Jakarta tenggelam.....Oh No

Jangan Biarkan Jakarta Tenggelam Karena Perubahan Iklim

Oleh : Ani Purwanti

”Jakarta akan tenggelam pada 2025. Pantai Jakarta akan bergeser dari
tempatnya sekarang di Jakarta Utara ke kawasan Senen di Jakarta Pusat.
Hanya sebagain Jakarta Timur dan Selatan yang tersisa.”

Itulah kalimat yang muncul dari paparan Rully Syumanda saat dialog
interaktif South to South Film Festival (StoS) Roadshow bersama para
siswa SMA Muhammadyah 1 Salemba, di Jakarta Pusat pada 20 Agustus lalu.

Mungkin banyak orang tidak percaya mendengarnya. Apalagi bagi orang yang
selama ini tidak peduli akan kondisi lingkungannya. Namun itulah
perkiraan para ilmuwan bila gaya hidup atau lifestyle masyarakat dunia
khususnya penduduk ibukota Indonesia ini masih seperti saat ini.

Bila masyarakat masih boros dalam pemakaian bermacam produk untuk
kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum, mandi, berhias,
bertransportasi, berkomunikasi, lalu tidak mengelola dan mengendalikan
sampah yang dihasilkannya, menebang hutan, merubah fungsi lahan dan
sebagainya, maka suhu bumi akan meningkat.

Bermacam kegiatan manusia itu menghasilkan gas karbondioksida (CO2),
methana (NH4), nitroksida (N2O) yang dikenal sebagai gas rumah kaca.
Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir yang menyelimuti bumi bermanfaat
untuk menghangatkan bumi yang dingin. Namun bila konsentrasinya tidak
stabil dan cenderung meningkat, maka suhu bumi meningkat dan terjadilah
pemanasan global.

Baca selengkapnya di www.stosfestival.org

Pemikiran tentang :

Sejarah bangsa bahari

ARUNG SEJARAH BAHARI
Menjadi Bangsa yang Ingkar



Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 31
Mei 1945, Muhammad Yamin mengingatkan bahwa calon negara yang tengah mereka
persiapkan—yang sudah disepakati bernama Indonesia—terutama berupa daerah
lautan. Oleh karena itu, kata Yamin, ”Membicarakan daerah negara Indonesia
dengan menumpahkan perhatian pada pulau dan daratan sesungguhnya berlawanan
dengan keadaan sebenarnya.”

Sejak awal pendirian republik ini, Yamin sudah menyadari kenyataan bahwa
laut Nusantara adalah sumber kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Maka,
yang pertama-tama perlu mendapat perhatian seharusnya adalah bagaimana
memanfaatkan laut dengan segala potensinya itu untuk kesejahteraan rakyat
serta keadilan dan perdamaian.

Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, laut ibarat mata-telinga sekaligus
sumber pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Kesadaran ini pula yang
ingin diteguhkan Yamin. Dengan konsep ”Tanah Air”-nya, ia mengawali
pemahaman baru tentang ruang kehidupan bagi bangsa yang baru bertumbuh:
Indonesia!

Laut diyakini akan jadi tumpuan masa depan umat manusia, lebih-lebih bagi
Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berupa laut. Di dalamnya begitu
banyak sumber daya alam yang belum tergarap dan dapat dimanfaatkan bagi
kesejahteraan umat manusia.

Sumber daya perikanan melimpah. Begitu banyak jenis yang tersedia di laut,
kita bisa langsung ”memanen” tanpa terlebih dahulu harus ”menanam” benihnya.
Hanya perlu modal serta teknologi penangkapan dan pengelolaannya.

Belum lagi sumber minyak dan gas. Dari sekitar 60 cekungan yang ada saat
ini, 40 cekungan berada di lepas pantai dan 14 cekungan di kawasan pesisir.
Jumlah cekungan yang menyimpan kandungan minyak dan gas bumi tersebut boleh
jadi baru sebagian kecil dari potensi sebenarnya yang masih tersimpan di
dasar laut Nusantara.

”Jangan lupa, laut berikut selat-selat yang ada berfungsi bagi pelayaran
untuk mengangkut barang dan orang dalam skala besar. Dengan kata lain,
selain untuk kesejahteraan, laut juga berperan untuk mewujudkan keadilan dan
perdamaian,” kata Susanto Zuhdi, sejarawan maritim dari Universitas
Indonesia.

Negara kepulauan

Sangat boleh jadi, terkandung harapan yang besar semacam itu pula ketika
pemerintah—melalui Kabinet Djoeanda—pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan
Indonesia sebagai negara kepulauan (archipilagic state).

Lewat deklarasi yang bersifat unilateral tersebut, Indonesia menyatakan,
demi keamanan dan kesatuan, laut Indonesia adalah yang berada di sekitar, di
antara, dan dalam kepulauan negara RI. Diklaim juga bahwa batas laut
teritorial Indonesia diperlebar dari semula hanya 3 mil (4,82 km) menjadi 12
mil (19,3 km) diukur dari garis pantai terluar pada saat air laut surut.

Terlepas dari kenyataan baru 35 tahun kemudian klaim Indonesia ini diterima
PBB dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982, semua itu memperlihatkan adanya
upaya untuk meneguhkan kembali kesadaran sebagai bangsa dan negara maritim.
Bukankah sejatinya konsepsi dari sebuah negara kepulauan adalah menempatkan
laut sebagai yang utama?

Konsepsi ini sejalan dengan pemahaman tentang ”daerah inti” (heartland)
dalam suatu negara kepulauan, sebagaimana diusung Adrian B Lapian. Nakhoda
pertama sejarawan maritim Asia Tenggara ini mengingatkan, bagi sebuah negara
kepulauan seperti Indonesia, apa yang disebut sebagai daerah inti bukanlah
suatu pulau atau daratan. ”Wilayah maritimlah yang memegang peran sentral,”
ujarnya.

Peran itu bahkan sudah diakui kebenarannya dalam sejarah peradaban bangsa
ini sejak tahun-tahun awal abad pertama Masehi. Wilayah Indonesia masa
lampau, dengan laut, selat, dan teluk yang menaunginya, menjadi jalur utama
perniagaan yang menghubungkan kawasan timur (daratan Tiongkok) dan barat
(India, Persia, Eropa).

Peran ini berlangsung selama berabad-abad, dengan ”tuan” dan ”nakhoda” yang
datang silih berganti. Sekali masa Portugis mengendalikan perdagangan di
kawasan ini. Inggris pun sempat menikmati penguasaan Selat Melaka dan jalur
pelayaran di pantai barat Sumatera sebelum diambil alih sepenuhnya oleh
pedagang-pedagang Belanda.

Begitulah bila perspektif sejarah digunakan untuk melihat peran sentral laut
Nusantara, sekaligus menengok jalinan interaksi sosial-kultural—juga
ekonomi-politik—antarpengguna kawasan ini.

Ironisnya, ketika laut jadi incaran banyak orang, ketika dunia makin percaya
bahwa masa depan umat manusia berada di laut, kita sebagai bangsa yang lebih
dari dua pertiga wilayahnya berupa laut justru masih saja berpaling ke
darat. Laut diposisikan sebagai halaman belakang, sekadar tempat
leyeh-leyeh, sembari menikmati senja saat matahari terbenam.

Deklarasi Djoeanda yang menegasikan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam
kenyataannya tak diikuti kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pada
pembangunan bermatra kelautan. Juga tidak dalam bentuk memperkuat
peningkatan kapasitas angkatan laut yang memadai untuk merealisasikan klaim
sebagai negara kepulauan tersebut.

”Perkembangan politik setelah kemerdekaan, terutama dengan menguatnya peran
angkatan darat sebagai kekuatan politik, semakin menegaskan posisi Indonesia
yang berorientasi ke darat daripada ke laut,” kata Riwanto Tirtosudarmo dari
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, dalam diskusi di Departemen Pertahanan, akhir Mei lalu.

Sebuah fenomena menarik dari bangsa Indonesia tengah dipertontonkan, yang
membuat sejarawan Ong Hok Ham (alm) sampai geleng-geleng kepala. Ia pun
berucap, ”Apakah orang Indonesia hanya (bisa) hidup terpencil dikelilingi
gunung berapi dan hidup dari usaha pertanian untuk kemudian dikolonisasi
oleh penguasa yang menguasai lautan Indonesia?”(KEN)

Sumber:
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/28/04182650/menjadi.bangsa.yang.ingkar

Pemikiran tentang :

HP-3 Hak Perairan Pesisir belum teruji

Kembalikan ke Konsep Perizinan


Jakarta, Kompas - Pengusahaan kawasan perairan sebaiknya kembali pada konsep perizinan, bukan pemberian hak. Oleh karena itu, rencana pemberian menetapkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir kepada swasta perlu ditinjau lagi.

Menurut Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria, di Jakarta, Minggu (23/8), Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) berupa konsesi pengusahaan perairan dan pesisir kepada swasta kini belum teruji penerapannya di negara mana pun.

Dicontohkan, konsesi pengelolaan perairan yang berlaku di Jepang, misalnya, hanya diberikan kepada koperasi. Pemberian konsesi pengusahaan perairan kepada swasta berpotensi menuai ketidakadilan perikanan.

”Oleh karena itu, pemberian konsesi pengusahaan perairan dan pesisir selayaknya tetap menggunakan mekanisme perizinan sehingga peran negara tetap dominan,” ujar Arif.

HP3 diatur dalam Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dengan HP3, pemerintah akan memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

HP3 memberi peluang bagi privatisasi sumber daya pesisir selama 20 tahun, bahkan dapat diperpanjang dan dialihkan.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Sudirman Saad berpendapat, penerbitan HP3 harus mengacu pada peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir. Masyarakat pesisir, nelayan, dan pembudidaya ikan harus terlibat dalam penyusunan perda itu.

Peralihan HP3, kata Sudirman, wajib mendapat izin dari pemda untuk menghindari adanya konsentrasi kepemilikan oleh perusahaan swasta tertentu.

Kamis (20/8) pekan lalu, sejumlah nelayan, mahasiswa, dan lembaga swadaya masyarakat

berunjuk rasa ke Departemen Kelautan dan Perikanan, meminta Presiden membatalkan penerbitan PP tentang HP3 dan meminta HP3 dikaji lagi. (LKT)


Sumber : http://koran. kompas.com/ read/xml/ 2009/08/24/ 04390272/ .kembalikan. ke.konsep. perizinan

Pemikiran tentang :

water crisis.......

Water crisis will deepen in the country, activists warn

Adianto P. Simamora

The booming business of bottled water and its privatization will further
block people from accessing cheap and clean water resources, threatening
millions with a serious water crisis, warn activists.

Activists from the Committee of Saving State Assets, the Indonesian Forum
for Environment (Walhi) and the Indonesian Farmer Union renewed their calls
on the government to review the 2007 law on water resources, which allows
private companies to manage piped water.

"Water privatization must end. There must be review of articles in the 2007
law on water resources," the coordinator of the Committee of Saving State
Assets, Marwan Batubara, who is also a member of the Regional
Representatives Council
, told a dialogue Thursday.

He said the government needed to shift its focus to providing access to
clean water for everyone.

Currently, only 28 percent of the country's population, mostly in urban
areas, has access to piped water.

Indonesia, one of the signatory members of the Millennium Development Goals
(MDGs), is required to give 65 percent of the population access to piped
water.

The government has blamed financial problems as the main obstacle to meeting
this target, saying it would need about Rp 80 trillion to provide access to
piped water to 10 million households.

Walhi's executive director, Berry Forqan, said the government's poor control
of bottled water companies had blocked people's access to their own water
resources
.

"However, it seems the government is yet to open their eyes to this
problem," he said.

He said the recent rejection of a bottled water company to operate in Curung
Goong village, Banten, by local residents, should highlight the public's
concern of access to water resources.

According to Walhi, there are 246 water companies operating in the country
that produced 4.2 billion liters of bottled water in 2001. Of those
companies, about 65percent of the bottled water in the country was produced
by two foreign companies, the Aqua brand, by the Danone group and Ades, by
the Coca-Cola company.

Business expert Erwin Ramedhan said the government needed to investigate the
bottled water companies to ensure their production was equal to their
business permits.

"The government needs to audit the companies to evaluate the number of water
springs they exploit to get the water," he said.

The country has long been under pressure to deal with poor water management,
which causes floods in the rainy seasons and severe water crises during
drought periods.

Aside from the water supply, the government has also failed to improve the
quality of clean water.

A 2008 report by the state environment ministry revealed that the qualities
of water in rivers, basins and lakes continued to be heavily polluted by
domestic and industrial waste.

Sumber : The Jakarta Post

Pemikiran tentang :

Jika kekuasaan yang berbicara......; HAM...??? kelaut aja kali

Lempar Handuk di Lapindo Kepolisian menghentikan penyidikan kasus semburan
lumpur Lapindo. Harapan kini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

BENDERA putih akhirnya dikibarkan Kepolisian Daerah Jawa Timur. Lapindo
rupanya ”lawan” yang berat bagi polisi. Rabu dua pekan lalu, Direktur
Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur Komisaris Besar Edi Supriyadi meneken
surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur yang
menenggelamkan 12 desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, itu. ”Semburan
terjadi karena fenomena alam,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda
Jawa Timur Komisaris Besar Pudji Astuti. Dengan ”putusan” ini, sirnalah
harapan meminta pertanggungjawaban biang bencana itu di depan meja hijau.

Awalnya adalah semburan lumpur yang muncrat sekitar 200 meter di barat daya
sumur eksplorasi minyak Sumur Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas di
Desa Renokenongo, Porong, 29 Mei tiga tahun lalu. Luapan lumpur kemudian
meluber ke mana-mana hingga kini seluas 640 kali lapangan sepak bola.

Empat hari setelah lumpur muncrat, polisi memulai penyidikan. Polisi menduga
ada kelalaian, yakni tidak dipasangnya pipa selubung (casing) pada tahapan
pengeboran. Penyidik kemudian menyita sejumlah dokumen pengeboran dan
memeriksa 60 saksi dan ahli. Mereka terdiri dari korban lumpur, pelaksana
pengeboran, ahli geologi, ahli teknik perminyakan, dan ahli pengeboran.

Ada 13 tersangka yang kemudian ditetapkan sebagai biang bencana ini. Di
antaranya General Manager PT Lapindo Brantas Imam P. Agustino. Polisi
menjerat mereka dengan Pasal 187 dan 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang kejahatan yang membahayakan orang lain serta Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancaman hukuman kejahatan ini lima tahun
penjara.

Rampung di tingkat kepolisian, berkas penyidikan itu dilimpahkan ke
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk dilanjutkan ke pengadilan. Di sini mulai
muncul persoalan. Berkas itu empat kali dikembalikan jaksa. Alasannya, belum
ada kesamaan pandangan dari para ahli bahwa semburan itu terjadi karena
kesalahan pengeboran, bukan bencana alam.

Tak hanya polisi yang memperkarakan kasus ini. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia
dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia juga menggugat masalah
lumpur Lapindo itu dari sisi perdata. Dua lembaga ini menggugat pemerintah
dan PT Lapindo supaya bertanggung jawab terhadap para korban dan
menanggulangi luberan lumpur. Namun gugatan mereka mentok di Mahkamah Agung.
Dalam putusan kasasinya pada awal April lalu, Mahkamah menyatakan peristiwa
luberan lumpur itu merupakan bencana alam.

Bolak-baliknya perkara—dan ditolaknya gugatan perdata itu—bisa jadi membuat
polisi kehilangan ”gairah” mengusut kasus ini. Salah satu alasan yang paling
kerap dilontarkan: mereka tidak menemukan saksi mata yang bisa menjelaskan
fakta dan hubungan semburan lumpur dengan aktivitas pengeboran. Karena
itulah, ujar Pudji, penyidikan dihentikan. Tujuannya: demi kepastian hukum.
”Penyidikan sudah berjalan lebih dari tiga tahun, padahal standarnya 120
hari,” kata Pudji.

Dengan dihentikannya penyidikan, otomatis status 13 tersangka itu kini
menjadi manusia bebas kembali. Vice President Public Relations PT Lapindo
Brantas
Yuniwati Teryana menyatakan pihaknya memang mengharapkan kepastian
hukum dalam kasus ini. ”Kami menyikapi dengan baik,” ujar Yuniwati.

Yang terkejut dengan SP3 ini tentu saja para aktivis lingkungan, yang sejak
mula percaya penyebab bencana ini adalah kelalaian Lapindo. ”Kami mendesak
surat penghentian penyi-dikan itu dicabut,” kata Direktur Walhi Jawa Timur
Catur Bambang Nusantara. Catur menduga penyidikan dihentikan tak lain agar
beban ganti rugi dari Lapindo ditagih ke pemerintah.

Polisi rupanya sudah bersiap menghadapi serangan atas munculnya SP3 itu.
Menurut Pudji, kendati SP3 sudah keluar, tetap tak tertutup kemungkinan
penyidikan dibuka kembali. ”Asal ada bukti baru,” kata dia. Walhi menyambut
”tantangan” itu. Catur mengatakan lembaganya siap memberikan bukti baru
bahwa semburan itu murni kesalahan pengeboran yang dilakukan Lapindo. Bukti
itu, di antaranya, berupa audit tim independen yang menyatakan ada korelasi
semburan lumpur dengan pengeboran yang dilakukan Lapindo.

Praktisi hukum pidana Bambang Widjojanto melihat alasan penghentian
penyidikan oleh polisi itu sangat lemah. Belum adanya kesamaan pandangan
dari para ahli itu, menurut dia, bukan alasan kasus ini lalu dihentikan.
Perbedaan pandangan ahli itu, menurut Bambang, dapat dikesampingkan demi
kepentingan publik. ”Biar hakim yang menilai pendapat ahli yang mana yang
benar,” katanya. Polisi, ujarnya, juga tidak bisa menghentikan penyidikan
dengan mengacu pada gugatan perdata yang ditolak pengadilan. ”Karena
mestinya yang diungkap pidananya terlebih dahulu,” katanya.

Menurut Bambang, jika polisi tidak mampu melengkapi bukti yang diminta,
mestinya jaksa dapat mengambil alih penyidikan dengan melengkapi bukti atau
keterangan saksi untuk menguatkan dakwaannya. ”Masalahnya, jaksanya mau atau
tidak,” ujarnya. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur memilih tutup mulut terhadap
munculnya SP3 ini. ”Kami belum menerima surat resmi tentang penghentian
penyidikan itu,” asisten pidana umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Edi
Rakamto, memberi alasan.

Setelah kasus perdata dan pidana terempas, kini yang ditunggu memang hasil
kerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Anggota Komnas HAM, Kabul
Supriyadhie, mengatakan tim investigasi Komisi menyimpulkan terdapat
indikasi pelanggaran hak asasi dalam kasus lumpur Lapindo. Kini, menurut
Kabul, tim ad hoc penyelidikan dugaan pelanggaran berat hak asasi kasus
lumpur Lapindo tengah menyelidiki kasus tersebut. ”Kami sedang menyusun
kerangka kerja,” kata Kabul, yang ditunjuk menjadi ketua tim ad hoc
tersebut. Apabila nanti ditemukan dugaan pelanggaran hak asasi, kata dia,
hasil penyelidikan akan diteruskan ke kejaksaan dan bermuara pada Pengadilan
Hak Asasi Manusia.

Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/08/17/HK/mbm.20090817.HK131129.id.htmlMajalah

Pemikiran tentang :

Pembahasan zona laut

Zonasi Laut Dikompromikan
Oleh Naomi Siagian

Jakarta – Penyusunan zonasi perairan harus berdasarkan kompromi antara pemerintah daerah (pemda), masyarakat dan pelaku usaha sebagai dasar pembentukan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).

Kapling laut ini akan dimulai disusun tahun 2010 di 20 kabupaten/kota dan kota.
“Pemda wajib melibatkan masyarakat, termasuk LSM, dalam penyusunan zonasi. Jangan hanya antara pemda dan pengusaha,” tegas Sekretaris Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Sudirman Saad, Jumat (7/8).

Penyusunan zonasi dipastikan mulai 2010, sebab Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil akan selesai tahun ini. UU ini memuat mengenai HP3 secara khusus.

Keterlibatan masyarakat diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Noor PER.08/MEN/2009 tentang Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Zonasi disusun dalam bentuk peraturan daerah (perda) dengan pertimbangan akan memiliki legitimasi kuat. Sebab, perda disusun setelah mendapat persetujuan dari DPRD yang diharapkan akan menjadi representasi masyarakat. Sebelum perda disahkan, harus mendapat persetujuan dari Gubernur dan Menteri Kelautan dan Perikanan. “Berdasarkan UU No 27 Tahun 2007, tidak boleh ada pemanfaatan perairan tanpa rencana zonasi,” kata Sudirman.

Sudirman menegaskan, penyusunan zonasi menyesuaikan dengan kondisi riil perairan dan nelayan di sekitarnya. Pelaku usaha yang menguasai perairan atau pemilik pulau harus menyesuaikan dengan zonasi.

Hentikan Kapling Laut
Sementara itu, dalam siaran pers, KIARA (Keadilan Rakyat untuk Keadilan Perikanan) membuat pernyataan desakan masyarakat hukum adat, nelayan tradisional, perempuan nelayan, masyarakat pesisir, masyarakat peduli lingkungan hidup, gerakan masyarakat sipil, dan akademisi dari Indonesia, Malaysia, Filipina, India, dan Thailand guna menghentikan praktik privatisasi, monopoli, dan liberalisasi sumber daya kelautan dan pesisir.

Desakan itu disampaikan pada International Symposium on Customary Institutions in Indonesia: Do they Have a Role in Fisheries and Coastal Area Management yang diselenggarakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Lombok, Kamis (6/8).

Bona Beding dari Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus Lamalera menegaskan, masyarakat hukum adat, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir tidak akan mungkin memperoleh HP3 dan hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan melalui kluster perikanan.

Abdul Halim, Koordinator Program KIARA, menegaskan HP3 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap, khususnya aturan terkait kluster perikanan adalah wujud nyata praktik ketidakadilan negara dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan.

Pengamat kelautan Hasyim Djalal juga menegaskan, pengelolaan kelautan jangan sampai merusak kesatuan bangsa. Laut, tegasnya, harus dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. “Laut seharusnya tidak dikapling, karena itu akan berbahaya bagi kesatuan kebangsaan dan kesatuan wilayah,” tegas Hasyim. n

Sumber: http://www.sinarhar apan.co.id/ cetak/berita/ read/zonasi- laut-dikompromik an/

Pemikiran tentang :

Bencana Atau muslihat....?

Menteri Lingkungan: Lumpur Lapindo Bukan Bencana AlamBanyak ahli yang 99
persen yakin ini akibat ulah Lapindo.


Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) belum memutuskan status akhir semburan
lumpur Lapindo. Namun, ia sebagai anggota BPLS tetap berpendapat penyebab
semburan itu bukan bencana alam. Mestinya bukan bencana alam, kata Rachmat
melalui telepon kepada Tempo, Senin lalu.

Ia menunjuk hasil penelitian sejumlah geolog dan aktivis lingkungan hidup
yang menyatakan penyebab semburan bukan bencana alam. Namun, dalam
rapat-rapat yang digelar BPLS, Rachmat mengakui hampir semua anggota
berpendapat hal itu karena bencana alam yang dipicu oleh industri. Tetapi
ini belum menjadi putusan akhir.

Rachmat belum mengetahui kapan pemerintah memutuskan status semburan lumpur
Lapindo tersebut. Yang penting, kata dia, PT Lapindo Berantas, anak usaha
Grup Bakrie, wajib memberikan ganti rugi kepada warga yang menjadi korban
hingga tuntas.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mendesak pemerintah tidak
mengubah status bencana Lapindo menjadi bencana alam. Apalagi kalau hal itu
hanya didasari terbitnya surat perintah penghentian penyidikan oleh
Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 5 Agustus lalu. “Pemerintah harus fair.
Masih banyak ahli yang 99 persen yakin ini akibat ulah Lapindo, kata
Direktur Walhi Catur Bambang Nusantara.

Mayoritas ahli geologi dan perminyakan dunia, kata Catur, yakin bencana
lumpur itu akibat aktivitas pengeboran di Sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo
Brantas Inc. Walhi mencontohkan hasil analisis dari TriTech Petroleum
Consultants Limited yang diberikan kepada Medco Energi International. Hasil
dari TriTech itu jelas Lapindo salah sehingga Medco tidak mau bertanggung
jawab.

Lapindo Brantas merupakan operator Blok Brantas, yang 50 persen sahamnya
dimiliki oleh Lapindo, 32 persen Medco, dan 18 persen Santos.

Menanggapi soal status akhir lumpur Lapindo, Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati memilih bungkam. Saya belum mau berkomentar soal hal itu, katanya,
Senin lalu.

Sedangkan Presiden Komunikasi dan Sosial Lapindo Brantas, Yuniwati Terryana,
memastikan akan tetap mematuhi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007
tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, sekalipun status itu nantinya
berubah menjadi bencana alam. Lapindo tetap melaksanakan pembayaran
jual-beli tanah dan bangunan hingga 2012, kata dia.

Ia menambahkan, Lapindo memang menjadwalkan, pembayaran kepada seluruh warga
yang terkena dampak semburan akan rampung pada 2012. Total biayanya mencapai
Rp 8,5 triliun.

Sedangkan pembayaran infrastruktur yang rusak, Yuniwati berpegang pada
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Infrastruktur bukan bagian Lapindo,
melainkan (tanggung jawab) pemerintah.

FATKHURROHMAN TAUFIQ
AGOENG WIJAYA
MARIA HASUGIAN

Sumber :http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/19/headline/krn.20090819.174270.id.htmlKoranTEMPO/19

Pemikiran tentang :

Kavling Laut....

Pengaplingan Laut Tak Dikenal di Dunia


Jakarta, Kompas - Konsep pengaplingan laut tidak dikenal di dunia. Selama ini konvensi internasional mengadopsi pembatasan laut secara imajiner didasarkan pada kesepakatan antarnegara.

Kesepakatan itu melibatkan perwakilan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. ”Kaidah pengelolaan laut itu selayaknya diikuti oleh Indonesia,” ujar Suseno, staf ahli Menteri Bidang Ekonomi Sosial dan Budaya Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Minggu (9/8).

Prinsip pengelolaan laut di dunia, ujar Suseno, menempatkan kepentingan masyarakat dalam prioritas tertinggi.

Di Indonesia, sekitar 99 persen pelaku usaha perikanan tangkap merupakan nelayan kecil dengan kapasitas kapal dengan bobot mati di bawah 30 ton.

Suseno mengatakan hal itu menanggapi rancangan pemberlakuan hak pengusahaan perairan pesisir yang membagi laut dalam kapling-kapling.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria juga mengatakan, pengaplingan laut harus melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan nelayan kecil.

Aspirasi publik wajib didengar mengingat masyarakat yang akan merasakan dampak kebijakan itu. Pemerintah wajib membuka rancangan kebijakan itu kepada semua pihak.

Tahun 2010, pemerintah berencana memfasilitasi 20 kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Pembagian perairan menjadi kapling-kapling itu menjadi landasan untuk pemberlakuan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3).

Hak pengusahaan perairan pesisir mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sebagai penjabarannya, kini sedang disusun peraturan pemerintah tentang HP3 yang direncanakan terbit tahun ini.

Adapun kluster perikanan tangkap mengacu pada Permen Kelautan dan Perikanan No 5/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Kluster itu memberikan hak eksklusif kepada pihak tertentu untuk memanfaatkan sumber daya ikan di perairan.

Arif mengatakan, pemerintah hingga kini belum melibatkan masyarakat dan nelayan tradisional dalam perumusan hak pengusahaan perairan pesisir dan kluster perikanan tangkap.

Padahal, ketentuan HP3 yang memberikan hak pengusahaan kepada swasta dan dapat dialihkan ke pihak lain berpotensi menimbulkan konsentrasi kepemilikan usaha.

Tahun 2008, total armada perikanan Indonesia 590.380 unit. Jumlah nelayan Indonesia 2,78 juta orang. Sementara itu, jumlah pembudidaya ikan sebanyak 2,61 juta orang. (LKT)


Sumber : http://koran. kompas.com/ read/xml/ 2009/08/10/ 03423792/ pengaplingan. laut.tak. dikenal.di. dunia

Pemikiran tentang :

Sea Zoning Rules....

Ministry Looking to Implement Controversial Sea Zoning Rules



Arti Ekawati

The Maritime Affairs and Fisheries Ministry says it will soon issue a regulation putting into effect a 2007 law on the management and zoning of marine resources..

In line with the law, whose implementation has been delayed by more than a year, the ministry plans to divide the country’s waters into zones reserved for industrial exploitation and conservation, and to set aside other areas for coastal communities.

“We expect that the drafting of the regulation will be finished next month,” Sudirman Saad, the secretary at the ministry’s Directorate General of Coastal and Small Island Management, said on Friday. “Once it is completed, the use of marine areas for purposes other than what they are zoned for will be prohibited.”

Sudirman stressed that the zoning process would involve consultation with the public, including traditional fishermen, academics, local administrations, and the fishing and fish farming industries.

After the consultation process is complete, he said, each local administration would be required to produce its own zoning plan.

To provide information on the new zoning mechanism, the ministry intends to discuss it with the local administrations by the end of the year.

“We will facilitate and help them zone their surrounding waters,” Sudirman said. The local administrations would then be required to issue ordinances establishing the zones.

Waters bordering those of neighboring countries, he said, would be managed by the central government because issues of sovereignty were involved.

Responding to the plan, Riza Damanik, the general secretary of the Fisheries Justice Coalition (Kiara), argued that the implementation of the law was a recipe for conflict.

The zoning approach, Riza said, had been tried in other sectors of the economy.

“We must not sell off the oceans like the government did with the forestry and mining industries,” he said.

Riza said the legislation neglected the rights of traditional fishermen and coastal residents to manage resources based on customary practices. Furthermore, he added, traditional fishermen worried that zoning would have an adverse impact on their fishing grounds.

Hasyim Djalal, an expert on international maritime law, also expressed concern.

He said that the country’s waters should be managed in an integrated way, rather than what he called the “fragmented manner” envisaged by the law.

For its part, the government has argued that the law will increase investment and improve the economic prospects of coastal communities.

Source: http://thejakartagl obe.com/business /ministry- looking-to- implement- controversial- sea-zoning- rules/323047

Pemikiran tentang :

Porong 2015....ada apa ?


Porong 2015



“Bila kita mencermati delapan tujuan dalam MDGs (Millenium Developmnet Goals), maka upaya pemberdayaan perempuan perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. Mengingat sebagian besar dari tujuan yang hendak dicapai terkait langsung dengan kondisi hidup perempuan,” tutur Menteri Koordinasi dan Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie, seperti ditulis berbagai media massa, saat memberikan sambutan pada acara pembukaan Dialog Nasional Perempuan dan Pencapaian MDGs di Kantor Kementerian Koordinator Kesra, Jakarta, tahun 2007 silam.

Hanya berselang setahun setelah Menko Kesra Aburizal Bakrie mengeluarkan pernyataan perlunya pemberdayaan perempuan itu, seorang Ibu yang sejak Mei 2006 menjadi korban lumpur Lapindo menghembuskan nafas terakhir. Ibu Jumik, perempuan berusia 52 tahun itu, meninggal dunia setelah sekian lama menderita sakit di perutnya.

Kemiskinan yang melilit kehidupannya sebagai korban Lapindo membuat keluarga Ibu Jumik tak mampu membayar ongkos perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo. Ibu Jumik pun dirawat dengan menggunakan pengobatan tradisional. Di saat pemerintah dan korporasi yang terkait dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo tak mempedulikannya, Tuhan membebaskan Ibu Jumik dari lilitan kemiskinan dan statusnya sebagai korban lumpur dengan memanggilnya menuju alam kubur.

Bukan hanya Ibu Jumik yang mengalami nasib seperti itu. Banyak sekali korban lumpur, baik perempuan ataupun laki-laki dari berbagai usia, yang mengalami nasib serupa. Hampir tiga tahun semburan lumpur Lapindo merampas hak-hak dasar korban lumpur untuk hidup layak seperti manusia lainnya.

Betapa tidak, semburan lumpur Lapindo bukan saja telah menenggelamkan rumahnya namun juga mengubur aksesnya terhadap air bersih dan udara yang sehat. Air bersih yang sebelum munculnya semburan lumpur Lapindo dapat dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci sekarang sudah tidak layak lagi digunakan.
Sri Mulyowati, perempuan berusia 48 tahun, seperti ditulis di web korban lumpur, mengatakan bahwa air sumur di rumahnya telah berubah keruh dan berbau.

Padahal sebelum adanya semburan lumpur Lapindo, air tanah di rumahnya sangat bagus. Kondisi air yang buruk membuat warga korban lumpur harus membeli air setiap hari.

Mungkin warga korban lumpur masih bisa memanfaatkan air bersih dengan cara membeli eceran, namun untuk menghirup udara sehat, korban lumpur benar-benar tidak punya pilihan lagi. Setiap hari mereka terpaksa harus menghirup udara yang telah tercemar.

Buruknya kualitas udara di Porong, terlihat dari membengkaknya penderita penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Data dari Puskesmas Porong menyebutkan bahwa terjadi peningkatan penderita ISPA sejak tahun 2006. Setelah muncul semburan lumpur Lapindo hingga tahun 2008 tercatat telah 46 ribu orang menderita penyakit ISPA.

Penyakit ganguan pernafasan juga telah menimbulkan korban jiwa di Porong, Sidoarjo. Setidaknya telah ada empat orang yang meninggal akibat gangguan pernafasan. Ada Bapak Sutrisno, Bapak Yakup dan istrinya serta Unin Qoirotul, seorang remaja usia 15 tahun yang meninggal dunia akibat gangguan pernafasan.

Celakanya, kini muncul semburan-semburan gas liar di rumah-rumah penduduk. Gas-gas tersebut berbahaya jika terhirup oleh sistem pernafasan manusia.
Setalah muncul semburan lumpur Lapindo, kawasan Porong dapat dikatakan tidak layak lagi untuk dihuni manusia. Bukan saja karena ancaman penurunan permukaan tanah namun juga karena racun yang terkandung dalam lumpur Lapindo.

Penelitian Departemen Pekerjaan Umum, yang jarang dikutip media, mengungkapkan bahwa kandungan senyawa kimia Fenol dalam air lumpur Lapindo telah melebihi baku mutu limbah cair yang diperkenankan olah Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Timur Nomor 45 tahun 2002. Sempel air dari lumpur Lapindo itu diambil dari salah satu rumah penduduk dan di sebelah utara Tol Porong-Gempol. Fenol adalah sejenis senyawa kimia yang pada kadar tertentu bisa merusak jaringan saraf manusia.

Buruknya kondisi di Porong setelah muncul semburan lumpur Lapindo seperti tamparan keras bagi pemerintah yang berniat memenuhi target MDGs pada tahun 2015. Pernyataan Menko Kesra Aburizal Bakrie terkait dengan pentingnya pemberdayaan perempuan dalam mencapai target MDGs pun terasa hanya sekedar jargon ketika kita melihat makin buruknya kondisi kehidupan perempuan-perempuan yang menjadi korban lumpur di Porong.

Padahal salah satu target MDGs itu adalah menjamin keberlanjutan lingkungan serta merehabilitasi sumber daya alam. Dalam MDGs ditargetkan jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum berkurang setengahnya. Sementara yang terjadi di Porong adalah sebaliknya, kian hari kian banyak orang yang tidak mendapatkan akses air bersih.



Sumber: http://public. kompasiana. com/2009/ 08/11/porong- 2015/

Pemikiran tentang :

Bank Dunia Melanggar...????

Bank Dunia melanggar standarnya sendiri dalam membangun sektor kelapa sawit
di Indonesia

Cabang sektor swasta Bank Dunia - International Finance Corporation (IFC) -
telah membiarkan kepentingan komersial menggantikan standar sosial dan
lingkungan Bank Dunia dalam memberikan pinjaman kepada sektor kelapa sawit
di Indonesia, sebuah audit internal mengungkapkan.

Kelapa sawit telah sama dengan pembabatan hutan dan lahan gambut
dimana-mana, emisi CO2 besar-besaran dan pencurian tanah-tanah masyarakat
adat.

Walaupun IFC tahu semua resiko tersebut, karena proyek-proyeknya yang
terdahulu dan peringatan-peringat an dari organisasi-organisa si non
pemerintah, IFC tetap meneruskan pinjamanan kepada Wilmar palm oil trading
group, melanggar standar-standarnya sendiri, menurut laporan audit tersebut.
IFC gagal menilai rantai pemasok (supply chains) atau melihat dampak merusak
perkebunan-perkebun an anak perusahaan tersebut yang mengambil-alih
tanah-tanah dan hutan di Kalimantan dan Sumatra.

Temuan-temuan tersebut memiliki beberapa implikasi bagi IFC: tidak hanya
harus menerapkan standar-standarnya sendiri lebih berhati-hati tetapi IFC
juga harus memeriksa kekawatiran soal darimana perusahaan-perusaha an yang
IFC danai mendatangkan bahan-bahan baku mereka. Minyak sawit merupakan salah
satu contoh komoditas yang diproduksi bertentangan dengan kaidah-kaidah.

Temuan-temuan ini bersumber dari laporan audit yang sangat penting
dikeluarkan oleh Compliance Advisory Ombudsman dari IFC yang memeriksa satu
laporan lengkap yang disampaikan oleh Forest Peoples Programme dan koalisi
19 organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk Sawit Watch dan Gemawan.

Norman Jiwan dari NGO pemantau Indonesia, Sawit Watch, mencatat:

Ketika kami menyampaikan laporan kami mencatat bahwa anak-anak perusahaan
Wilmar menggunakan api secara ilegal untuk membersihkan hutan primer dan
kawasan bernilai konservasi tinggi dan merampas tanah-tanah masyarakat adat
tanpa keputusan bebas, dididahulukan dan diinformasikan dari mereka, memicu
konflik-konflik yang gawat. Laporan ini menunjukan bahwa IFC menggantikan
standar-standarnya sendiri dan mengabaikan peringatan-peringat an kami
terdahulu.

Dalam menanggapi laporan tersebut Lely Khairnur dari Gemawan mengatakan:

Pembangunan berarti mengutamakan kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal.
Standar-standar IFC menwajibkan ini. Tetapi mereka mengedepankan kepentingan
bisnis dan membiarkan tanah-tanah rakyat dirampas demi minyak sawit yang
murah dalam pasar internasional. Masyarakat dan hutan milik mereka dirusak
dengan semena-mena, dan akhirnya seluruh planet bumi menderita.

Marcus Colchester Direktur Forest Peoples Programme menambahkan:

Kami puas bahwa laporan audit ini membuktikan secara lengkap bahwa semua
keprihatinan utama kami, juga tanggapan dari Manajemen IFC terhadap audit
tersebut menyarankan mereka sekarang akan mencoba melakukan segala sesuatu
dengan berbeda. Tetapi kami masih agak kecewa. Kami harus menunggu lebih
dari lima tahun baru IFC menangani persoalan tersebut dengan
sungguh-sungguh. Dengan mempertimbangkan pentingnya menghentikan kehancuran
hutan dan pelanggaran hak asasi manusia, kami mendesak Presiden IFC untuk
mengambil langkah-langkah pro-aktif untuk memastikan bahwa ini tidak akan
pernah terjadi lagi.

Hubungi:

Marcus Colchester, Forest Peoples Programme: + 44 1608 652893

Norman Jiwan, Sawit Watch: + 62 251 352171

Lely Khainur, Gemawan: + 62 8134 522 5232

Informasi lebih lanjut:

Laporan asli dan koresponden tindak-lanjut dengan IFC dan CAO lihat:

http://www.forestpe oples.org/ documents/ ifi_igo/ifc_ wilmar_fpp_ let_jul07_ eng.
pdf

http://www.forestpe oples.org/ documents/ prv_sector/ bases/oil_ palm.shtml

Laporan audit CAO lihat:

http://www.cao- ombudsman. org/uploads/ case_documents/ Combined% 20Document% 201_
2_3_4_5_6_7. pdf

Pemikiran tentang :

Gov. Weak.....Lapindo Win....????


weaker than Lapindo
says activists


Human rights and environmental activists deem the government as powerless
when it comes to dealing with big corporations after the police stopped its
investigation against Lapindo Brantas Inc.
The company is widely believed to be responsible for the mudflow that
displaced thousands of residents in Sidoarjo, East Java.

“I believe there is a conspiracy behind the decision to drop the
investigation,” the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) executive
director, Berry Furgon, told The Jakarta Post on Thursday.
“The East Java Police do not have any solid reason behind their decision.”

The East Java Police detectives chief dropped the probe through a decision
letter signed on Aug. 5.
The police said that a lack of evidence was the reason they halted
investigation into Lapindo, a private oil and gas company partly owned by
the family of the Coordinating Minister for the People’s Welfare, Aburizal
Bakrie.

“The police claim is nonsense. We have many experts who are ready to testify
that the mudflow was caused by Lapindo’s drilling activities, not a natural
disaster,” Berry said.

“The worst part is the government showing no commitment at all and becomes
more of the problem than the solution.

President Susilo Bambang Yudhoyono himself is seemingly incapable of
pressuring Lapindo.”

Berry said as the government was powerless, Walhi was now trying to continue
the fight by submitting demands to the National Commission for Human Rights.

One of the commission’s member, Kabul Supriadi, told the Post that a special
investigative team had been established in response to Walhi’s request.

“The team’s first job is to gather solid evidence on the possibility whether
there is a gross violation of human rights or not in the case of Lapindo
mudflow issue,” said Kabul, who leads the team.

If the commission manages to find solid evidence of a gross violation of
human rights practice, then the case can be brought to the International
Court in The Hague.

The Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI) chairman, Patra Zen, said that
there was no need to search for more evidence regarding the possibility of a
gross human rights violation in the Lapindo case.

“The evidence is clear. It is a fact that a drilling by Lapindo was taking
place at the mudflow site. It is also a fact that world class geologists
agree that the mudflow was caused by the drilling activities, not by natural
disaster.

“The main question now is whether the government ‘wants’ to do something to
Lapindo, not whether the government ‘can’ do something on the company.”

Patra also said that the East Java police had behaved totally
unprofessionally.

“The police said that they could not fulfil the demand of the prosecutors
for more solid evidence in the case dossiers.

“Such a statement reflects the police being unprofessional. The police let
the mudflow victims suffer for their incompetence.”

The YLBHI and Walhi are the initiators of a criminal probe request against
Lapindo.


The police submitted the case dossiers to prosecutors on Oct. 30, 2006.
However, prosecutors returned the dossiers due to lack of hard evidence.

The police then completed the case files and re-submitted them to the
prosecutors only to be rejected again by prosecutors.

The last time the prosecutors returned the dossiers to the police was on
April 6, 2009.

Assistant to the East Java chief prosecutor for general crimes, Eddy
Rakamto, confirmed his office had returned the case files against Lapindo
because of, again, a lack of evidence. (*hdt*)

Refferens : http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/14/government-weaker-lapindo-says-activists.htmlGovernment

Pemikiran tentang :

Aturan baru Perairan pesisir....

Aturan Pengusahaan Perairan Pesisir
Terbit Semester I 2009



JAKARTA--MI: Pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) pada semester pertama 2009 sebagai turunan dari Undang-undang (UU) 27 Tahun 2007.

Sekretaris Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Sudirman Saad, usai Debat Publik terkait HP3 di RRI, Jakarta, Selasa, mengatakan, PP ini berisikan tentang Pemberian, Pendaftaran, dan Pencabutan HP3.

PP terkait HP3 ini sangat terlambat dikeluarkan karena UU-nya sendiri telah dikeluarkan pada tanggal 27 Juli 2007, pada hal seharusnya PP sudah keluar setelah satu tahun RUU disahkan menjadi UU, ucapnya.

Pesan penting yang terdapat dalam PP itu sendiri, menurut dia, terkait dengan pendaftaran HP3 itu sendiri. Dalam PP ini akan ditetapkan instansi mana yang akan menerima pendaftaran dan mengeluarkan HP3 tersebut.

Menurut Sudirman, hingga saat ini pemerintah masih mempertimbangkan apakah Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau instansi baru yang akan melakukan pendaftaran tersebut. Secara institusi BPN sangat siap dalam hal mekanisme pelaksanaan pendaftaran tanah, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan untuk melakukannya pada perairan pesisir.

"Sebenarnya pilihan kita lainnya dalah membuat Direktorat baru di DKP. Kita juga sedang mengajukan pengubahan Ditjen KP3K untuk juga dapat melakukan pendaftaran HP3 tersebut kepada Menteri Pendayaan Aparatur Negara (Menpan)," ujar Sudirmaan.

Hal kedua yang juga diatur dalam PP HP3 tersebut, menurut dia, adalah bagaimana mekanisme pengakuan HP3 untuk masyarakat adat. "Itu akan kita diskusikan juga dengan masyarakat adat melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman). Dalam waktu dekat mereka akan melakukan musyawarah secara nasional, dari sana mudah-mudahan kita bisa menangkap realisasi seperti apa yang mereka harapkan di lapangan," tambah Sudirman.

Sekjen Aman, Abdon Nababan sendiri mengatakan, pada dasarnya mendukung adanya UU 27 Tahun 2007 yang di dalamnya menempatkan kepentingan hak masyarakat adat. Menurut dia, sejauh ini baru UU ini lah yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat tanpa persyaratan yang rumit.

"Karena itu kami benar-benar menunggu PP dari UU ini. Kalau ternyata untuk implementasinya tidak memberikan kebaikan untuk masyarakat adat percuma dan akan sama saja seperti UU lainnya yang tidak mendahulukan kepentingan masyarakat adat," ujar Abdon.

Sementara itu, terkait dengan HP3, ia mengatakan, pemerintah harus sangat berhati-hati karena ditakutkan kejadian sama akan terjadi setelah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diberikan oleh Departemen Kehutanan (Dephut).

"Untuk HP3, itu bukan suatu yang penting buat Aman tetapi justru bagaimana PP yang memuat mekanisme pembentukan rencana strategis untuk masyarakat adat segera dapat dikeluarkan. Saya justru jadi curiga di sini, kenapa HP3 yang dibesar-besarkan, " katanya.

Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Riza Damanik mengatakan, pihaknya tetap meminta pemerintah melakukan revisi atas UU 27 Tahun 2007 yang tidak menempatkan hak masyarakat adat diurutan utama.

"Kami usulkan pemerintah yang sekarang bertanggungjawab untuk merevisi UU tersebut sebelum masa pemerintahannya berakhir. Harus ada hak gugat masyarakat di dalam UU tersebut, jika tidak direvisi maka Kiara bersama LSM lain akan mempersiapkan data melakukan judicial review sebelum pemerintahan saat berakhir," ujar dia. (Ant/OL-02)

Sumber: http://www.mediaind onesia.com/ read/2009/ 01/01/56995/ 23/2/Aturan_ Pengusahaan_ Perairan_ Pesisir_Terbit_ Semester_ I_2009

Pemikiran tentang :

Back to Basic for nature...

Saatnya Ubah Paradigma Pembangunan, Utamakan Kearifan
Lokal



Perubahan iklim merupakan bukti nyata kegagalan utama perencanaan
pembangunan selama ini. Masyarakat adat menilai sekarang ini saatnya untuk
merubah pengaturan global dalam pembangunan.


“Dalam 100 tahun terakhir ini tidak ada lain selain pengaturan kembali.
Yaitu merubah paradigma pembangunan yang hanya memenuhi kebutuhan negara
industri menjadi lebih mengutamakan kearifan lokal,” jelas Abdon Nababan
sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (Aman) saat konferensi
pers bersama wartawan di Jakarta (10/6) terkait dengan berlangsungnya
perundingan iklim di Bonn yang saat ini sedang berlangsung.


Menurutnya, penelitian membuktikan bahwa solusi dari perubahan itu ada di
masyarakat adat bersama kearifan lokal yang hidup dengan emisi rendah,
berdaulat ekonomi dan politik, serta berdaya dalam budaya tanpa hutang.

Untuk mewujudkan adanya perubahan pengaturan global dalam pembangunan yang
lebih mengutamakan kearifan masyarakat adat tersebut, Aman bersama Forum
Permanen PBB tentang Masalah Masyarakat Adat terus melakukan perundingan
termasuk di Bonn saat ini. Sehingga bagaimana instrumen itu dapat digunakan
oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mencapai kemandirian
dengan mengikutsertakan masyarakat adat dalam setiap pembahasan iklim dan
sebagainya.


Lebih lanjut dikatakannya, ketika ada kesempatan merubah, jangan malah
menambah penjajahan dengan hutang. Perubahan iklim harus menjadi awal
negara-negara di dunia mempunyai posisi setara. Tidak menyebutkan tentang
investment tetapi negosiasi investasi.


Saat ini sudah terjadi banyak dampak perubahan iklim. Berkaitan dengan
sejarah hutang emisi dari negara-negara industri maju sejak ratusan tahun
lalu, Pemerintah Indonesia harus meminta negara penyebab emisi tersebut
untuk meminta maaf.


“Mereka tidak hanya membayar ke masyarakat adat tapi masih mengeluarkan
emisi yang tinggi. Yang terpenting bagi masyarakat adat adalah pengakuan dan
pemenuhan haknya, tidak boleh hanya perdagangan saja,” kata Nababan.

Pemerintah Indonesia seharusnya menjadi bagian dari masyarakat adat untuk
membuat kerangka hukum perundingan iklim di Bonn saat ini (1-12 Juni) dan di
Kopenhagen Desember nanti. Namun dari pengamatan Nababan, kenyataannya
Pemerintah Indonesia tidak ada usaha untuk memenuhi itu, meski sudah
menandatangani Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat di PBB.

Pemerintah justru menunjukkan inkonsistensi terkait konservasi dan konversi
menurut Abetnego Tarigan sebagai Direktur Eksekutif Sawit Watch. Seperti
Permentan tentang lahan gambut yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa
sawit.


Memang kelapa sawit bisa menyerap emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan
global dan perubahan iklim menurutnya. Namun ternyata juga mengeluarkan
emisi yang besar. Perkebunan kelapa sawit hanya menyerap CO2 sebanyak 5,2
ton per hektar per tahun, namun melepaskan CO2 lebih besar sebanyak 18 ton
per hektar per tahun. “Belum lagi emisi dari pestisida dan
transportasinya,” jelas Tarigan.


Selama ini disebutkan bahwa kelapa sawit dapat menjadi biofuel sebagai
sumber energi yang ramah lingkungan tapi kenyataannya hanya untuk
kepentingan ekonomi saja. Untuk itu Tarigan bersama Masyarakat Sipil
Indonesia untuk Keadilan Iklim (Civil Society Forum for Climate Justice)
meminta Pemerintah Indonesia menghentikan alih fungsi hutan dan lahan gambut
untuk perkebunan sawit dan lainnya selain melindungi dan memenuhi hak-hak
masyarakat adat.


Kurangi Emisi

Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim juga mendesak kelompok
negara Annex I untuk memenuhi komitmen memotong emisinya. Dalam perundingan
iklim di Bonn saat ini, negara-negara maju itu seharusnya memastikan
pemenuhan komitmennya dalam Protokol Kyoto, bukan menyodorkan proposal baru
untuk mengamandemen Protokol Kyoto.

Giorgio Budi Indarto sebagai Koordinator Nasional Masyarakat Sipil Indonesia
mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia seharusnya berperan dalam mengarahkan
perundingan iklim saat ini untuk menurunkan emisi secara nyata yang
merupakan tujuan awal Konvensi Perubahan Iklim PBB.

Perundingan iklim di Bonn saat ini akan menjadi bahan pembahasan dalam
Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen nanti yang merupakan kesempatan
terakhir dunia untuk mewujudkan perubahan iklim, sehingga delegasi yang
hadir dalam perundingan iklim di Bonn harus benar-benar mengambil tindakan
yang dapat menyelamatkan dunia.


Kurang Arah Jelas

Namun dalam isu utama yang harus diperhatikan dalam setiap perundingan iklim
seperti hutan, laut dan masyarakat adat, Pemerintah Indonesia masih kurang
memiliki arah yang jelas menghadapi perubahan iklim.


Saat ini di Bonn, Pemerintah menyampaikan kesiapannya di sektor laut dan
hutan dalam menghadapi perubahan iklim. Namun kenyataannya masih banyak
masalah di dalamnya yang belum diselesaikan seperti konflik lahan, konversi
hutan dan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah Indonesia hanya semata-mata
melihat peluang perdagangan.


Sekarang Pemerintah menurut Giorgio, hanya membahas tentang REDD menjadi
REDD plus (plus CDM, *carbon trade*), menjaga hutan yang diperluas, dan
mempromosikan hasil-hasil Konferensi Kelautan Dunia di Manado lalu. Namun
apa yang mereka sampaikan menurutnya, masih jauh dari partisipasi masyarakat
adat.


Menurut Riza Damanik sebagai Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (Kiara), Pemerintah Indonesia juga harus melakukan
komunikasi bilateral dengan negara-negara yang berbatasan langsung dengan
Indonesia baik laut maupun darat untuk mencegah konflik dalam memperebutkan
kawasan perbatasan dan daerah penangkapan nelayan tradisional. Namun saat
ini belum ada langkah diplomatis ke arah itu

Perubahan iklim akan mengakibatkan 3000 pulau di Indonesia tenggelam dan
akan berimplikasi berubahnya kawasan perbatasan. Masyarakat nelayan
Indonesia biasanya menangkap ikan di kawasan perbatasan dengan alat tangkap
tradisional. Bila perbatasan berubah, maka konflik terkait batas penangkapan
akan meningkat.


Dalam hukum laut internasional menurut Damanik, kawasan itu diakui sebagai
kawasan tangkap tradisional yang harus dilindungi pemerintah. Tanpa upaya
strategis pemerintah dalam mengupayakan perlindungan itu maka hak-hak
masyarakat adat (tradisional) dan kedaulatan negara akan terancam.


Sumber: *http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0165&ikey=1*

Pemikiran tentang :

Ketegasan demi lingkungan hidup....

Merusak Terumbu Karang di Hawai, Harus Membayar 4 Milyar!



Berpikir dua kali untuk aktifitas Anda yang berpotensi merusak terumbu karang di Hawai. Sebuan perusahaan perjalanan di Maui harus membayar $400.000 (sekitar Rp 4 milyar, kurs 10.000/1$) akibat menghancurkan 1.200 koloni karang ketika salah satu kapalnya berlabuh di Molokini, sebuah aeral terumbu karang yang terkenal sebagai salah satu lokasi penyelaman terkenal di Hawai. Sebuah operator perjalanan lainnya juga ternacam hukuman karena menggunakan jangkar secara illegal di Terumbu Maui. Bahkan U.S Navy juga tidak luput, aktifitas militer salah satu kapalnya berujung ancaman tuntutan karena merusak terumbu karang saat berlabuh di Pearl Hourbour, Februari.Hukuman tersebut dikeluarkan sejak dua tahun lalu sebagai bagian dari usaha untuk memberi efek jera pada siapa saja yang merusak sumberdaya yang sangat penting bagi lingkungan Hawai dan pariwisata di Hawai, Industri no 1 bagi negara bagian ini.

“Orang harus lebih peduli lagi dengan terumbu karang, karena bila perusakan terus terjadi, maka terumbu karang akan hilang dari Hawai” kata Laura Thielen, pimpinan dari Dewan Negara untuk Sumberdaya Alam dan Darat, ” Kita harus melakukan tindakan yang kuat atau semua akan terlambat” ia mengingatkan.

Hawai adalah rumah bagi 84% dari semua karang dibawah wilayah Amerika Serikat. Sekitar 15% karang AS berada di perairan utama Hawai, sedang 69% sisanya berada di Barat Laut kepulauan Hawai, sebuah komplek atol yang diresmikan sebagai monumen nasional oleh presiden George W.Bush.

Terumbu karang telah menjadi salah satu pendorong industri pariwisata di Hawai dan menghidupi sekian banyak industri selam. Para ahli menyebutkan bahwa terumbu karang di Hawai, terutama atol,dalam kondisi yang baik. Namun letaknya yang dekat dengan populasi menyebabkan, terumbu karang ini menjadi sangat rentan terhadap sedimentasi, run-off, penangkapan berlebih dan ledakan populasi alga. Pengguna jasa laut yang tidak peduli, dapat memusnahkan karang yang berusia 500an tahun ini hanya dalam 5 menit,tentunya merupakan ancaman lainnya.

“Mungkin kerusakan ini terlihat sedikit bila dilihat per orang, namun akan sangat besar jika kerusakan ini dikumpulkan menjadi satu” kata Richard Richmond salah satu ahli terumbu karang dari Universitas Hawai. Kuulei Rogers dari Hawaii Institute of Marine Biology menyebutkan karang yang menghadapi banyak ancaman seperti ini akan membuatnya rentan dan sulit pulih dari bahaya yang lebih besar yaitu pemanasan global dan peningkatan kadar karbon dioksida.

“Hal ini serupa pada manusia, seorang yang kondisinya tidak fit, akan lebih terancam kematian dibandingkan orang yang sehat bila terjadi serangan penyakit,” Rodgers menjelaskan.

Penalti pertama yang dikeluarkan oleh negara bagian ini terjadi pada Juni 2007, ketika sebuah operator perjalanan di Lahaina merusak 11 spesimen karang dan memasuki kawasan perlindungan alam secara ilegal dan harus membayar $7.300. Berikut catatan-catatan lainnya :

Maui Snorkel Charters harus membayar $396.000 karena merusak terumbu karang di Molokini. Biaya tersebut untuk perbaikan terumbu karang di lokasi tersebut.

US NAVY harus membayar $7 juta untuk restorasi terumbu karang, termasuk perbaikan substrat 5000 koloni karang yang rusak.

Florida yang hanya memiliki 2% terumbu karang di wilayah AS, juga akan mengaplikasikan aturan serupa.

Tori Cullins, co-owner dai Wild Side Specialty Tours di Waianae mendukung hal tersebut, ” Selama kamu tidak menghajar kantong (uang) orang tersebut, saya pikir tindakan apapun tidak akan terlalu berarti”.

Sebuah pelajaran berharga bagi usaha pelestarian di Indonesia.

Diterjemahkan dari The Jakarta Post. Agustus 2009

Pemikiran tentang :

Merusak Habitat bakau

Limbah Batubara Cemari Pulau Tikus




BENGKULU – Pencemaran lingkungan akibat limbah batubara ternyata tidak hanya mencemari daerah aliran sungai yang melintasi Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara namun meluas hingga ke Pulau tikus yang berjarak sekitar 10 KM dari Kota Bengkulu. Kerusakan juga terjadi di hutan bakau yang terjadi di pesisir pantai Pondok Kelapa.

Direktur regional Warung Konservasi (Warsi) Bengkulu Nurkholis menjelaskan, tercemarnya kawasan pulau tikus diketahui saat dirinya beserta perwakilan LSM lainnya yakni Afriadi (Kelopak) dan direktur Perkumpulan Spora Dedi F.S, melangsungkan pengamatan lingkungan menggunakan metode Amdal Kijang (pengamatan singkat) selama lima hari sekitar sebulan yang lalu. Alhasil, dari pengamatan tersebut didapati bahwa batubara sudah menutupi terumbu karang di sekitar pulau tikus.

`'Jejak batubara bisa dilihat dengan mata telanjang. Memang belum seluruh terumbu karang tapi sebarannya sudah meluas,"prihatin Nurkholis.
Dampak sertaan yang timbul, populasi ikan di sekitar pulau tikus juga ikut berkurang. Penyebabnya tak lain karena terumbu karang yang menjadi rumah sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari rantai makanan sejumlah biota laut. Kenyataan bahwa terumbu karang di Pulau Tikus sudah mulai mati akibat tertutup limbah batubara, harus segera disikapi pemerintah. Sebab jarak antara pantai Kota Bengkulu ke Pulau Tikus cukup jauh, yakni sekitar 30 menit dari Tapak Paderi menggunakan perahu tradisional. `'Bila tidak dilakukan penanganan yang komprehensif, kita akan kehilangan salah satu objek wisata sekaligus melenyapkan sumber pendapatan nelayan terlebih Pulau Tikus sudah ditetapkan pemerintah sebagai hutan wisata,"terang Nurkholis.

Pulau Tikus terletak di sebelah barat Kota Bengkulu dengan jarak sekitar 10 KM dari pusat kota. Luas pulau tersebut sekitar 60 kali 100 meter. Pulau tikus dikelilingi karang dan kaya dengan sumber daya hayati yang sudah ditetapkan sebagai hutan wisata dengan SK Menhut No. 602/Kpts-II/ 1991 (beb)

Sumber: www.harianrakyatben gkulu.com

Pemikiran tentang :

Kendalikan Perubahan iklim


Laut Indonesia Kendalikan Perubahan Iklim


Oleh : Acep Mulyana

Bogor - Menurut penelitian terbaru, laut ternyata mampu mereduksi proses pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Untuk mengetahui peran laut sebagai pengendali perubahan iklim tersebut, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Isntitut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan Perikanan Departemen Kelautan Perikanan dan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) menggelar workhop, di Hotel Salak, Selasa (4/8).

Rektor IPB Prof. Dr. Herry Suhardiyanto, menjelaskan, workshop tersebut merupakan agenda lanjutan dari World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado Mei 2009 lalu. Saat itu dihasilkan Manado Ocean Declaration (MOD) dan memandatkan kepada Indonesia untuk segera merealisasikan dan berperan aktif dalam meningkatkan peran laut dalam mereduksi percepatan pemanasan global.

“Workshop ini sangat penting dan tepat. Kami berharap akan tersusunnya road map nasional mitigasi (pencegahan bencana) dan adaptasi perubahan iklim bidang kelautan, tersusunnya agenda-agenda riset dan jejaring keilmuan dan kebijakan dalam bidang kelautan dalam kaitannya dengan perubahan iklim, serta terciptanya penggalangan kerja sama regional/internasional dalam peran laut dalam proses perubahan iklim. Selanjutnya, 40 perwakilan akan ditunjuk untuk mewakili Indonesia ke Konfenhagen Belanda,” jelas Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto.

Dia mengemukakan, proses pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya kandungan gas rumah kaca utamanya karbondioksida (CO2) di atmosfir. Ilmuwan mengidentifikasi, dalam 100 tahun terakhir terjadi peningkatan kandungan gas tersebut hingga 100 ppm, dari saat ini 380 ppm. Korelasinya, suhu permukaan bumi pun meningkat 2 derajat celsius. “Emisi kendaraan bermotor adalah penyebab utamanya,” ujarnya.

Rektor menerangkan, proses reduksi pemanasan global dengan air laut terjadi melalui proses transport karbon dari udara ke tempat dan bentuk lain ke dalam laut, antara lain fotosintesa fitoplankton dan tanaman laut makro serta deposit karbon di dalam sediment dasar laut dan terumbu karang.

“Perhatian dan harapan masyarakat global saat ini mengerucut ke peran laut selain fungsi penyerapan karbon oleh hutan, terlebih dengan tingginya kerusakan hutan saat ini. Saat ini Indonesia memiliki laut sekitar 5,8 juta kilometer persegi,” terang Prof Herry.

Pemikiran tentang :

Timeliness....

Search on blog

Translate

Forecast Weather

Rupiah Exchange Rates ( IDR )

Rush hour Blog

Fight To our Earth....Go green

Brighter Planet's 350 Challenge
NonCommercial,Nonprofit. Diberdayakan oleh Blogger.