MIGAS Vs lingkungan ??



Migas Pencemar Terbesar

Dari 324 perusahaan di Sumsel mulai dari perkebunan, industri,
pertanian, pertambangan dan Migas, ternyata sektor Migaslah menyumbang
terbesar pencemaran

lingkungan. Tingginya angka kebocoran akibat pipa yang tua, tidak hanya
memberikan dampak negatif pada lingkungan, tetapi bisa memberi pengaruh
kesehatan manusia.

Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumsel, Ahmad Najib, Kamis (18/2)
mengatakan, dari beberapa sektor yang menyebabkan terjadinya polusi, sektor
migas paling mendominasi pencemaran. Pipa Migas sudah tua sehingga rentan
kebocoran. Kebocoran yang terjadi memberi

pengaruh kesehatan warga jika langsung terhirup gas karena sebagian besar
pipa berada di pelintasan pemukiman warga.

Mengacu PP No 27/99, setiap sektor usaha harus melaporkan hasil kegiatannya
per triwulan. Sebuah fakta yang tidak terbantahkan, keberadaan pipa Migas
itu dipasang sejak 1938 sehingga dengan jangka waktu yang lama itu, maka
secara tidak langsung membuat kondisi daya tahan dan

daya dukung pipa melemah dan mudah bocor. Selain itu, kebocoran lainnya juga
dikarenakan tangan jahil masyarakat seperti pencurian gas, pipa dan lainnya.
Oleh sebab itu, BLH meminta kepada pihak BP Migas untuk secepat mungkin
mengganti pipa yang sudah tua.

Kita sudah memberikan sanksi dan teguran. Jika masih saja tidak digubris
kita cabut izin Amdal mereka,” kata Najib.

Mantan Kepala Dinas Perhubungan Sumsel ini juga menambahkan, dengan
terjadinya berbagai kebocoran dan sanksi yang djatuhkan, berikut teguran
yang dilayangkan, BP Migas telah melakukan pergantian pipa. Misalnya
pergantian pipa sepanjang 24 KM di Musi Banyuasin (Muba).

Dan di 2010 ini, BP Migas juga akan melakukan pergantian pipa sepanjang 25
KM sepanjang Palembang-Prabumulih-Muaraenim, sebagai upaya mencegah
kebocoran.

Untuk melakukan pemantauan, kita akan bekerjasama dengan berbagai pihak
seperti Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Sumsel untuk melakukan evaluasi.
Permasalahan lingkungan ini akan tetap dilakukan pengawasan secara ketat,”
ungkapnya.

Dikatakan Najib, yang paling penting adalah perlu adanya komitmen dari
berbagai perusahaan seperti perusahaan perkebunan, industri, pertanian,
pertambangan, Migas dan lainnya untuk berupaya melakukan perbaikan. Sebab,
dari hasil yang ada tersebut harus terdapat perubahan jika

tidak ingin izin Amdal dicabut karena tidak peduli terhadap lingkungan
sehinga pencemaran berdampak pemanasan global.

Bicara soal Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) di Sumsel, lantas bagaimana
dengan Amdal Jakabaring yang konon akan menjadi pusat pemerintahan dan
olahraga terlengkap di Indonesia dengan standar internasional?

Sementara saat ini, akibat tingginya permukaan air sungai dan hujan yang
terus mengguyur Palembang, maka kawasan ini sebagian tergenang/banjir hingga
ke jalan utama. Sehingga muncul pertanyaan, apakah kawasan Jakabaring layak
dibangun?

Menjawab pertanyaan ini, Ahmad Najib mengatakan, rencana pembangunan kawasan
Jakabaring sudah memiliki kajian Amdal sejak zamannya H Rosihan Arsyad saat
menjabat gubernur. Dari 9.913 hektare, sudah dipatok untuk kawasan serapan
air (retensi), drainase dan kawasan hijau lainnya.

Kalau pun ada genangan air dan banjir di kawasan itu, mungkin akibat
pembangunan di sekitarnya. Terutama di luar kawasan Jakabaring,” katanya.

Sejauh ini, lanjut Ahmad Najib, rencana pembangunan di kawasan Jakabaring
tetap mengacu pada Amdal yang berwawasan lingkungan. sripo

Sumber : http://www.sripoku.com/view/27577/migas_pencemar_terbesar_*

Pemikiran tentang :

Kelapa sawit merusak ??



Pohon Kelapa Sawit Merusak Hutan


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana memasukkan
kelapa sawit sebagai tanaman hutan. Alasannya, hal itu akan merusak
lingkungan dan hutan di Indonesia karena kelapa sawit banyak menghasilkan
karbon dioksida.

Direktur Walhi Sumut Sahrul Isman Manik, Rabu (24/2), mengatakan, rencana
pemerintah memasukkan perkebunan kelapa sawit menjadi bagian kawasan hutan
akan merusak ekosistem. ”Meskipun kelapa sawit mampu menyerap karbon
dioksida (CO2), CO2 yang dihasilkannya jauh lebih besar,” ujarnya.


Mengutip data hasil penelitian di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, ia
mengatakan, 1 hektar kebun kelapa sawit yang ditanam selama 25 tahun
menyerap CO2 130 ton sampai 180 ton ekuivalen. Akan tetapi, kelapa sawit itu
menghasilkan CO2 sebanyak 927,9 ton ekuivalen per hektar. Bahkan, kelapa
sawit yang ditanam di lahan gambut bisa menghasilkan CO2 sebanyak 1.375 ton
per hektar.

Artinya, konversi lahan gambut menjadi kebun kelapa sawit seperti yang
selama ini terjadi, itu mempercepat proses pemanasan global.

Meloloskan kelapa sawit masuk dalam kawasan hutan sangat berbahaya.
”Bayangkan berapa banyak hutan alam yang akan terkena dampak pestisida,
berapa banyak anak sungai dan sumber mata air yang tercemar, serta berapa
banyak satwa dilindungi punah akibat menghilangnya sumber-sumber makanan,”
ujarnya. (MHF)

Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/25/03523754/pohon.kelapa.sawit.merusak.hutan

Pemikiran tentang :

Sampah Jadi berkah

Bupati Mojokerto, Drs. H. Suwandi, MM
MENGUBAH SAMPAH JADI BERKAH

Sampah yang berjubel tentu membuat pening siapa saja. Bukan hanya
keberadaan yang mengganggu, namun bagaimana mengelola material yang satu ini sehingga tidak menimbulkan persoalan sosial, adalah sekelumit
persoalan yang sering kali dihadapi pemerintah daerah, khususnya di
kota-kota besar. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Pemda DKI Jakarta harus
berhadapan dengan masyarakat Bantargebang, Bekasi, yang menolak wilayah
mereka dijadikan tempat pembuangan akhir sampah. Atau kota Bandung yang
dihebohkan dengan menumpuknya sampah di sejumlah lokasi kota tersebut.
Namun dengan komitmen yang tinggi serta sedikit kreativitas,
persoalan sampah ini sebenarnya bisa ditangani dengan baik. Bahkan
sampah yang tadinya identik dengan sumpah serapah, bisa diubah menjadi
berkah.
Itulah yang dilakukan oleh Bupati Mojokerto Drs. H. Suwandi, MM. Pria yang lahir di Lumajang 17 November 1951 ini, melakukan sejumlah langkah strategis untuk mengolah sampah di wilayahnya dengan tepat.
Ada dua kebijakan utama yang dilakukannya. Pertama mendidik
masyarakat agar sejak di rumah atau kantor mereka masing-masing sudah
memilah sampah menjadi sampah organik dan anorganik. Kedua, membangun
tempat pembuangan akhir sampah yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat penampungan sampah, tetapi juga menjadi wahana peternakan, pertanian,
rekreasi dan edukasi. Sambil tidak lupa melibatkan masyarakat sekitar
untuk ikut memanfaatkan sampah yang ada di situ.
“Pelibatan
masyarakat ini sangat penting agar mereka bisa merasakan dampak ekonomi
dari kehadiran TPA di situ,” ujarnya.
Memilah Sampah
Seperti sudah diungkapkan di atas, Bupati Mojokerto beserta stafnya,
terus memotivasi masyarakat agar sejak di rumah atau kantor mereka
masing-masing sudah memilah sampah menjadi sampah organik dan anorganik. Untuk itu, di tempat-tempat umum seperti perkantoran, sekolah, pasar,
dan rumah sakit, Pemda menyediakan banyak kotak sampah terdiri atas
kotak sampah organik dan anorganik.
Kehadiran kotak-kotak sampah ini ternyata sangat membantu suksesnya
program pilah sampah dari hulu yang sudah dicanangkan oleh Pemda.
Dibarengi dengan penyuluhan dan himbauan yang dilakukan secara terus
menerus, lambat laun masyarakat Mojokerto mulai terbiasa memilah sampah
mereka sejak dari rumah mereka masing-masing.
TPA Mojosari
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kabupaten Mojokerto terdapat di
Desa Mojosari. Luas TPA ini sekitar 5 hektar. Bupati Suwandi beserta
stafnya melakukan inovasi yang cukup spektakuler ketika mendisain ulang
TPA ini. Selain dimanfaatkan sebagai tempat penampungan dan pengelolaan
sampah, di TPA ini juga dibangun peternakan hewan dan ikan. Hewan yang
diternakkan di TPA ini antara lain sapi, kambing, dan kelinci. Sedangkan ikan yang diternakkan antara lain ikan patin, lele, nila, dan tombro.
Juga ditanam Roseli Merah yang menjadi bahan dasar pembuatan sirup.
Bupati Suwandi tidak puas hanya sampai di situ. Di TPA ini juga
dibangun perpustakaan mini dengan sekitar 50 judul buku di dalamnya. Di
antaranya Kiat Beternak, Bertanam 30 jenis sayur, Budidaya sarang burung wallet, dsb.
Semua itu dilakukan Suwandi dengan satu tujuan, yaitu agar TPA ini
sekaligus menjadi wahana rekreasi masyarakat. “Makanya di situ kami
buatkan kolam ikan dan perpustakaan agar pelajar maupun masyarakat umum
mau berkunjung ke sini. Di sini mereka bisa membaca atau memancing ikan
di kolam.
Pengelolaan Sampah
Tapi bagaimana kalau TPA-nya sendiri bau dan menjijikkan akibat
banyaknya sampah yang menumpuk? Di TPA Mojosari, anda tidak akan pernah
mendapatkan pemandangan seperti itu. Sistem pengelolaan sampah di TPA
ini sudah dilakukan secara modern, sehingga meminimalisasi bau maupun
lalat yang sering mengganggu.
Singkatnya, untuk sampah anorganik, Pemda mempekerjakan sekitar 20
orang pemulung yang akan memilah sampah anorganik sesuai jenisnya.
Misalnya plastik dalam kelompok plastik, demikian pula dengan beling,
botol, dsb.
Untuk sampah organik, ada dua sistem yang digunakan. Yaitu
pengomposan dengan menggunakan silo dan pengomposan menggunakan cell
aktif. Pengomposan menggunakan silo ditujukan untuk sampah berupa
dedaunan kering. Sedangkan sampah berbentuk cair-padat seperti nasi,
daging, kuah, dan lain-lain, menggunakan teknologi cell aktif. Dua
sistem pengolahan sampah ini sangat membantu menghilangkan bau dan kesan jorok dari keberadaan sampah tersebut.
Ada lagi yang menarik, sampah berupa sayuran segar, sengaja tidak
diikutsertakan dalam proses pengomposan ini, karena digunakan sebagai
pakan ternak. Tidak heran sapi maupun kambing yang dipelihara di TPA
tersebut terlihat gemuk-gemuk.
Melihat kondisi TPA yang nyaman dan menarik itu, tidak heran banyak
masyarakat yang datang ke itu untuk berekreasi. Bahkan mereka juga tidak segan-segan untuk makan siang di TPA ini karena memang tak ada lagi bau yang mengganggu selera.
Anak-anak sekolah pun suka menimba ilmu di tempat ini, terutama
bagaimana caranya mengelola sampah dengan baik. Setiap bulan rata-rata
ada 19 kali kunjungan siswa ke lokasi ini.
Peduli Lingkungan
Ketika ditanya apa kiatnya hingga bisa menghasilkan masyarakat dan
TPA yang peduli kebersihan, Bupati Suwandi hanya berujar singkat, “Kalau setiap kita sudah peduli lingkungan, maka mengerjakan hal semacam ini
tidak sulit.”
Rasanya itulah jawaban yang paling tepat. Sebab, untuk mengelola
sampah, sesungguhnya sudah banyak teknologi dan kiat yang bisa
digunakan. Namun karena sering kali kita masih melihat lingkungan
sebagai urusan “orang lain” jadilah semua fasilitas yang ada itu menjadi tidak berdaya. Apa yang dilakukan Pemda Mojokerto ini mengajarkan
kepada kita bahwa mengelola sampah ternyata tidak sulit. Asal kita
memiliki niat dan komitmen untuk melakukannya.
Atas kerjanya kerasnya itu, belum lama ini Kabupaten Mojokerto
mendapatkan penghargaan Adipura sebagai salah satu kabupaten terbersih
di Indonesia. Selamat buat Bupati Suwandi beserta seluruh staf dan
masyarakat Mojokerto yang sudah tentu bahu membahu melakukan semua ini.

Sumber: http://www.biruvoic e.com/berita/ sosok/60- mengubah- sampah-jadi- berkah.html

Pemikiran tentang :

Pulp Vs Lingkungan

WWF: Industri "Pulp" Bisa Ramah Lingkungan



- Industri "pulp" (bubur kertas) dan kertas bisa
dilakukan dengan cara ramah lingkungan, yakni di antaranya menghentikan
penggunaan kayu dari hutan alam sebagai bahan baku industri tersebut.

"Karena itu, kami meminta para pemasok bahwa kita tidak menerima `pulp` dan
kertas yang berasal dari serat kayu hutan alam," kata Koordinator The Global
Forest and Trade Network (GFTN) WWF-Indonesia Aditya Bayunanda di Surabaya,
Selasa.

Berbicara dalam lokakarya media bertema "Membangun Sektor Pulp and Paper
yang Lestari dan Bertanggung jawab di Indonesia", ia mengemukakan bahwa
salah satu strategi yang dikembangkan WWF Indonesia dalam upaya untuk
mencapai tujuan dalam kegiatan konservasi, yakni melalui reformasi sektoral.

Menurut dia, intervensi itu dimaksudkan untuk mendorong reformasi pada
sektor-sektor yang berbasiskan sumber daya alam, misalnya sektor kehutanan,
kelapa sawit, serta "pulp" dan kertas, agar dapat mengembangkan dan
menerapkan praktik-praktik pengelolaan yang lestari (best management
practices), bisnis yang ramah lingkungan, serta bermanfaat bagi masyarakat
sekitarnya.

Ia mengatakan, yang termasuk di dalam strategi pendekatan yang dipilih WWF
Indonesia adalah upaya memberikan masukan kepada lembaga-lembaga keuangan
dan asuransi untuk menerapkan kebijakan-kebijakan "investment screening".

Saat ini ada dua program GFTN Indonesia yakni pertama yang membidangi sektor
kehutanan serta "pulp" dan kertas, dan mendukung perusahaan-perusaha an yang
bergerak di bidang kehutanan untuk mencapai sertifikasi hutan dengan cara
fasilitasi dan "technical assistance".

Di Indonesia, kata dia, program GFTN telah berjalan selama enam tahun.

Melalui skema keanggotaan bagi perusahaan-perusaha an pengelola hutan dan
pengelola produk hasil hutan, GFTN sampai saat ini telah memfasilitasi 39
perusahaan, yakni 28 "trade participant" dan 11 "forest participant" .

Program kedua, adalah "Forest Conversion Programme" (FCP) membidangi kelapa
sawit
, dimana sebagai penghasil kepala sawit terbesar di dunia, membuat
semakin meningkatnya ancaman kerugian yang akan dialami di segi sosial dan
lingkungan, karena pembukaan lahan, kebakaran hutan dan asap yang
ditimbulkannya, serta diabaikannya hak dan kepentingan masyarakat lokal.

Mengenai tujuan dari pengelolaan yang ramah lingkungan, menurut dia, adalah
untuk mempromosikan industri "pulp" dan Kertas yang berkontribusi pada
keanekaragaman hayati, mitigasi perubahan iklim, dan peningkatan
kesejahteraan manusia.

Ia mengatakan, secara khusus tujuan yang hendak dicapai adalah melindungi
dan menjaga hutan bernilai konservasi tinggi (HCFV), kemudian menghentikan
penggunaan kayu dari hutan alam sebagai bahan baku industri "pulp" dan
kertas, mengadopsi pengelolaan yang lestari, meningkatkan taraf hidup
masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal pada sektor ini.

Pendekatan pasar

Pihaknya melakukan apa yang disebut "pendekatan pasar", yang meminta dari
para pelaku sektor ini untuk tidak membeli serat dari hutan bernilai
konservasi tinggi di seluruh grupnya.

Selanjutnya, tidak melakukan konversi hutan alam sebelum melakukan audit
HCVF yang dilakukan oleh auditor yang independen dan kredibel dengan
menggunakan standar HCV yang di akui oleh "civil society".

Di samping itu, kata dia, menghentikan pembukaan dan pengeringan hutan
gambut di seluruh operasi grup, memberitahu kepada para pemasok bahwa
konversi hutan alam untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tidak diterima di
dalam produk yang dijual.

"Filosofinya adalah pahamilah sumber bahan bakumu, dengan melakukan audit
untuk memastikan bahwa tidak ada kayu ilegal dari penghancuran hutan yang
mengkontaminasi `supply chain` (rantai pasokan)," katanya.

Menurut Aditya Bayunanda, alternatif yang ditawarkan GFTN adalah sebuah
pendekatan membantu perusahaan menuju pencapaian sertifikasi, yakni
menyediakan suatu kerangka kerja untuk perbaikan guna mendukung manajemen
(GFTN, Indonesia-FTN) , mengembangkan sistem yang mengakui adanya "progres"
sebelum sertifikasi dicapai (pendekatan bertahap).

Kemudian, menyediakan insentif untuk memastikan bahwa perbaikan ke arah
"legal and sustainable" (SFM certification) tetap dipelihara yakni berupa
"previllage" dan "premium price". (A035/K004)
COPYRIGHT C 2010

Sumber:
http://www.antara. co.id/berita/ 1267552733/ wwf-industri- pulp-bisa- ramah-lingk
ungan

Pemikiran tentang :

Firms given two years to come clean

Adianto P. Simamora , The Jakarta Post

The government has warned companies operating without environmental
standards
to start complying with environmental regulations, giving them a
two-year grace period before it starts revoking business permits.

Companies without environmental impact assessment (EIA) have until October
2011
to submit an environmental audit.

“Two years is more than enough time for companies to prepare an
environmental audit,” Ilyas Asaad, an environmental compliance official at
the Environment Ministry said Thursday.

The audit will assess businesses’ levels of compliance with government
policies to protect the environment.

“If they fail to meet the deadline, the companies will be deemed as
operating illegally. We will impose sanctions as stipulated in the 2009
Environmental Law,” he said.

Ilyas said there were thousands companies believed to be operating without
EIAs.

The need for an environmental audit is stipulated in the 2009 Environmental
Law, which says that if businesses fail to fulfill their obligations on
environmental audits, the Environment Ministry can assign an independent
auditor to assess the company.

The ministry is currently drafting a decree on the audit for companies
without EIAs that have been operating since before the law came into effect
in 2009.

Ilyas said small-scale companies operating without the environmental
management scheme
(UKL) and the environmental monitoring scheme (UPL) should
also submit environmental audits.

The EIA, UKL and UPL are required to determine whether business activities
are environmentally feasible in a particular area.

The EIA contains analysis of the expected impact of business activity in the
area and the plans to manage and monitor environmental aspects.

The documents are required for the issuance of environmental permits, which
are used to secure the business license.

The law stipulates officials who issue business permit without environmental
licenses could face a maximum sentence of three years in prison and a Rp 3
billion fine.

Activists, including from the Indonesian Forum for the Environment (Walhi)
and the Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) have repeatedly asked
the government to enforce the 2009 law to help protect the environment.

Preliminary findings by the Environment Ministry of small-scale mining firms
in Kalimantan found that most of the companies didn’t have EIAs.

But no action has been taken a month after Environment Minister Gusti
Muhammad Hatta made an unscheduled visit to examine illegal mining in
Kalimantan.

Kalimantan, the province with the richest coal deposits, has long been under
pressure to better regulate the huge and overlapping licenses awarded to
companies to exploit coal.

Data from the Mining Advocacy Network (Jatam) showed nine regents in South
Kalimantan province
granted principal permits to 229 mining companies,
allowing them to mine for coal in 200,000 hectares of the protected Meratus
forest.

It said East Kalimantan, with only 19.8 million hectares of land, granted
overlapping permits, mainly to mining and plantation firms covering 21.7
million hectares.

http://www.thejakartapost.com/news/2010/03/12/firms-given-two-years-come-clean.html

Pemikiran tentang :

Jakarta Vs Sampah

Peran Warga Diperlukan untuk Tangani Sampah Jakarta


Jakarta memerlukan peran serta warga untuk menangani sampah yang terus bertambah. Produksi sampah yang saat ini
mencapai 6.500 ton bakal melonjak menjadi 8.200 ton pada tahun 2025.

”Jika tidak dikelola dengan baik, sampah akan menjadi bencana bagi
lingkungan hidup. Apalagi, DKI tidak dapat mengandalkan sistem penanganan
konvensional yang ada saat ini,” kata Ubaidillah, Direktur Eksekutif Wahana
Lingkungan Hidup Jakarta, dalam Seminar Manajemen Sampah dan Lingkungan
Hidup DKI Jakarta, Kamis (11/3) di Jakarta Pusat.

Menurut Ubaidillah, kapasitas armada pengangkut sampah di Jakarta mulai
tidak seimbang dengan jumlah sampah yang meningkat lima persen setiap tahun.
Paradigma penanganan sampah yang hanya mementingkan pengangkutan dan
pembuangan harus diubah.

”Sampah harus dipandang sebagai sumber daya yang dapat diolah menjadi barang
bernilai ekonomi. Teknologi tinggi juga harus diterapkan untuk mengolah
sampah di tempat pembuangan akhir,” kata Ubaidillah.

Joni Tagor Harahap, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Sanitasi
Lingkungan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta,
mengatakan, penanganan sampah di Jakarta akan efektif jika masyarakat
dilibatkan mengolah sampah sejak dari lingkungan mereka.

”Masyarakat harus diajari memilah sampah organik dan anorganik. Pemilahan
dapat ditindaklanjuti dengan pengolahan sesuai sifat sampah,” kata Joni.

Sampah organik dapat diolah menjadi kompos. Kompos itu dapat dijual dengan
harga mahal atau digunakan untuk memupuk taman mereka. Adapun sampah
anorganik dapat diolah menjadi berbagai peralatan harian.

Jika semua sampah organik dapat diolah warga menjadi sampah, produksi sampah
Jakarta akan berkurang sampai 52 persen. Pengurangan sampah sejumlah itu
sangat membantu pemerintah menangani sampah yang lain.

Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengatakan, pelibatan
masyarakat untuk turut mengolah sampah masih terkendala masalah sosialisasi
dan budaya. Banyak warga yang belum tahu cara mengumpulkan dan mengolah
sampah yang mereka hasilkan.

Di sisi lain, banyak juga warga yang masih enggan terlibat dalam proses
pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendaurulangan
(recycle) sampah atau program 3R. Dari sekitar 2.500 RW yang ada di Jakarta,
baru 500 RW yang mengikuti program 3R.

Padahal, dengan jumlah terbatas, peran serta masyarakat sudah dapat
mengurangi produksi sampah sampai tujuh persen atau sekitar 455 ton per
hari.

Peneliti Indonesia Solid Waste Association, Sri Bebasari, mengatakan, peran
serta warga dalam program 3R harus diikuti peran serta perusahaan swasta.
Swasta yang kemasan produknya menjadi sampah harus dibebani kewajiban
membeli produk olahan dari sampah mereka.

Untuk mengolah sampah yang tidak dapat dimanfaatkan, kata Eko, pihaknya
menyiapkan tempat pengolahan sampah terpadu Ciangir yang dapat mengolah
sampah 3.000 ton menjadi listrik 25 megawatt. DKI juga menyiapkan
intermediate treatment facility (ITF) di Cakung-Cilincing untuk menampung
sampah 700 ton per hari dan ITF Marunda untuk menampung 1.000 ton per hari.
ITF menggunakan sistem pembakaran bersuhu tinggi guna membangkitkan listrik.
(ECA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/12/03390928/peran.warga.diperlukan.untuk.tangani.sampah.jakarta

Pemikiran tentang :

Budaya adat kian terpinggirkhan

Eksploitasi Hutan Musnahkan Budaya Adat Dayak

- Eksploitasi berlebihan di kawasan hutan tempat hunian masyarakat adat Dayak, berperan sangat besar
terhadap musnahnya adat isatiadat dan budaya setempat.

Hal tersebut berkaitan erat karena peran hutan yang sangat penting terhadap
pelaksanaan adat istiadat dan budaya bagi masyarakat adat Dayak, ungkap
Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan,
Juliade, Jumat.

"Hutan bagi masyarakat adat Dayak bukan hanya sekedar tempat tinggal atau
tempat berusaha. Hutan bagi mereka adalah Ibu Pertiwi," ujarnya di Barabai,
ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan (Kalsel),
sekitar 165 Km Utara Banjarmasin.

Ia mengatakan, pelaksanaan adat istiadat dan budaya berkaitan langsung
dengan hutan.

"Seperti tradisi Bahilai yang dilaksanakan terkait aktivitas menanam padi
atau Aruh Ganal sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil panen. Bila hutan
tak lagi ada, budaya itupun akan hilang," katanya.

Dalam hal berusaha dan bertahan hidup, bisa saja dilakukan masyarakat adat
Dayak di luar kawasan hutan. Tetapi, untuk masalah adat istiadat, budaya dan
bahkan kepercayaan terhadap Tuhan sangat berkaitan erat dengan keberadaan
hutan.

Ditambahkannya, pengakuan dari pemerintah saat ini terhadap agama dan
kepercayaan masyarakat adat Dayak yaitu Kaharingan, sedikit banyak telah
membantu membangun kepercayaan diri mereka.

Sementara itu, menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Kalsel, Hegar Wahyu Hidayat, upaya pemerintah mengakomodir budaya adat hanya
sebatas pelestarian saja.

"Seperti Aruh Ganal yang pelaksanaannya difasilitasi oleh pemerintah,
dilakukan hanya sekedar pelestarian saja dan kehilangan maknanya. Karena hal
itu dilakukan dengan orientasi yang berbeda," ujarnya.

Kekhawatiran beberapa kalangan akan musnahnya adat istiadat dan budaya
masyarakat adat Dayak saat ini bergulir seiring dengan musnahnya beberapa
budaya yang ada, seperti Bahilai yang kini tak lagi dikenal.

sumber :
Barabai, Kalsel (ANTARA News)

Pemikiran tentang :

UU Pesisir dan potensinya

KIARA: UU PESISIR SIMPAN POTENSI BAHAYA


Koalisi Rakyat Untuk Keadilan
Perikanan (KIARA) mengimbau Pemerintah Kabupaten/Kota yang berwilayah
pesisir agar mewaspadai potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).

"Pascapermohonan gugatan uji materi Undang-Undang ini di Mahkamah
Konstitusi, Kamis lalu, membuktikan hal ada persoalan krusial yang mesti
dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen UU
tersebut dalam kebijakan daerah," kata Abdul Halim, koordinator Program
KIARA, kepada ANTARA, di Denpasar, Jumat petang.

Dia menyatakan, potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 itu semakin
kental karena perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, baik di tingkat
pusat maupun daerah, masih bersifat sektoral.

"Oleh karena itu, kami mengimbau pemerintah daerah untuk menghentikan
pelbagai upaya hukum berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil ini," katanya.

Berdasarkan data jumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia pada 2002,
terdapat 219 kabupaten dan kota atau sama dengan 68 persen wilayah
pemerintahan di Indonesia yang memiliki wilayah pesisir, yang terus tumbuh
pascaberkembangnya pemekaran wilayah belakangan ini.

Tiap-tiap pesisir Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan
lainnya. Perlu perhatian yang berbeda pula untuk mengelola wilayah pesisir
tersebut.

Jika demikian, katanya, kebijakan dan instrumen kelembagaan yang dirumuskan
pun juga tak bisa disamakan di semua wilayah Indonesia. Pula disebabkan
perbedaan karakteristik ekonomi-politik dan sosial-budaya yang dijalani oleh
masyarakat pesisir di pelbagai wilayah.

"Sebaliknya, pemerintah melalui Undang-Undang ini tidak mengindahkan
keragaman karakter wilayah pesisir, dengan mendorong komersialisasi perairan
pesisir," katanya.

Ketiadaan keterkaitan kebijakan publik dengan hajat hidup masyarakat kian
mempertegas kesembronoan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dia memberi contoh, di Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, Bengkulu, nelayan
tradisional dan masyarakat pesisir dihadapkan pada keberadaan perusahaan
tambang pasir besi yaitu PT Selomoro Banyu Arto yang mengganggu pola
penghidupan mereka.

Sebelum perusahaan besar itu beroperasi, dalam tempo lima hingga enam jam
per hari pada malam hari, nelayan penangkap udang alam bisa memperoleh
pendapatan antara Rp60.000-Rp200. 000.

Sebaliknya, sejak perusahaan tambang pada 2008 beroperasi dan melakukan
pembendungan muara sungai, sangat sulit bagi masyarakat setempat untuk
mendapatkan uang sebesar Rp20.000 dari hasil menangkap udang alam.

"Bertolak dari fakta di atas, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menutup
mata atas persoalan di daerah. Seperti terurai dalam UU Nomor 27/2007
tentang PWP3K, pemilik modal boleh melakukan privatisasi dan eksploitasi SDA
pesisir dan laut selama 60 tahun," katanya.

Sumber:
http://www.news. id.finroll. com/rilis- press/236673- kiara-uu- pesisir-simpan- potensi-bahaya. html

Pemikiran tentang :

Pencemaran Pulau seribu

Pencemaran Pulau Seribu

Bidadari Yang Tak Cantik Lagi



Husen Munir hanya bisa menatap kesal

ketika sampah-sampah rumah tangga mengambang di sekitar pantai Pulau

Bidadari. Warna air laut di sekitar pantai pun berwarna kecoklatan. Alhasil

Pulau Biadadari jadi tidak seindah namanya akibat sampah.

"Kemarin padahal airnya masih bersih dan berwarna biru. Sekarang giliran

para pelancong datang kondisinya seperti ini. Saya jadi nggak enak sama

tamu," keluh Husen Munir, Manajer Pulau Bidadari kepada detikcom, Senin

(15/3/2010).

Husen mengaku tidak bisa berbuat banyak, sebab sampah-sampah tersebut

berasal dari 13 muara sungai yang ada di Jakarta. Kalau Jakarta habis

diguyur hujan atau banjir, maka air berwarna kecoklatan dan sampah rumah

tangga
akan mampir ke pulau yang hanya berjarak 7 mil dari daratan Jakarta

tersebut.

Limbah dan sampah itu bukan hanya menyerang Pulau Bidadari. Pulau Untung

Jawa, Pulau Ayer, Pulau Onrust, Pulau Kelor, Pulau Cipir dan Pulau Damar

yang berada di ujung paling timur Teluk Jakarta, juga mendapat kiriman

sampah dan limbah.

Menurut Bupati Kepulauan Seribu, Burhanuddin, dalam sehari minimal 768 meter

kubik sampah mampir ke Teluk Jakarta. Sebanyak 54 persen adalah sampah

plastik, 24 persen kayu, 14 persen tumbuhan, sisanya gelas, karet atau

sterofoam.

"Yang jadi masalah adalah sampah yang masuk ke Teluk Jakarta berasal dari

sampah plastik yang tidak bisa diuraikan secara alamiah, " jelas Burhanuddin

saat mengunjungi Gathering Media di Pulau Bidadari, beberapa waktu lalu.

Namun, kata Burhanuddin, pihaknya merasa kesulitan mengatasi masalah

tersebut. Alasannya, sampah-sampah itu datang dari sungai-sungai di Jakarta.

Pemkab Kepulauan Seribu tidak punya dana untuk menangani serbuan sampah

tersebut. Akibatnya perairan menuju Pulau Seribu dipenuhi sampah. Sampah itu

juga terlihat di sejumlah pulau yang dijadikan obyek wisata.

"Saya melihat sekeliling pulau penuh dengan sampah. Bagaimana kita mau

berenang kalau pantainya dipenuhi sampah. Para wisatawan sangat terganggu

dengan kondisi itu, " ujar Lita Mamonto, aktivis Wahana Lingkungan Hidup

Indonesia (Walhi) kepada detikcom.

Parahnya lagi, limbah B3 yang berbahaya termasuk minyak, ikut mencemari

Pulau Seribu. Tumpahan minyak ini berasal dari kapal-kapal nelayan atau

angkutan penumpang dan kapal tanker minyak. Bahkan ternyata ada pula

penambangan minyak di salah satu pulau di wilayah tersebut. Pencemaran bahan

berbahaya seolah tidak pernah berhenti di Pulau Seribu.

"Harusnya ini menjadi perhatian pemerintah dari hulu ke hilir. Sebab

pencemaran ini sangat menganggangu lingkungan dan daerah wisata," tegas

Lita.

Pernyataan serupa juga dikatakan Slamet Daryoni dari Institut Hijau.

Menurutnya, ketidakpedulian pemerintah terhadap pencemaran lingkungan

membuat banyak kerugian. Masyarakat akan kesulitan mencari ikan karena

lautnya tercemar. Hutan bakau juga tidak bisa tumbuh padahal perannya

penting untuk mencegah abrasi.

"Menurut keterangan sejumlah warga yang kami datangi, mangrove tidak bisa

tumbuh karena airnya tercemar. Padahal mangrove itu sangat penting untuk

menghindari pulau dari bahaya abrasi," tutur Daryoni.

Daryoni meminta pemerintah secara tegas menindak di tempat, kapal-kapal yang

membuang bahan bakarnya di perairan. Selain itu pemerintah juga harus

mengawasi kegiatan pertambangan migas di kepulauan tersebut.

Daryoni mencontohkan kasus tumpahan minyak beberapa tahun lalu di Pulau

Pabelokan. Diduga kebocoran itu berasal dari pertambangan migas PT China

National Offshore Oil Corporation (CNOOC-SES).

"Sayangnya kasus tersebut sudah di-SP3 pada 2006. Tanpa diketahui dari mana

asal tumpahan minyak tersebut. Kalau memang di-SP3 harusnya dijelaskan

tumpahan minyak itu berasal dari mana?" ujarnya. * (ddg/fay)*

Sumber :

http://www.detiknew s.com/read/ 2010/03/17/ 150043/1319596/ 159/bidadari- yang-tak- cantik-lagi

Pemikiran tentang :

Hutan Mangrove

HUTAN MANGROVE
Laju Kerusakan di Lampung Sulit Diredam


Laju kerusakan hutan mangrove diProvinsi Lampung akibat perluasan areal tambak berlangsung secara masif.
Tanpa upaya serius, bukan tidak mungkin hutan mangrove lenyap.

Hal itu diingatkan Herza Yulianto, Direktur Eksekutif Mitra Bentala, Senin
(22/3). Mitra Bentala adalah LSM mitra Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) yang bergerak di kegiatan pendidikan dan penyelamatan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.

Berdasarkan pendataan dan pantauan Mitra Bentala terhadap kawasan pesisir di
Lampung selama beberapa tahun terakhir, tingkat kerusakan hutan bakau di
Lampung mencapai 80 persen.

”Selama ini belum ada data akurat tentang kondisi hutan bakau di Lampung,
tetapi data kami hutan mangrove tinggal 20.000 hektar,” katanya.

Adapun data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung menunjukkan, dari
93.938 hektar hutan bakau yang pernah tercatat, kini menyusut menjadi
sekitar 45.000 hektar. Yang tersisa, kondisinya juga rusak.

Hutan bakau di Lampung terbentang di pesisir pantai timur sepanjang 896
kilometer. ”Kini bentangnya mayoritas berganti tambak,” katanya.

Ironisnya, menurut Kepala Divisi Publikasi dan Kampanye Mitra Bentala
Suprianto, sebagian lahan tambak di pesisir timur Lampung kini sudah tidak
produktif dan dibiarkan telantar. Untuk kembali ditanami bakau tidak mudah
karena pengusaha memilih menjual areal itu.

Revitalisasi atas tambak tidak produktif seperti digembar-gemborkan
pemerintah pusat realisasinya tidak mudah karena biaya investasinya lebih
tinggi daripada membuka areal baru.

Yang disayangkan, menurut Direktur Eksekutif Walhi Lampung Hendrawan, alih
fungsi besar-besaran hutan mangrove menjadi tambak terjadi pula di hutan
lindung. ”Di Way Pisang, masuk di Register I (hutan lindung) di Lampung
Selatan, lahan seluas 200.000 hektar kini sudah bersertifikat dan dimiliki
pengusaha lokal,” katanya.

Artinya, upaya pencegahan alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak tidak
hanya diselesaikan dengan sosialisasi ke masyarakat, melainkan juga ke
aparatur pemerintah.

Kepala Bidang Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung Affan Ernie Erya mengakui, tidak mudah
menghentikan laju alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak. ”Izin pembukaan
tambak berada di kabupaten/kota. Kami hanya berwenang menangani langsung di
empat mil ke atas,” katanya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza
Damanik mengatakan, luas hutan mangrove di Indonesia kini menyusut drastis
dari 4,25 juta hektar tahun 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta hektar tahun
2010.

Rusaknya hutan mengrove berakibat pada terputusnya rantai penghidupan
masyarakat pesisir, musnahnya produktivitas perikanan, serta meningkatkan
kerentanan masyarakat pesisir atas risiko badai dan gelombang tinggi. (jon)

Sumber :

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/23/04043148/laju.kerusakan.di.lampung.sulit.diredam

Pemikiran tentang :

kelapa sawit merusak??

[WalhiNews] Pohon Kelapa Sawit Merusak Hutan
...
Thu, February 25, 2010 12:37:06 PM
From:
Harno WALHI
...
Add to Contacts
To:walhinews
Cc:infosawit@yahoogroups.com; lingkungan@yahoogroups.com



Pohon Kelapa Sawit Merusak Hutan


25 Februari 2010 - Medan, Kompas* - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Sumatera Utara mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana memasukkan
kelapa sawit sebagai tanaman hutan. Alasannya, hal itu akan merusak
lingkungan dan hutan di Indonesia karena kelapa sawit banyak menghasilkan
karbon dioksida.

Direktur Walhi Sumut Sahrul Isman Manik, Rabu (24/2), mengatakan, rencana
pemerintah memasukkan perkebunan kelapa sawit menjadi bagian kawasan hutan
akan merusak ekosistem. ”Meskipun kelapa sawit mampu menyerap karbon
dioksida (CO2), CO2 yang dihasilkannya jauh lebih besar,” ujarnya.


Mengutip data hasil penelitian di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, ia
mengatakan, 1 hektar kebun kelapa sawit yang ditanam selama 25 tahun
menyerap CO2 130 ton sampai 180 ton ekuivalen. Akan tetapi, kelapa sawit itu
menghasilkan CO2 sebanyak 927,9 ton ekuivalen per hektar. Bahkan, kelapa
sawit yang ditanam di lahan gambut bisa menghasilkan CO2 sebanyak 1.375 ton
per hektar.

Artinya, konversi lahan gambut menjadi kebun kelapa sawit seperti yang
selama ini terjadi, itu mempercepat proses pemanasan global.

Meloloskan kelapa sawit masuk dalam kawasan hutan sangat berbahaya.
”Bayangkan berapa banyak hutan alam yang akan terkena dampak pestisida,
berapa banyak anak sungai dan sumber mata air yang tercemar, serta berapa
banyak satwa dilindungi punah akibat menghilangnya sumber-sumber makanan,”
ujarnya. (MHF)


Pemikiran tentang :

open source software???

Indonesia Jadi Musuh Kapitalisme
Karena Open Source Software




Tahukan Anda, kalau penggunaan FOSS (Free Open Source Software)
nantinya akan disamakan dengan pembajakan (piracy)? Bahkan lebih
buruk; pengguna FOSS akan dijadikan "enemy of the state",
lebih tepatnya "enemy of capitalism". Oleh siapa? Siapa lagi
kalau bukan US goverment. Heck, they even already put Indonesia in
their watchlist.

It turns out that the International
Intellectual Property Alliance
, an umbrella group for organisations including
the MPAA and RIAA, has requested with the US Trade Representative to consider
countries like Indonesia, Brazil and India for its "Special 301
watchlist" because they use open source software.

What's Special 301? It's a
report that examines the "adequacy and effectiveness of intellectual
property rights
" around the planet - effectively the list of countries
that the US government considers enemies of capitalism. It often gets wheeled
out as a form of trading pressure - often around pharmaceuticals and
counterfeited goods - to try and force governments to change their behaviours (source).

Sekilas info, Indonesia adalah negara nomor enam penggunaan FOSS (Linux)
terpopuler, setelah India, Cuba, Federasi Rusia, Republik Czech dan Bangladesh
(sumber).

Lebih jauh lagi, dalam sebuah rekomendasinya pada tahun 2009 lalu, IIPA
(International Intellectual Property Alliance) menyebutkan Indonesia layak
mendapatkan Special 301 status, karena menyarankan, sekali lagi
menyarankan, bukan memaksa seluruh departemen negara dan BUMN menggunakan FOSS
pada tahun 2011. Berikut petikan rekomendasinya:

The Indonesian government's
policy... simply weakens the software industry and undermines its long-term
competitiveness by creating an artificial preference for companies offering
open source software and related services, even as it denies many legitimate
companies access to the government market (source).

Halah, dasar kapitalis maunya cari untung dengan meng-eksploitasi negara
orang. Kalau bicara soal IP (Intellectual Property), dunia open
source software
justru lebih strict ketimbang dunia proprietary
software
. Saya tidak tahu dengan Anda, tapi saya justru bangga dengan
sebutan "enemies of capitalism". Ayo gunakan dan sebarkan
FOSS, lawan kapitalisme!

(juga di posting di:
pedy.posterous. com/indonesia- jadi-musuh- kapitalisme- karena-open)

Pemikiran tentang :

Ilegal logging ????

Illegal Logging Ancaman Utama TNBK

PUTUSSIBAU-Sempadan perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kabupaten Kapuas
Hulu sepanjang 474 kilometer. Separuhnya lebih bersinggungan langsung dengan
kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di wilayah Indonesia. Tak
heran, ancaman serius terhadap hutan di kawasan TNBK ini adalah illegal
logging.Kepala Balai Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), Ir, Lutfi Ahmad,
membenarkan adanya ancaman tersebut. Ancaman penebangan kayu secara tidak
sah tersebut tidak hanya datang dari dalam, namun juga dari luar. "Yang
paling besar ancaman adalah dari pihak luar, yaitu dari negara tetangga
kita. Sedangkan dari dalam tidak terlalu besar," ungkap Lutfi.

Ditambahkan Lutfi, sepanjang tahun antara 2003 dan 2004, pihaknya pernah
menemukan adanya jalan di kawasan TNBK. Di perkirakan jalan tersebut
merupakan akses para pelaku illegal logging. Bahkan beberapa tahun lalu,
dari hasil operasi pihaknya menemukan sejumlah kayu hasil tebangan di
kawasan taman nasional terbesar di Kapuas Hulu itu. Jalan tersebut sudah
tidak tampak lagi. Sudah tertutup semak belukar. Ini menandakan tidak ada
aktivitas lagi. Namun ancaman itu bisa saja datang kembali. Sementara
ancaman yang datang dari dalam, Lutfi mengatakan tidak terlalu signifikan.
Ada masyarakat yang menebang satu atau dua pohon untuk keperluan masyarakat
itu sendiri.

Tidak untuk diperjual belikan. Pihaknya sudah buat kesepakatan dengan
masyarakat. Boleh menebang satu pohon tapi harus diganti dengan 10 bibit
pohon. Ini sebagai salah satu komitmen pemanfaatan hutan di kawasan taman
nasional secara lestari. Itupun ada zonanya. "Terutama di zona penyangga.
Sedangkan di zona inti, tidak bisa sama sekali," terang Lutfi.Disinggung
pengawasan sepanjang kawasan TNBK, Lutfi mengatakan pihaknya tetap
melakukannya. Hanya saja, luas wilayah dan bentangan yang panjang sedikit
menyulitkan pihaknya. Salah satu pengawasan yang dilakukan adalah
menggunakan teknologi. Pihaknya setiap tahun memantau dari citra satelit
yang dibeli dari pihak lain. Peta hasil citra satelit itu kemudian di
analisa. Apakah ada perubahan dari tahun ke tahun terhadap kawasan taman
nasional. (wank)

Pemikiran tentang :

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.