapkan sebagai kawasan resapan air terbaik
di Jakarta.(WIN)
sumber:

Pemikiran tentang :

lingkungan Vs Ekonomi


Kerusakan Lingkungan Jadi Taruhan Pertumbuhan Ekonomi

Hongkong, Kompas - Kerusakan lingkungan hidup kerap menjadi taruhan dari
pesatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diperlukan kearifan para pemimpin
negara agar pertumbuhan ekonomi tidak lagi didewa-dewakan sebagai penanda
keberhasilan rezim.

Ronald Henkoff, Editor Bloomberg Market Magazine Amerika Serikat,
melontarkan peringatan itu dalam diskusi bertajuk ”Dilema Lingkungan Hidup
Asia” pada Konferensi Media Internasional, Senin (26/4) di kampus
Universitas Hongkong, Hongkong, China. Konferensi bertema ”Melaporkan
Realitas Baru di Asia-Pasifik” itu dihadiri 300 jurnalis se-Asia Pasifik.

Menurut Henkoff, krisis ekonomi yang menerpa Asia pada 1997 berdampak
positif dengan bangkitnya raksasa-raksasa ekonomi baru Asia, seperti China
dan India. ”Namun, keberhasilan sejumlah negara itu, dalam pengamatan saya,
kurang diimbangi dengan kesuksesan mereka mengatasi sejumlah isu fundamental
dalam negeri,” ujarnya.

Henkoff mendasarkan asumsinya itu berdasarkan pemantauannya terhadap
kerusakan lingkungan di Malaysia dan India. Malaysia, tuturnya, membuktikan
diri sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbaik di
Asia Tenggara. Salah satu sandaran ekonomi negara kesultanan itu tak lain
ekspor kelapa sawit. ”Tetapi, lahan kelapa sawit di Malaysia, tepatnya di
Negara Bagian Serawak, dibikin dengan membabat hutan tropis di Pulau Borneo
(Kalimantan). Itu jelas deforestation,” tambah Henkoff.

Pembabatan hutan untuk lahan perkebunan, seperti dilakukan Malaysia, menurut
Henkoff, berkontribusi terhadap pemanasan global. Lebih celaka lagi, upaya
kelompok kritis di Malaysia terhadap deforestation ini tidak ditanggapi
positif. ”Justru yang saya dengar ada tekanan terhadap para aktivis itu
karena ada kepemilikan dari unsur petinggi negara dalam bisnis tersebut,”
tutur Henkoff lagi.

Henkoff menegaskan, ia tidak hendak mengklasifikasikan pertumbuhan ekonomi
sebagai hal tabu. Akan tetapi, semata-mata mengimbau para pemimpin negara
agar menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan upaya membuat
kehidupan warganya sejahtera.

* Mesin-mesin baru*

Isu pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia menjadi salah satu bahasan
penting dalam konferensi yang diadakan atas kerja sama East-West Center dan
Universitas Hongkong itu. Editor Business Standard, India, Dr Sanjaya Baru,
mengungkapkan, ekonomi dunia kini tak hanya digerakkan oleh satu-dua mesin.

”Mesin ekonomi dunia kini tak hanya Amerika Serikat dan Uni Eropa, tetapi
juga mesin-mesin ekonomi baru seperti China di Asia dan Brasil di Amerika
Selatan. Muncul pula Afrika Selatan di Afrika dan beberapa negara ASEAN,”
kata Baru, yang juga mantan penasihat Perdana Menteri India Manmohan Singh.
(Adi Prinantyo, dari Hongkong, China)

Sumber :

Pemikiran tentang :

hutan gambut

elnino - Sutrisno wrote:


Wilayah Kelola Rakyat

Hutan-Gambut Rendah Karbon

(Release Bersama KpSHK, Save Our Borneo, dan WALHI Eksekutif Daerah
Kalteng)

Janji Pemerintah Indonesia kepada dunia untuk menurunkan 26% emisi
karbon
hingga 2020 sudah menyentuh ranah paling rawan pelepasan emisi dan
konflik
sumberdaya alam, yaitu hutan-gambut. Hampir 50% emisi karbon Indonesia
berasal dari kebakaran hutan-lahan dan alihfungsi hutan-gambut untuk
pembangunan. Dugaan ini diyakini parapihak akan menyebabkan Indonesia
berada di posisi ketiga dunia sebagai negara pengemisi karbon
terbesar. Dan
60% kawasan hutan-gambut tumpang tindih klaim antara masyarakat lokal
(adat) dengan negara sejak diberlakukannya ‘kawasan hutan politik’
dari
sejak jaman Kolonial Belanda (1870-an).

Kawasan hutan-gambut saat ini tinggal 137,3 juta ha atau setara
dengan 70%
luas daratan Indonesia. Kementerian Kehutanan mengakui 50% kawasan
hutan-gambut sudah rusak dan tidak berhutan (bila hutan didefinisikan
sebagai tegakan dari tumbuhan). Kawasan hutan yang berupa rawa
gambut di
seluruh Indonesia diperkirakan masih seluas 38 juta ha (terluas di
Sumatera, Kalimantan dan Papua).

Kawasan hutan-gambut saat ini tinggal 137,3 juta ha atau setara
dengan 70%
luas daratan Indonesia. Kementerian Kehutanan mengakui 50% kawasan
hutan-gambut sudah rusak dan tidak berhutan (bila hutan didefinisikan
sebagai tegakan dari tumbuhan). Kawasan hutan yang berupa rawa
gambut di
seluruh Indonesia diperkirakan masih seluas 38 juta ha (terluas di
Sumatera, Kalimantan dan Papua).

Hutan-gambut yang terbentang dari Sumatera hingga Papua sudah sejak
lama
menjadi ruang hidup masyarakat lokal (adat). Terbukti, praktik-praktik
pemanfaatan hutan-gambut oleh masyarakat lokal (adat) masih
berlangsung
hingga sekarang dalam skala kecil dan berkelanjutan. Pemanfaatan
hutan-gambut sebagai hutan sagu di Tebing Tinggi-Riau mampu menjadikan
desa-desa di Tebing Tinggi pemasok sagu ke Malaysia dan Singapura
secara
berkelanjutan, sebagai kebun buah (durian, duku dan nanas) dengan pola
parit di Tangkit Baru-Muaro Jambi, sebagai hutan-gambut karet dan
tempat
pengembalaan ternak di Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, dan
sebagai
hutan-gambut karet (handil) di Kelawa-Kalimantan Tengah dan ragam
kelola
hutan-gambut lainnya oleh masyarakat.
Ragam kelola masyarakat atas hutan-gambut tersebut merupakan kawasan
rendah
pelepasan karbon (low carbon area) karena masyarakat mengelola hutan-
gambut
berdasarkan pengetahuan setempat dan menganut nilai-nilai tradisi
(adat-istiadat yang berlaku) dan hanya mengambil manfaat dari Hasil
Hutan
Bukan Kayu (HHBK, semisal buah, getah, madu dari sarang lebah di pohon
madu, hasil ternak dan lain-lain).

Segera Akui Daerah Rendah Karbon

* Ada 16,7 juta ha wilayah kelola rakyat yang berupa hutan-gambut di
seluruh Indonesia yang kini terancam oleh penyebab konflik tenurial
dan sumberdaya hutan-gambut, yaitu pembangunan Hutan Tanaman Industri
(HTI) dan
Perkebunan Kelapa Sawit. Keterancaman 16,7 juta ha wilayah ini
karena belum
adanya penetapan status (pengakuan atau rekognisi) atas kawasan
tersebut
oleh Pemerintah baik hak pengelolaan maupun hak milik dari hutan-
gambut
yang diklaim masyarakat. Diproyeksikan hingga 2015 HTI yang ada dan
rencana
perluasannya akan mencapai 9 juta ha, dan perkebunan sawit 6,7 juta
ha.

* Tanpa kejelasan atau pengakuan Pemerintah bagi wilayah kelola rakyat
tersebut, pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit akan mengambil
keuntungan dengan cara ‘memancing di air keruh’ seperti selama ini
terjadi. Ketidakjelasan dan tidak adanya jaminan hak kelola dan
milik atas
hutan-gambut bagi klaim masyarakat, maka praktik tatakelola yang
buruk,
penyelewengan kewenangan dan pemberian ijin pengusahaan hutan-gambut
(bad
governance) akan terus berlangsung. Pemerintah sudah seharusnya segera
mengeluarkan kebijakan untuk pengakuan daerah-daerah rendah karbon
yang
dikelola masyarakat di kawasan hutan-gambut, sekaligus menyetop
perluasan
HTI-perkebunan sawit.

Informasi lebih lanjut hubungi

KpSHK-Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan

Jl. Sutiragen V No.14, Indraprasta I, Bantarjati-Bogor, Jawa
Barat-Indonesia 16153

Telp/Fax: +62-251 8380 301; E-mail: kpshk[at]kpshk.org

Pemikiran tentang :

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.