Penelitian lain manfaat laut

Hati-hati Soal Laut
Fungsi Lebih sebagai Pelepas Karbon



Jakarta, Kompas - Indonesia sebaiknya jangan gegabah mengajukan laut sebagai
salah satu
jawaban menghadapi persoalan perubahan iklim. Dikhawatirkan,
nantinya justru Indonesia yang akan dirugikan karena sifat lautnya adalah
sebagai pelepas karbon dioksida.

Demikian antara lain salah satu kesimpulan dalam diskusi terbatas bertajuk
”Menguak Mitos Laut Indonesia sebagai Penyerap Karbon” yang diadakan oleh
organisasi lingkungan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Kamis
(26/11) di Jakarta.

”Indonesia jangan gegabah memasukkan laut sebagai salah satu faktor yang
dapat memecahkan persoalan pemanasan global, apalagi menyebutkan laut di
Indonesia bisa menyerap karbon,” ujar Sekretaris Jenderal Kiara Riza
Damanik.

Dia khawatir, jika diteruskan, bukan tidak mungkin justru Indonesia yang
nantinya dirugikan. Jika laut dimasukkan dalam skema perdagangan karbon,
”Bisa-bisa kita yang malahan harus membayar,” lanjutnya.

Kesimpulan tersebut muncul seusai pemaparan berjudul Carbon Cycling in the
Indonesian Seas oleh ahli lingkungan Alan F Koropitan, yang meraih gelar
doktornya di Hokkaido University, Jepang.

Peran laut sebagai penyerap atau pelepas karbon telah satu dekade menjadi
perdebatan di dunia ilmu pengetahuan. Hasil penelitian terakhir yang menjadi
pamungkas adalah hasil penelitian Arnold Gordon.

Alan yang secara khusus melakukan penelitian di Laut Jawa dengan jernih
memaparkan berbagai faktor yang memengaruhi laut untuk kemudian apakah
menjadi pelepas atau penyerap karbon.

Menurut dia, melalui pemaparannya, perdagangan karbon dari laut adalah tidak
memadai, terutama bagi Indonesia, karena laut Indonesia berada di kawasan
tropis yang memiliki temperatur tinggi (29 derajat celsius-30 derajat
celsius).

”Yang berpotensi menyerap karbon adalah laut di subtropis bagian selatan,
yang lebih dingin,” kata Alan, yang juga menjadi dosen pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Di Indonesia hanya
Teluk Lombok yang menyerap karbon, itu pun hanya 8 part per million, diukur
pada tahun 1984. ”Angka yang amat kecil,” ujarnya.

Pada laut dengan temperatur tinggi terjadi upwelling (arus ke atas) yang
mengakibatkan karbon terlepas ke atmosfer. Secara total, menurut Alan,
mengutip penghitungan Takahashi, laut adalah pelepas karbon.

Karena kondisi tersebut, Alan mengusulkan, antara lain, Indonesia harus
lebih memerhatikan marine ecosystem under global warming (mengamati
perubahan ekosistem laut akibat pemanasan global), mengatur tata kelola
pesisir laut terkait populasi, serta lebih memberikan perhatian pada
pengembangan energi baru dan terbarukan dari energi pasang surut.

”Karena di Indonesia banyak teluk, pasang surutnya dapat digunakan sebagai
sumber energi,” ujarnya. (ISW)

Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/28/0349159/hati-hati.soal.laut

Pemikiran tentang :

Perternakan Vs Gas Rumah Kaca ????


Peternakan Hasilkan 51 Persen Gas Rumah kaca

World Watch Institute, dalam laporan yang dirintis Watch Magazine Edisi November/Desember 2009 menyebut bahwa peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya 51 persen penyebab gas rumah kaca global. Ini bukan lagi lampu kuning melainkan sudah lampu merah.

World Watch Institute adalah organisasi riset independen di Washington Amerika Serikat yang berdiri sejak 1974. Organisasi ini dikenal kritis terhadap isu global dan lingkungan. Penulis artikel itu Dr Robert Goodland, mantan penasihat utama bidang lingkungan untuk Bank Dunia, dan staf riset Bank Dunia Jeff Anhang. Keduanya membuat laporan ini berdasar Bayangan Panjang Peternakan , laporan yang diterbitkan tahun 2006 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

Majalah itu terbit dalam 36 bahasa dan data penelitiannya digunakan oleh banyak NGO (lembaga swadaya masyarakat) di seluruh dunia, dan juga badan-badan di bawah PBB. NGO yang memakai data-datanya antara lain Greenpeace Southeast Asia, dan Yayasan Obor Indonesia.

Dua peneliti itu juga menghitung siklus hidup emisi produksi ikan yang diternakkan, CO2 dari pernapasan hewan, dan koreksi perhitungan yang sebenarnya dari jumlah hewan ternak yang dilaporkan di muka bumi. Gas metana yang dikeluarkan oleh hewan ternak mengikat panas 72 kali lebih kuat daripada CO2. Hal ini mewakili kenaikan yang lebih akurat dari perhitungan asli FAO dengan potensi pemanasan sebesar 23 kali. Meskipun demikian, peneliti itu memberitahu bahwa perkiraan mereka tentang 51 persen itu masih angka minimal.

"Masyarakat Indonesia, bahkan pihak-pihak yang mestinya memerhatikan isu-isu lingkungan, harus tahu informasi-informasi mengenai dampak industri peternakan dan bahaya daging. Apa yang hendak pemerintah Indonesia lakukan sekarang ini? Data-data sudah terhampar. Pemerintah, jika masih saja tidak percaya tentang bahaya daging, tolong buka internet dan mencari tahu," ujar pemerhati lingkungan yang juga dosen arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta Agustinus Madyana Putra.


Sumber:

http://sains. kompas.com/ read/xml/ 2009/11/05/ 08121712/ Peternakan. Hasilkan. 51.Persen. Gas.Rumah. kaca




Pemikiran tentang :

apa Jakarta tenggelam ?????


2030 Ibukota Jakarta Diprediksi Tenggelam

Dari 661.52 kilometer persegi luas lahan hijau, kini tersisa 9,6 persen
saja. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Ubaidillah memprediksi Ibukota Jakarta tenggelam pada 2030. Perkiraan ini
bisa jadi benar-benar terjadi apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak
segera mengantisipasi.

Pencegahan yang harus dilakukan pemerintah antara lain dengan
mempertimbangkan bahwa ruang terbuka hijau yang dimiliki Jakarta sekarang
kini terus berkurang. Dari 661.52 kilometer persegi luas lahan kini tersisa
9,6 persen saja.

“Dan sisanya berubah jadi bangunan," kata Ubaidillah dalam konferensi pers
mengenai tanggap darurat siaga bencana banjir di Kantor Walhi Jalan Kalibata
Timur, Jakarta Selatan, Rabu 18 November 2009.

Pemerintah juga harus ingat bahwa sebagian permukaan tanah di Jakarta ini
mengalami penurunan, yang diakibatkan banjir dan genangan air. Selain itu,
sebagian wilayah di Ibukota Jakarta ini berada di bawah permukaan laut.

Yang harus diperhatikan pemerintah lagi ialah proyek-proyek bangunan yang
pendiriannya tidak mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Bangunan itu,
misalnya pusat-pusat perbelanjaan.

Buruknya sistem saluran air juga dinilai Ubaidillah ikut memicu munculnya
bencana besar.

“Semua itu kalau tidak dibenahi Jakarta benar-benar tenggelam,” katanya.

Dia mengingatkan alokasi anggaran untuk penanganan banjir 2010 di DKI
Jakarta mencapai Rp 855 miliar. Ubaidillah berharap dana besar ini agar
digunakan secermat mungkin untuk antisipasi banjir.

Sementara itu berdasarkan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika, puncak hujan terjadi pada Januari 2010. Diperkirakan ketinggian
permukaan genangan air yang membanjiri Jakarta meningkat dibandingkan musim
penghujan awal 2009 yang mencapai 10 sentimeter sampai 250 sentimeter.

Dengan pertimbangan buruknya tata kota Jakarta sekarang ini, kemungkinan
ketinggian permukaan genangan air di Jakarta pada Januari 2010 mencapai
lebih dari 250 sentimeter. “Tidak mungkin menurun dari musim sebelumnya,”
kata Ubaidillah.

Selain itu juga diprediksi tejadi perluasan wilayah genangan air secara
menyeluruh di Jakarta.

Sumber :

http://metro.vivanews.com/news/read/106730-2030_ibukota_jakarta_diprediksi_tenggelam

Pemikiran tentang :

Kertas dan Pohon Kita

Nugroho F Yudho

Ironis memang. Ketika perkembangan teknologi informasi berkembang sedemikian
rupa, mestinya penggunaan kertas berkurang. Namun, yang terjadi justru
kebutuhan manusia akan kertas dan berbagai produk turunannya meningkat
pesat. Kertas kini sudah menjadi salah satu kebutuhan utama manusia.

Kebutuhan akan kertas sama pentingnya dengan energi listrik. Pemakan kertas
terbanyak di dunia adalah penduduk Amerika Serikat, China, dan Kanada—jumlah
total populasi hanya 18,6 persen dari seluruh penduduk dunia. Ketiga negara
besar yang perkembangan teknologi informatikanya sangat pesat ini
mengonsumsi 73 persen dari produksi pulp dan kertas dunia hingga lima tahun
lalu.

Kertas adalah komoditas yang berbahan baku pohon, terutama akasia dan
eukaliptus yang hingga kini masih paling diandalkan. Repotnya, tidak semua
negara bisa ditanami pohon tersebut. Hanya di negara tertentu kedua pohon
itu bisa tumbuh dan berkembang baik. Jadi meski pada tahun 2010 kapasitas
industri pulp dunia diperkirakan bakal digenjot hingga menjadi 202 juta ton
kering (adt-air dried ton), kebutuhan umat manusia akan kertas tidak juga
bakal tercukupi.

Itu artinya, akan makin banyak lagi pohon ditebang, kalau masyarakat dunia
tidak semakin bijak dalam menggunakan kertas. Kebutuhan untuk pendidikan
(seperti buku) serta informasi dan komunikasi (seperti koran atau majalah)
memang masih tidak terhindarkan. ”Tapi, sesungguhnya, pemakan kertas
terbesar justru kantor, bisnis, dan industri. Jadi penghematan penggunaan
kertas mestinya justru dipacu di kantor-kantor dan industri. Itu sebabnya
program-program, seperti green office, harus didukung” ujar Hanny Soema Di
Pradja, Direktur Utama Jakarta Delta Female Radio, yang gencar berkampanye
soal green office.

Namun, lalu apa hubungannya penebangan pohon dengan pemanasan global?
Pemanasan global diakibatkan oleh terjebaknya energi panas Matahari di
atmosfer Bumi lantaran aktivitas manusia yang membuang emisi gas rumah
kaca—di antaranya karbon dioksida (CO)—secara berlebihan. Gas rumah kaca ini
memerangkap energi Matahari itu sehingga suhu udara Bumi meningkat. Suhu
atmosfer yang meningkat tersebut memengaruhi dinamika udara di atmosfer
sehingga mengakibatkan perubahan iklim secara radikal, air laut bertambah
asam karena kandungan CO meningkat, penguapan semakin banyak, dan massa uap
air semakin banyak, mengakibatkan intensitas hujan lebih tinggi, sehingga
menyebabkan banjir, badai, dan angin topan karena ketidakseimbangan udara di
atmosfer akibat pemanasan yang berlebihan.

Perubahan iklim secara drastis juga menyebabkan gagal panen tanaman pangan,
sebagian fauna dan flora terancam punah, ekosistem di laut rusak, penyakit
tropis meluas, dan memunculkan penyakit baru.

Pohon sebenarnya lebih berfungsi menjaga keseimbangan karena pohon menyerap
CO yang berlebih, sekaligus memproduksi oksigen. Semakin banyak pohon,
semakin banyak emisi terserap sehingga mengurangi gas rumah kaca. Selama
kita belum memiliki mesin penyerap CO dan pembuat O secara murah, pohon
adalah jalan terbaik untuk mendinginkan suhu Bumi.

Hutan Indonesia

Dalam konteks inilah sebenarnya penanaman sebanyak mungkin pohon menjadi
penting, untuk mengembalikan keseimbangan alam. Penebangan pohon secara liar
tidak disertai penanaman kembali pohon baru tidak hanya merusak lingkungan,
tetapi juga menambah parah pemanasan global.

Di seluruh dunia, sebenarnya ada 4 miliar hektar hutan atau 30 persen dari
luas daratan. Indonesia punya 133,6 juta hektar hutan atau 3 persen hutan
dunia. Masalahnya, dari sekitar 4 miliar hektar hutan dunia, setiap tahun
hampir 13 juta hektar mengalami deforestasi. Selama 20 tahun terakhir 3
persen hutan dunia telah beralih fungsi.

Akan tetapi, tepatkah jika konsumsi kertas dituding menjadi biang keladi?
Kalau dilihat dari penggunaan hutan kita, hingga 1996 hutan untuk hutan
tanaman industri (HTI) untuk pulp dan kayu 10,26 juta hektar. Yang
direalisasi 3,03 juta hektar, dengan 1,8 juta hektar di antaranya untuk
industri pulp. Jumlah ini relatif kecil dibandingkan dengan hutan yang
dialokasi untuk hutan alam produksi—mencapai 60,9 juta hektar.

Dari sisi itu, isu konsumsi kertas sebagai perusak lingkungan menjadi agak
berlebihan. Indonesia ada pada urutan ke-9 di jajaran negara produsen pulp
dunia, menyumbang 2,5 juta hingga 2,7 juta ton per tahun. Posisi teratas
produsen pulp dan kertas dunia tetap dipegang AS, yang produksinya 52,6 juta
ton pulp dan 82 juta ton kertas.

Indonesia memiliki keuntungan strategis yang sulit dikalahkan. Sebagai
negara beriklim tropis, akasia dan eukaliptus di Indonesia bisa berkembang
lebih cepat dibandingkan dengan di negara subtropis. Hanya butuh enam tahun
untuk panen.

Indonesia kini menjadi kuda hitam produsen pulp dan kertas dunia, meski luas
hutan yang dialokasi jauh lebih kecil daripada negara-negara Barat. Kelompok
usaha Sinar Mas, salah satu perusahaan yang memanfaatkan keunggulan itu.
”Justru karena unggulnya iklim tropis, kami menanam sebanyak mungkin pohon
di areal HTI pulp. Kami rugi sendiri kalau membiarkan lahan HTI kosong atau
melakukan penebangan liar. Buktinya, dalam 10 tahun terakhir, industri pulp
dan kertas tak pernah kekurangan bahan baku, ” ujar G Sulistyanto, Managing
Director Sinar Mas, satu dari dua produsen pulp dan kertas terbesar di
Indonesia.

Dari data Departemen Kehutanan 2007, yang justru rusak parah akibat
penebangan yang tak disertai penanaman kembali dan maraknya penebangan liar
adalah hutan alam, hutan produksi terbatas, ataupun produksi tetap. Jadi,
meski arealnya jauh lebih luas, kontribusi ekonominya justru menurun tajam
selama 10 tahun terakhir karena kurangnya pasokan bahan baku kayu. Setengah
dari 303 perusahaan terkait industri kayu yang ada, kini bangkrut atau tidak
beroperasi lagi.

Apa pun alasannya, penghematan kertas tetaplah sebuah keharusan agar tidak
makin banyak pohon ditebang. Kita belum bisa menghindari penggunaan kayu
dalam berbagai kebutuhan hidup. Namun, keniscayaan teknologi mestinya
membuat kita bisa memanfaatkan kayu secara lebih bijak. Ini bisa kita
lakukan bukan hanya dengan menghemat penggunaannya, tetapi juga menanam
sebanyak mungkin pohon. Kita harus merehabilitasi hutan serta menanam pohon
di jalan-jalan, di lingkungan perumahan dan kantor, di lahan kosong, atau
bahkan di halaman rumah kita sendiri.

Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/10/0245488/kertas.dan.pohon.kita

Pemikiran tentang :

Laut di RI berpotensi besar serap karbon

Potensi laut Indonesia masih besar dalam penyerapan karbon karena kenaikan
suhu muka laut di negeri ini jauh lebih kecil daripada kutub sehingga
potensi kehilangan kemampuan serap di laut Indonesia jauh lebih kecil.

“Hal itu belum mempertimbangkan adanya arus lintas Indonesia, gejala El Nino
dan banyaknya gunung berapi aktif di Tanah Air yang berdampak positif
terhadap daya serap karbon di laut,” kata Edvin Aldrian, Kepala Pusat
Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, BPPT hari ini.

Menurut Indroyono Soesilo, Sesmenko Kesra, sejauh ini, beberapa perhitungan
mengenai neraca karbon laut di perairan Indonesia telah dilakukan oleh
sejumlah peneliti. Departemen Kelautan dan Perikanan pun telah mengeluarkan
rilis mengenai potensi terumbu karang, hutan bakau, dan keseburuan perairan
dalam menyerap karbon.

Dari berbagai kajian tersebut, katanya, laut Indonesia masih memiliki
potensi yang sangat besar dalam menyerap karbon. Laut Jawa secara umum
memiliki potensi CO2, meski konsentrasi CO2 yang dilepaskan relatif lebih
kecil.
Dalam upaya lebih mengetahui masalah potensi karbon laut tersebut, kata
Indroyono, Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) mengadakan Pertemuan
Ilmiah Tahunan (PIT) ke-6 pada 16-17 November di IPB International
Convention Center, Botani Square, Bogor.

Pertemuan dengan tema Pengarusutamaan peran kelautan dalam pembangunan
berkelanjutan tersebut, akan diikuti sedikitnya 500 peserta pakar kelautan
dan perikanan dari dalam negeri dan luar negeri. Indroyono yang juga sebagai
Ketua Umum ISOI periode 2008-2011, menuturkan ada 180 makalah yang akan
dipresentasikan.

Dia mengatakan pertemuan ilmiah itu akan menggali konsep pemikiran
pembangunan kelautan nasional berbasis sustainable environment, yang mengacu
pada butir-butir Manado Ocean Declaration (MOD), serta mempererat jaringan
kerja sama dalam dan luar negeri, yang akhirnya dapat disumbangkan kepada
pemerintah.

Pertemuan yang juga akan dihadiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel
Muhammad tersebut, dilaksanakan secara gotong royong, a.l. didukung oleh
para peneliti, pemerhati, badan dan lembaga pemerintah serta swasta yang
terkait dengan masalah kelautan, Kementerian Koordinator bidang
Kesejahteraan Rakyat, DKP, Depbudpar, Depdiknas, LIPI dan masyarakat yang
peduli dengan masalah kelautan di Indonesia.

sumber :
http://www.koranindonesia.com/2009/11/10/laut-di-ri-berpotensi-besar-serap-karbon/

Pemikiran tentang :

Jakarta Paling Rentan Terhadap Perubahan Iklim

Jakarta Paling Rentan Terhadap Perubahan Iklim

Empat LSM menyatakan, DKI Jakarta
merupakan kota yang paling rentan di kawasan se-Asia Tenggara dalam
menghadapi dampak perubahan iklim.

Siaran pers dari empat LSM bidang lingkungan hidup dan perairan yang
diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu, menyebutkan, Jakarta merupakan kota
terentan se-Asia Tenggara terhadap perubahan iklim yang dampaknya sudah
dirasakan sejak lama oleh nelayan dan masyarakat daerah pesisir.

Empat LSM terebut adalah Institut Hijau Indonesia (IHI), Koalisi Rakyat
untuk Keadilan dan Perikanan (KIARA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
(KNTI), dan Forum Komunikasi Nelayan Jakarta (FKNJ).

Direktur Lingkungan Hirup Perkotaan IHI Selamet Daroyni mengatakan,
rentannya Jakarta juga membuat wilayah Jakarta Utara kerap terkena bencana
rob sehingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus bertindak cepat dalam
memastikan terpenuhinya hak-hak dasar korban banjir rob.

Selamet memaparkan, hak-hak dasar tersebut antara lain tempat pengungsian
yang layak, sumber pangan, air bersih, dan obat-obatan.

Namun, lanjutnya, hal mendasar yang sangat penting untuk dilakukan adalah
mengevaluasi tata ruang wilayah DKI Jakarta.

Koordinator Program KIARA Abdul Halim mengatakan, Pemprov DKI Jakarta harus
membuat rencana tata ruang wilayah yang lebih mengedepankan prinsip
perbaikan lingkungan hidup dan tanggap atas pelbagai potensi bencana.

Selain itu, lanjut Abdul Halim, Pemprov DKI juga harus meninjau kembali
Rencana Induk Penanggulangan Banjir Jakarta agar lebih akomodatif terhadap
kepentingan nelayan tradisional dan masyarakat daerah pesisir.

Sebelumnya, banjir rob kembali menggenangi pemukiman warga Marunda, Jakarta
Utara, Kamis (5/11) pagi.

Dengan ketinggian air sekitar 60 - 80 centimeter, sekitar 500 kepala
keluarga (KK) terendam tempat tinggalnya, dan sekitar 20 hektar tambak juga
tenggelam. (Tz.M040/ C/A011)

Sumber:
http://www.news. id.finroll. com/articles/ rilis-press/ 167546-lsm- jakarta-paling- rentan-terhadap- perubahan- iklim.html

Pemikiran tentang :

Pulau di Bali Rentan Tenggelam

Denpasar *(ANTARA News)* - Direktur Yayasan Wisnu, I Made Suarnatha,
mengemukakan bahwa pulau-pulau kecil di dunia, termasuk di Bali, rentan
tenggelam sebagai dampak perubahan iklim.

"Kita perlu mencari skenario untuk mencegah kemungkinan ini. Skenario untuk
melindungi pulau-pulau kecil di Indonesia ini akan dibahas dalam seminar di
Sanur, Bali," kata tokoh LSM lingkungan itu di Denpasar, Senin.

Seminar tentang "Adaptasi terhadap Perubahan Iklim di Kepulauan dan Pesisir
dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan" itu akan digelar, Selasa (27/10)
oleh Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim (KBPI), yakni koalisi LSM di Bali
yang berkiprah dalam perubahan iklim.

Ia menjelaskan, berdasarkan lembar informasi yang dibuat KBPI, kenaikan suhu
bumi mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Akibatnya, beberapa negara
kepulaun kini terancam.

Menurut laporan dari pertemuan para pihak Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC)
tahun 2005, kenaikan permukaan laut satu meter akan menyebabkan Maladewa
(Maldive) tenggelam.

"Di Grenada, kenaikan 50 cm saja akan menenggelamkan 60 persen pantainya. Di
Indonesia pun beberapa pulau kecil terancam akan tenggelam. Di Bali, yang
diprediksi tenggelam adalah Nusa Penida," katanya.

Beberapa pulau lain yang diprediksi tenggelam adalah Bangka Belitung di
Kepulauan Riau, Pulau Solor di NTT, Pulau Wetar, Obi dan Kai di Maluku serta
Pulau Gag di Papua.

Menurut Made Suarnatha, salah satu sebabnya adalah karena kebijakan
pemerintah yang tidak mendukung agenda adaptasi di kepulauan kecil, termasuk
terjadinya pembiaran.

Kebijakan dan pembiaran tersebut, misalnya adalah mendorong pariwisata
massal di pulau kecil. Sebuah pulau kecil, termasuk Bali, umumnya merupakan
daratan dengan pantai yang indah dan eksotis, sehingga mendorong pemerintah
mengembangkannya menjadi obyek pariwisata massal.

Ia mengemukakan, kebijakan untuk memberikan peluang bagi industri
pariwisata, terutama yang tidak ramah lingkungan dan sosial untuk melakukan
ekspansi dapat berdampak bagi daya dukung dan daya tampung pulau tersebut.

"Misalnya pengembangan resor dan lapangan golf akan meningkatkan alih fungsi
kawasan produktif, seperti lahan pertanian dan hutan menjadi bangunan
komersial dan meningkatkan konsumsi air yang sudah terbatas jumlahnya serta
perusakan terumbu karang akibat wisata bahari," ujarnya.

Walaupun merupakan negara kepulauan, katanya, Indonesia dalam melaksanakan
kebijakan maupun lobi di tingkat internasional kurang memperhatikan adaptasi
terutama untuk kawasan kepulauan dan pesisir.

Menurut dia, di dalam Rencana Nasional Menghadapi Perubahan Iklim, titik
beratnya adalah mitigasi atau mengurangi emisi gas rumah kaca, dan kurang
pada adaptasi atau penyesuaian menghadapi perubahan iklim.

Karena itu, katanya, KBPI mendesak agar pemerintah Indonesia melakukan
adaptasi dan mitgasi terhadap pemanasan global ini. Seminar yang diadakan
KBPI diperkirakan diikuti sekitar 100 peserta dari berbagai wilayah di
Indonesia.

Selain itu, KBPI juga menggelar semiloka untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasan tentang pemanasan global yang terkait dengan perubahan iklim,
terutama dampak di wilayah kepulauan kecil dan menengah serta pesisir.

KBPI terdiri dari sejumlah LSM, komunitas, dan individu Bali yang peduli
dengan dampak perubahan iklim, seperti Yayasan Wisnu, PPLH Bali, Walhi Bali,
Bali Organic Association (BOA), dan lainnya.
(*)

Pulau di Bali Rentan Tenggelam
26 Oktober 2009/ ANTARA News
Denpasar *(ANTARA News)* - Direktur Yayasan Wisnu, I Made Suarnatha,
mengemukakan bahwa pulau-pulau kecil di dunia, termasuk di Bali, rentan
tenggelam sebagai dampak perubahan iklim.

"Kita perlu mencari skenario untuk mencegah kemungkinan ini. Skenario untuk
melindungi pulau-pulau kecil di Indonesia ini akan dibahas dalam seminar di
Sanur, Bali," kata tokoh LSM lingkungan itu di Denpasar, Senin.

Seminar tentang "Adaptasi terhadap Perubahan Iklim di Kepulauan dan Pesisir
dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan" itu akan digelar, Selasa (27/10)
oleh Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim (KBPI), yakni koalisi LSM di Bali
yang berkiprah dalam perubahan iklim.

Ia menjelaskan, berdasarkan lembar informasi yang dibuat KBPI, kenaikan suhu
bumi mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Akibatnya, beberapa negara
kepulaun kini terancam.

Menurut laporan dari pertemuan para pihak Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC)
tahun 2005, kenaikan permukaan laut satu meter akan menyebabkan Maladewa
(Maldive) tenggelam.

"Di Grenada, kenaikan 50 cm saja akan menenggelamkan 60 persen pantainya. Di
Indonesia pun beberapa pulau kecil terancam akan tenggelam. Di Bali, yang
diprediksi tenggelam adalah Nusa Penida," katanya.

Beberapa pulau lain yang diprediksi tenggelam adalah Bangka Belitung di
Kepulauan Riau, Pulau Solor di NTT, Pulau Wetar, Obi dan Kai di Maluku serta
Pulau Gag di Papua.

Menurut Made Suarnatha, salah satu sebabnya adalah karena kebijakan
pemerintah yang tidak mendukung agenda adaptasi di kepulauan kecil, termasuk
terjadinya pembiaran.

Kebijakan dan pembiaran tersebut, misalnya adalah mendorong pariwisata
massal di pulau kecil. Sebuah pulau kecil, termasuk Bali, umumnya merupakan
daratan dengan pantai yang indah dan eksotis, sehingga mendorong pemerintah
mengembangkannya menjadi obyek pariwisata massal.

Ia mengemukakan, kebijakan untuk memberikan peluang bagi industri
pariwisata, terutama yang tidak ramah lingkungan dan sosial untuk melakukan
ekspansi dapat berdampak bagi daya dukung dan daya tampung pulau tersebut.

"Misalnya pengembangan resor dan lapangan golf akan meningkatkan alih fungsi
kawasan produktif, seperti lahan pertanian dan hutan menjadi bangunan
komersial dan meningkatkan konsumsi air yang sudah terbatas jumlahnya serta
perusakan terumbu karang akibat wisata bahari," ujarnya.

Walaupun merupakan negara kepulauan, katanya, Indonesia dalam melaksanakan
kebijakan maupun lobi di tingkat internasional kurang memperhatikan adaptasi
terutama untuk kawasan kepulauan dan pesisir.

Menurut dia, di dalam Rencana Nasional Menghadapi Perubahan Iklim, titik
beratnya adalah mitigasi atau mengurangi emisi gas rumah kaca, dan kurang
pada adaptasi atau penyesuaian menghadapi perubahan iklim.

Karena itu, katanya, KBPI mendesak agar pemerintah Indonesia melakukan
adaptasi dan mitgasi terhadap pemanasan global ini. Seminar yang diadakan
KBPI diperkirakan diikuti sekitar 100 peserta dari berbagai wilayah di
Indonesia.

Selain itu, KBPI juga menggelar semiloka untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasan tentang pemanasan global yang terkait dengan perubahan iklim,
terutama dampak di wilayah kepulauan kecil dan menengah serta pesisir.

KBPI terdiri dari sejumlah LSM, komunitas, dan individu Bali yang peduli
dengan dampak perubahan iklim, seperti Yayasan Wisnu, PPLH Bali, Walhi Bali,
Bali Organic Association (BOA), dan lainnya.

Sumber :
http://www.antarane ws.com/berita/ 1256555453/ lsm-pulau- di-bali-rentan- tenggelamLSM:

Pemikiran tentang :

Suap Menyuap Indonesian style



JOHN PERKINS: 4 CARA SUAP RESMI DI INDONESIA

Dalam Confessions of Economic Hit Man, aku menggambarkan hubunganku pada
akhir 1980-an dan 1990-an dengan Stone and Webster Company (SWEC), yang
pada saat itu merupakan firma konstruksi dan konsultan paling terhormat
dan terbesar di AS. SWEC akan memberiku sekitar setengah juta dolar
asalkan aku menghentikan penulisan buku tentang kehidupanku sebagai
Bandit Ekonomi. Sesekali, perusahaan tersebut meminta aku benar-benar
mengabdi kepada mereka.

Suatu hari pada tahun 1995, seorang petinggi SWEC menelepon untuk
meminta bertemu denganku. Sambil makan siang, ia membahas proyek
pembangunan kompleks pemrosesan bahan kimia di Indonesia. Ia berusaha
meyakinkanku bahwa pembangunan itu akan menjadi salah satu proyek
terbesar sepanjang seabad sejarah perusahaan. Nilainya tak kurang dari 1
Milyar dolar. “Aku bertekad mewujudkan proyek ini,” katanya dan
kemudian, sambil melirihkan suaranya, ia mengaku, “tapi aku tak bisa
melakukannya sebelum menemukan cara membayar salah seorang anggota
keluarga Soeharto sebesar 150 juta dolar.”

“Suap,” jawabku.
Ia mengangguk. “Anda pernah tinggal lama di Indonesia. Tolong
beritahukan kepadaku bagaimana mewujudkannya.”

Aku katakan ada empat cara memberi “suap resmi”.
SWEC bisa menyewa buldozer, mesin derek, truk, dan peralatan berat
lainnya dari perusahaan milik keluarga Soeharto dan kroninya dengan
harga yang lebih tinggi dari harga normal
Cara kedua dengan mengalihkan kontrak beberapa proyek kepada perusahaan
milik keluarga tersebut dengan harga tinggi
Ketiga, menggunakan cara serupa untuk memenuhi kebutuhan makanan,
perumahan, mobil, bahan bakar dan kebutuhan lainnya
Dan keempat, mereka bisa menawarkan diri untuk memasukan putra-putri
para kroni orang Indonesia itu ke kampus-kampus prestisius AS,
menanggung biaya mereka, dan menggaji mereka setara dengan konsultan dan
pegawai perusahaan ketika berada di AS

Meski tahu bahwa barangkali dibutuhkan keempat pendekatan di atas
sekaligus, dan butuh waktu beberapa tahun untuk mengatur uang sebanyak
itu, aku meyakinkan dirinya bahwa aku sudah menyaksikan keberhasilan
siasat semacam ini, dan bahwa perusahaan dan eksekutif AS yang
melakukannya tak pernah terseret hukum. Aku sarankan juga agar ia
memikirkan usulan menyewa geisha untuk memuluskan rencana.

“Geisha,” katanya sambil menyerangi culas, “itu saja pekerjaan sulit.”
Selain itu, ia mengaku prihatin karena anak buah Soeharto meminta “uang
di muka secara terang-terangan.”

Harus aku akui, aku tidak tahu bagaimana menyediakan uang tunai sebanyak
itu “di muka”. Setidaknya secara ilegal.

Ia berterimakasih kepadaku, dan aku tak mendengar kabar lebih jauh darinya.

Pada 15 Maret 2006, The Boston Globe memuat tajuk berikut ini dalam
halaman depan segmen bisnisnya : MEMO SUAP DAN BANGKRUTNYA STONE &
WEBSTER. Artikel itu membeberkan kisah tragis bagaimana perusahaan yang
berdiri tahun 1889 dan memiliki sejarah cemerlang itu ambruk dan
mencatatkan kebangkrutannya pada tahun 2000. Ujung-ujungnya perusahaan
ini diakuisisi Shaw Group. Menurut Globe “lebih dari 1.000 karyawan di
PHK, dan tabungan mereka dalam bentuk saham Stone & Webster lenyap.”
Wartawan Globe, Steve Bailey menyimpulkan bahwa keruntuhan tersebut
berpangkal pada “Memo kritis (yang) membeberkan suatu usaha rahasia
perusahaan secara detail. Yakni, membayar suap senilai 147 juta dolar
kepada seorang kerabat Presiden Soeharto untuk mengamankan kontrak
terbesar sepanjang sejarah Stone & Webster.

Insiden kedua bermula dengan email yang aku terima dari putra seorang
pejabat pemerintah Indonesia yang pernah mempekerjakanku pada tahun
1970-an. Ia meminta bertemu denganku.

Emil (bukan nama sebenarnya) bertemu denganku di sebuah restoran Tailand
yang tenang di Upper West Side New York. Ia mengaku terkesan dengan
bukuku, Confessions of Economic Hit Man. Ayahnya mengenalkan padaku di
Jakarta saat usianya kira-kira sepuluh tahun. Seingatnya ia sering
mendengar namaku. Ia mengaku mafhum bahwa ayahnya adalah salah seorang
pejabat korup yang aku gambarkan dalam buku itu. Lalu, sambil menatap
lurus ke mataku, ia mengaku telah mengikuti jejak ayahnya. “Aku ingin
bertobat,” katanya. “Aku ingin mengaku seperti Anda.” Ia tersenyum
lembut. “Tapi aku mempunyai keluarga dan akan kehilangan banyak hal. Aku
yakin Anda mengerti maksudku.”

Aku meyakinkannya bahwa aku tak akan memberitahukan namanya atau apa
saja yang bisa membuat identitasnya terbongkar.

Kisah Emil sesungguhnya membuka pikiran kami. Ia menegaskan bahwa
militer Indonesia memiliki sejarah panjang mengumpulkan uang dari sektor
swasta untuk membiayai kegiatan-kegiatanny a. Dia mencoba menganggap
enteng hal ini, mengabaikannya dengan tawa, karena sepengetahuannya, hal
semacam itu sudah biasa di negara Dunia Ketiga. Lalu ia menjadi serius.
“Sejak lengsernya Soeharto 1998, segalanya bahkan kian buruk. Soeharto
benar-benar diktator militer yang bertekad tetap mengendalikkan angkatan
bersenjata. Begitu kekuasaan berakhir, banyak tokoh Indonesia yang
berusaha mengubah hukum agar kedudukan sipil bisa lebih tinggi dibanding
militer, tapi sia-sia. Mereka pikir dengan mengurangi anggaran militer,
tujuan akan tercapai. Tapi para jenderal tahu kemana mereka harus
meminta bantuan: perusahaan-perusaha an pertambangan dan energi asing.”

Aku katakan kepada Emil bahwa ucapannya mengingatkanku pada kondisi di
Kolombia, Nigeria, Nikaragua, dan banyak negara lain. Di negara-negara
itu, milisi swasta digunakan untuk menambah angkatan bersenjata nasional.

Emil mengiyakan. ” Di Indonesia pun banyak tentara bayaran. Tapi yang
aku ceritakan ini lebih buruk. Dalam beberapa tahun terakhir angkatan
bersenjata kami dibeli oleh korporasi-korporasi asing. Dampaknya
menakutkan karena, seperti Anda lihat, sekarang korporasi memiliki
angatan bersenjata sekaligus sumber daya alam kami.”

Saat aku bertanya mengapa ia membeberkan informasi ini, ia menoleh dan
memandang lalu lintas jalanan dari jendela restoran. Akhirnya ia kembali
menatapku. “Aku seorang kolaborator. Korupsi yang aku lalukan bahkan
lebih parah kalau dibandingkan ayahku. Aku satu diantara orang yang
mengatur, mengumpulkan uang dari perusahaan, dan menyerahkan kepada
militer. Aku malu. Yang bisa aku lakukan hanya berbicara dengan Anda dan
berharap Anda memberitahukannya kepada dunia.”

Berminggu-minggu setelah pertemuan itu, sebuah artikel di website The
New York Time menggelitik sanubariku. Tulisan itu merinci kegiatan
sebuah perusahaan yang berbasis di New Orleans, Freeport-McMoRan Copper
and Gold. Mereka “membayar 20 juta dolar untuk para komandan dan unit
militer di kawasan tersebut (Papua) selama tujuh tahun terakhir sebagai
imbalan perlindungan terhadap berbagai fasilitas mereka di sana.”
Selanjutnya ditegaskan, “Hanya sepertiga dana untuk angkatan bersenjata
Indonesia yang berasal dari anggaran negara. Selebihnya dikumpulkan dari
sumber “tak resmi” sebagai “biaya perlindungan”, sehingga administrasi
militer bisa berjalan mandiri, terpisah dari kontrol keuangan pemerintah.

Artikel tersebut mengantarkanku kepada dua artikel lainnya yang pernah
muncul di website The Times pada September 2004. Keduanya
mendeskripsikan dua kejadian baru-baru ini di tempat aku dahulu bermain,
Sulawesi, selain mendokumentasikan dugaan bahwa perusahaan penghasil
emas terbesar dunia, Newmont Mining Corp., yang berbasis di Denver,
membuang arsenik dan merkuri secara ilegal ke lautan di Teluk Buyat.
Saat membaca, aku teringat pekerjaanku- jaringan listrik, jalanan,
pelabuhan, dan infrastruktur lainya yang didanai Bandit Ekonomi dan
dibangun kembali pada 1970-an. Semua itu menciptakan kondisi yang
memungkinkan Newmont menjalankan aktivitas penambangan sekaligus
meracuni laut. Sebagaimana ditegaskan manajer proyekku, Charlie
Illingworth, pada kunjungan pertamaku, kami dikirim ke Indonesia untuk
memastikan perusahaan minyak mendapatkan apa saja yang mereka perlukan.
Tapi sebentar kemudian aku paham bahwa misi kami tidak sebatas itu.
Sulawesi menjadi contoh utama bagaimana uang “bantuan” memberi
keuntungan pada perusahaan multinasional.

The Times menunjukan, “perseteruan dengan Newmont telah menyulut kesan
populer yang menguat bahwa perusahaan pertambangan dan energi
mengendalikan sistem regulasi Indonesia yang lemah. Banyak yang menuding
korupsi, kronisme, dan tidak berkembangnya struktur hukum adalah kondisi
yang diwariskan Jenderal Soeharto, diktator yang lengser pada 1998 dan
yang, demi sejumlah uang, membuka pintu bagi investasi asing.”

Saat menatap artikel-artikel itu, dugaan yang dulu dilontarkan walikota
“Desa Kelelawar” dan orang Bugis pembuat kapal, muncul di layar
komputer. Seolah para rasul yang disebutan kitab suci turun kembali
untuk menghantuiku. AS benar-benar telah mengirim kelelawarnya untuk
mengekspliotasi dan mencemari negeri-negeri asing. Para pelaut dan
kapal-kapal kuno, yang hanya bersenjatakan golok besar, tak punya banyak
peluang untuk mempertahankan negeri mereka dari kekuatan Pentagon, atau
melawan angkatan bersenjata yang menjadi antek perusahaan.

Sumber :
milist : kahmipronetwork@yahoogroups.com

Pemikiran tentang :

Selamatkan Indonesia dari Ancaman Korporatokrasi!

Harian Bisnis Indonesia (26/10),” Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) jilid II mengadopsi hampir 100% roadmap Kadin mengenai pembangunan
ekonomi 2009-2014 sebagai program 100 hari kabinet yang berumur hampir
sepekan”.



Harian Ekonomi KONTAN (26/10), “Kabinet berpihak kepada
kepentingan pengusaha, pemerintah akan lebih teratur menggelar pertemuan dengan
pengusaha”

Isu perburuhan dan juga lingkungan hidup dinilai menjadi
penghambat pertumbuhan ekonomi (Kompas,29 Oktober 2009, halaman
depan,"Hambatan- hambatan Pertumbuhan Ekonomi)



Positions



1. Negara
korporatokrasi adalah negara yang kebijakan-kebijakan politiknya diarahkan
untuk melayani kepentingan korporasi besar



2. Republik
korporatokrasi Indonesia akan mengabaikan hak-hak buruh



3. Republik
korporatokrasi Indonesia akan mengabaikan hak-hak warga atas lingkungan hidup



4. Cegah
Indonesia menjadi Republik Korporatokrasi

Sumber :
http://www.causes. com/causes/ 386101/about

Pemikiran tentang :

Krakatau Ditambang



Perusahaan Memastikan untuk Membantu Mitigasi Bencana


Bandar Lampung, Kompas - Pasir Gunung Anak Krakatau terancam ditambang
dengan dalih melakukan mitigasi bencana gunung berapi. Menteri Kehutanan
memastikan kegiatan tersebut ilegal jika dilakukan.

Manajer Wilayah Sumatera Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri
Friatna, Kamis (29/10), mengatakan, informasi mengenai dugaan penambangan
pasir Gunung Anak Krakatau sudah diperoleh sejak dua bulan yang lalu. Akan
tetapi, kegiatan yang mencolok baru terjadi dua minggu yang lalu, tepatnya
ketika dua buah kapal merapat di pantai Gunung Anak Krakatau. Satu kapal di
antaranya memuat pipa-pipa.

”Dari penelusuran Walhi, dengan mengonfirmasi kepada anak buah kapal,
pipa-pipa di dalam kapal tersebut hendak dipasang untuk menyedot pasir
Gunung Anak Krakatau,” ujar Mukri.

Saat penelusuran tersebut, Walhi tidak melihat adanya pasir Krakatau di
dalam kapal. Akan tetapi, berdasarkan penuturan warga Pulau Sebesi, atau
pulau terdekat dengan Gunung Anak Krakatau, kapal tersebut disebut-sebut
beberapa kali mengangkut pasir dari Krakatau.

Direktur Utama PT Ascho Unggul Pratama Suharsono, yang dikonfirmasi,
memastikan bahwa penempatan kedua kapal di sekitar Gunung Anak Krakatau
sudah mendapat izin dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Selatan.

Mitigasi bencana


Suharsono mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah untuk membantu Pemkab
Lampung Selatan dalam melaksanakan mitigasi bencana. Tindakan tersebut
sesuai dengan rencana teknis dan strategis aksi mitigasi bencana Kabupaten
Lampung Selatan.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung Ambar Dwiyono
mengatakan, izin masuk wilayah Gunung Anak Krakatau diberikan karena
perusahaan hendak mengadakan uji coba pemasangan alat mitigasi. Izin masuk
diberikan oleh BKSDA Lampung pada 29 September 2009.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung,
Surono mengatakan, kegiatan perusahaan tersebut sejatinya hanya untuk
mendapatkan pasir Krakatau dengan dalih mitigasi. Sesuai Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah diatur, dalam
penanggulangan bencana yang diperhatikan adalah manusia.

”Kepulauan Gunung Anak Krakatau juga sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar
alam dengan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan ditetapkan
kembali oleh Pemerintah RI,” ujar Surono.

Zulkifli Anwar, mantan Bupati Lampung Selatan, mengatakan, kegiatan itu
belum ada izin dari Menhut. Secara terpisah, Menhut Zulkifli Hasan
menegaskan, kegiatan penambangan di kawasan Cagar Alam Laut Krakatau
merupakan kegiatan ilegal. ”Harus segera dihentikan,” ujarnya, tegas. (hln)

Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/30/03015686/krakatau..ditambang

Pemikiran tentang :

Scientific accord `crucial' on oceans, forests as carbon sinks

Desy Nurhayati and Adianto P. Simamora

Indonesia has stressed the urgency for climate change experts to issue
scientific assessments on the roles of forests and oceans in absorbing
carbon to fight global warming.

Rachmat Witoelar, head of Indonesia's National Council on Climate Change
(DNPI), made the call Monday in his speech to the Inter-governmental Panel
on Climate Change (IPCC) meeting in Nusa Dua, Bali, before 430 climate
scientists from 140 countries.

Rachmat, the former environment minister, said scientific findings would
help developing countries step up their efforts to address the impacts of
climate change.

"Most developing countries are being hit by the impacts of climate change
because their science has not been adequately developed," he said.

"They lack capacity to produce adaptation and mitigation measures due to the
lack of a scientific basis.

"The world now demands stronger scientific assessment to pursue adaptation
and mitigation measures at local levels, of a high degree of certainty that
can be measured."

Rachmat urged the IPCC to produce scientific statements on forests and
oceans as carbon sinks, as well as set up reference emissions levels for the
now-debated REDD scheme.

The IPCC is the world's highest body on climate matters, set up by the World
Meteorological Organization
(WMO) and the United Nations Environment
Programme
(UNEP).

The reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD)
scheme is expected to be an alternative mechanism to cut greenhouse gas
emissions
as forestry activities contribute up to 20 percent of global
emissions.

International communities have hailed Indonesia's move to promote forests
and oceans in climate talks.

However, Indonesia, with 120 million hectares of forests and 5.8 million
square kilometers of sea covering 70 percent of the archipelago, has no
scientific data yet on the capacity of its forests or oceans to absorb
carbon emissions.

The four-day IPPC meeting is expected to reach an agreement for its fifth
assessment report to be published in 2013 and 2014.

Indonesian delegation chairwoman Sri Woro B. Harijono said the oceans had
huge potential to absorb carbon because of currents.

"Once the carbon is absorbed, it flows with the current, so there isn't any
saturation," she said.

IPCC chairman Rajendra Pachauri suggested the discussion should also touch
on the socioeconomic impacts of climate change to support policy making on
the issue.

In Jakarta, a civil-society forum urged President Susilo Bambang Yudhoyono
to get directly involved in discussions on Indonesia's agenda to be promoted
in Copenhagen.

"Yudhoyono must attend the meeting organized by the DNPI to discuss
Indonesia's agenda and determine the negotiators at Copenhagen," said Reza
Damanik, secretary-general of the People's Coalition for Equal Fisheries.

Source:
http://www.thejakar tapost.com/ news/2009/ 10/27/scientific -accord-crucial0 39-oceans- forests-carbon- sinks.html

Pemikiran tentang :

Indonesian Government Says Oil From Australian Spill Has Polluted Parts of

Eras Poke & Fidelis E Satriastanti

Kupang. The regional environmental management agency in East Nusa Tenggara

confirmed on Tuesday that the waters of the Timor Sea had been contaminated
by oil spilled in August from a well operated by a Thai company.

The Montara oil well, which is located in Australian waters, began spewing a
reported 400 barrels of oil a day into the ocean on Aug. 21, creating an oil
slick at least 100 times the size of Sydney Harbor. The well, which is
operated by Thailand’s PTT Exploration and Production Australasia, is
located about 700 kilometers west of Darwin.

More than two months after the oil spill started, efforts to stop the leak
have yielded little result, with oil now spreading to at least 6,000 square
kilometers.

“Water samples we took on Oct. 10 tested positive for oil suspected to have
come from the Montara oil field,” said Oematan, the head of the agency,
which is also known as the BPLHD.

He added that the samples had been taken from the waters off Kolbano Beach
in Kualin village, South Central Timor district.

Oematan said the agency conducted further tests on Friday to determine the
spread of the oil in the Timor Sea. Samples were taken from four locations,
two in the southern part of Rote Island, near Ashmore Island, and two in the
waters off Kolbano.

The agency, he said, had reported the results to East Nusa Tenggara Governor
Frans Lebu Raya, as well as to the Environmental Management Center in
Denpasar, because the issue involved both Australia and Indonesia.

Oematan said his agency was awaiting the results of meetings on the issue
between the central government in Jakarta and the provincial government.

In its report, he said, the agency recommended further investigation of the
source of the pollution off Kolbano Beach. It also called for the government
to set up a team that could respond to the spill, and establish an early
warning system in case the oil continued to spread in Indonesian waters.

Oematan said that if left unattended, the Montara oil spill could harm
marine life in the country’s waters, especially in the Timor Sea. He said
the threat posed by the spill required the central government in Jakarta to
cooperate with Australia to manage the problem.

The Directorate of Marine Transportation at the Ministry of Fisheries and
Maritime Affairs began monitoring pollution levels in the Timor Sea on Oct.
23 to determine the severity of the problem after local fishermen reported
finding clumps of crude oil in the country’s Exclusive Economic Zone.

Rote Ndao district head Leonard Haning said he had received information that
fishermen from Rote and Kupang districts had discovered hundreds of dead
fish in Indonesian waters.

He said that in response, his office had ordered the fishermen not to offer
the dead fish for consumption, pending the results of an investigation by a
team of experts from the Directorate of Marine Transportation.

Meanwhile, Riza Damanik, secretary general of the Fisheries Justice
Coalition (Kiara), urged the government to send a letter of protest to the
Australian government over the oil spill.

“A letter of protest would be a diplomatic step taken by the government of
Indonesia to urge the Australian government to accept responsibility for its
neglectful handling of marine pollution,” Riza said.

“Since the incident occurred in the transboundary part of the sea where
maritime borders are not recognized, it would also be a good idea to write
to a world organization like the UN,” he added.

source :
http://thejakartaglobe.com/home/indonesian-government-says-oil-from-australian-spill-has-polluted-parts-of-timor-sea/338113

Pemikiran tentang :

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.